SEBENARNYA hari ini adalah hari libur pertamaku menjelang ujian tengah semester. Tapi, aku masih belum bisa menyebutnya hari libur karena aku masih disibukan dengan tugas bahasa inggris yang belum selesai sampai sekarang. Rencananya aku dan yang lainnya akan menyelesaikan tugasnya sebelum sore pada hari ini. Tujuannya tidak lain supaya bisa menikmati liburan dengan lebih cepat. Aku dan Prayoga sudah berada di depan rumah Bella. Kita tinggal memencet tombol bel yang berada di samping pagar rumah. Rumah Bella mempunyai pagar yang lumayan tinggi, jadi tidak kelihatan dari luar. Halaman rumahnya dipenuhi dengan rumput halus disekitarnya dan ada juga beberapa tanaman yang berada di pot di samping tembok halaman rumah. Rumahnya berwarna kuning dengan bangunan yang tidak jauh berbeda dengan - bangunan rumah dipinggirnya yang berderet simetris.
Sebulan terakhir, aku dan yang lainnya memang sering ke rumah Bella. Apalagi kalau bukan urusan mengerjakan tugas bahasa inggris. Pertama kali aku pergi keru-mah Bella, aku sangat senang karena aku bisa mengetahui rumah orang yang sedang aku sukai saat ini. Sebenarnya aku tak kaget saat melihat rumah Bella yang berada di komplek elit di kawasan Bandung ini, karena melihat gaya berpakian Bella yang ter-lihat menawan dengan barang-barang brendit yang menempel di badannya.
Tiba-tiba hujan deras turun. Setelah musim kemarau yang panjang, akhirnya musim hujan segera berganti. Walaupun jam masih menunjukan pukul satu siang, tapi langit tampak gelap karena tertutup oleh awan hitam. Aku sudah masuk ke dalam rumah Bella. Bella membukakan pagar sebelum hujan deras turun membasahi tubuhku. Untung saja, aku tidak ke-hujanan saat dalam perjalanan menuju rumah Bella. Laras dan Fajar ternyata sudah duluan sampai. Mereka terlihat sedang duduk santai di ruang tamu.
"Untung aja kalian udah sampe, kalau engga bisa keujanan di jalan." Bella berkata khawatir.
Langit yang tadinya biru entah kenapa berubah menjadi hitam pekat. Aku tak me-nyadari perubahannya sepanjang perjalanan tadi. Aku lebih memperhatikan jalanan yang selalu macet di pusat kota. Karena ngebut di saat jalanan sedikit lengang, aku tiba di rumah Bella sebelum hujan mengguyur bumi. Aku datang berbarengan dengan Prayoga dari berbeda arah. Sampai akhirnya aku dan Prayoga masuk ke rumah Bella setelah membunyikan bel rumah.
Suhu udara di ruangan tamu sekarang turun drastis. Sampai-sampai Laras meminta Bella untuk mematikan AC yang berada di ruang tamu karena ia kedinginan. Kalau kata Mamaku sih, hujan pertama setelah musim kemarau adalah penyakit. Jadi siapa-pun yang terkena air hujan, pasti ia akan sakit setelahnya. Untung saja, aku tiba di rumah Bella secara tepat waktu. Petir menyambar mengirisi ribuan tetes air hujan yang jatuh ke bumi. Bella meringkuk di sofa sambil mengangkat kedua kakinya. Bella ternyata takut dengan suara petir. Menyadari temannya yang ketakutan, Laras langsung memeluk Bella tanpa di komando. Sementara Fajar pergi ke dapur untuk membuat kopi. Ia malah terlihat senang hujan datang.
"Hujan gini mah enaknya ngopi sama udud." Celetuk Fajar tertawa sambil berjalan ke dapur.
"Gua juga mau dong, Jar." Prayoga menambahkan.
Aku berjalan mengikuti Fajar karena ingin juga membuat kopi tanpa merepotkan Fajar. Saat tiba di dapur, Fajar menoleh ke arahku sambil membuka bungkus kopi.
"Dzaf, lu tau kamar Bella dimana ?" Fajar bertanya penasaran.
"Emangnya kenapa ?" Aku mengerutkan dahi.
"Gua penasaran aja kamar Bella kaya gimana, lu pernah masuk ke kamarnya ?" Fajar berbisik dan merangkul bahuku.
"Belum, lagian ngapain juga masuk kamar Bella." Aku mengangkat bahu.
"Jadi selama ini lu belum pernah 'gituan' bareng Bella ?" Fajar dengan nada menggoda.
"Ya Belum lah!" Aku spontan teriak.
"Yah Payah lu, Dzaf." Fajar melepaskan rangkulannya dan kembali melanjutkan membuat kopi.
Aku tak habis pikir kenapa bisa-bisanya Fajar menanyakan hal yang sangat sensitif dan privasi kepadaku. Tapi, omongannya itu tak ku ambil hati. Aku langsung melu-pakannya begitu saja.
"Ko lu nanya gitu?" Aku bertanya.
"Lu suka kan sama Bella ? Gua juga tau lu sering anter jemput dia sama main ke rumahnya. Bukan pas ngerjain tugas loh yah mainnya." Fajar dengan nada mengejek lalu pergi meninggalkanku di dapur.
Rumah Bella memang selalu sepi, tapi jika aku main di rumahnya tak ada apa-apa yang terjadi. Hanya ngobrol di ruang tamu sambil membicarakan kampus atau engga sekali-kali mengungkit kasus Tina dan Agung. Terkadang juga kami tertawa karena melihat video-video lucu yang ada di timeline instagram kami. Sejauh ini, tak ada hal yang melampaui batas diantara kami. Hal yang paling jauh adalah palingan cuman pegangan tangan. Itupun sekali saat pergi nonton bioskop. Sampai hari ini, momen itu belum terulang kembali.
Lima belas menit bersantai, akhirnya kami mulai mengerjakan tugas. Saling berbagi pekerjaan agar cepat selesai. Hujan deras masih terdengar dari luar. Entah sampai kapan di luar akan terus-terusan hujan. Aku berharap tidak lama, bisa gawat kalau hujannya sampai tengah malam. Kami tak banyak berbicara sekarang. Semuanya fokus menyelesaikan pekerjaannya masing-masing. Sesekali Laras bertanya hal yang tidak ia mengerti, lagi-lagi Prayoga selalu menjawab pertanyaan Laras.
Dua jam telah berlalu, seluruh ruangan ini kini sunyi. Hujan di luar sudah reda sejak setengah jam yang lalu. Cangkir kopi yang berada di atas meja yang tadi terisi penuh sudah hampir habis. Sedangkan cemilan sudah habis ketika baru setengah jam mengerjakan tugas. Dulu ketika aku sekolah, sepertinya tidak ada tugas yang seberat ini. Bahkan walapun dikerjakan oleh lima orang, ternyata tugas ini sangatlah lama selesainya. Aku bergumam kesal. Aku sudah lelah mengerjakan tugas ini walaupun sedikit lagi hampir selesai. Aku kebagian membuat slide power point untuk di pre-sentasikan nantinya. Aku mengambil data-data yang sudah Bella dan Laras susun di dalam laporan. Sedangkan Prayoga dan Fajar kebagian mencari data-data untuk bahan laporan yang akan disusun oleh Bella dan Laras.
Bella sesekali harus bulak-balik ke dapur untuk membawakan kembali minuman. Sepertinya tugas ini membuat kami dehidrasi berkepanjangan. Kami sudah meng-habiskan dua botol besar air dingin dari dalam kulkas. Karena itu, Fajar sering sekali pergi untuk ke kamar mandi buang air kecil. Kini semua wajah telah tertunduk lesu, mungkin mereka semua juga telah lelah dengan tugas ini. Laras malah sudah me-nyandarkan kepalanya di atas meja.
"Yee akhirnya beresss…." Bella berteriak sambil mengangkat kedua tangganya.
Mendengar Bella berteriak, Laras langsung mengangkat kepalanya. Ia pun girang dengan bilang "Yeeeee..."
"Oke mana sini gua minta data yang baru biar gua langsung bikini slidenya." Aku berkata pelan. Aku tak sesemangat Bella dan Laras yang sudah beres mengerjakan tugasnya, karena tugasku belum selesai.
Ternyata, tak sesuai dugaanku. Kami baru selesai mengerjakan tugasnya jam de-lapan malam. Sebenarnya pekerjaan yang lain sudah beres dari tadi sore, cuman me-reka menunggu pekerjaanku selesai. Pekerjaanku memang yang paling berat diantara yang lain. Terlepas karena aku mengerjakannya sendiri, untuk membuat satu slide yang bagus untuk dipresentasikan aja bisa membutuhkan waktu setengah jam. Karena aku harus mendegsain gambar yang menarik di aplikasi lain.
Di tengah mereka menungguku, ada yang dipakai main game, ada yang tidur, ada juga yang keluar beli sesuatu untuk dimakan. Dari selepas maghrib, aku sudah sangat iri dengan teman-temanku yang lain karena mereka sudah enak-enakan bersantai sedangkan aku masih berkutik di depan laptop. Aku juga ingin bersantai seperti mereka, tapi apa daya tugasku belum selesai dan hari ini tugasnya harus sudah selesai.
Mukaku sudah kusut sekali. Sangat lelah berada di depan laptop selama berjam-jam. Kami memang beberapa kali kumpul untuk mengerjakan tugas ini beberapa waktu yang lalu, namun waktunya banyak terbuang untuk sekedar bermain atau menggosip. Jadilah tugas ini masih banyak yang harus diselesaikan. Coba saja waktu itu kami tidak main-main saat berkumpul, mungkin pekerjaan hari ini tak akan seberat ini. Karena sudah tidak aneh sejak aku sekolah, kerja kelompok jadinya malah hanya bermain dan mengobrol kesana kemari.
Pada jam sembilan malam, kami semua berpamitan untuk pulang kepada Bella. Bella mengucapkan terima kasih karena sudah mau meramaikan rumahnya di hari pertama libur ujian tengah semester. Kami tak langsung mengeprint tugasnya, karena Prayoga mengusulkan agar dia saja yang mengeprintkan tugasnya. Ia berinisiatif karena hanya di rumahnya lah yang mempunyai printer. Walaupun rumah Bella besar dan orangtuanya sepertinya tak kesulitan untuk membeli printer, tapi Bella tidak mem-punyai itu.
Kamipun segera memacu kendaraan kami setelah berpamitan kepada Bella dan melambaikan tangan kepadanya. Bella tersenyum manis saat membukakan pagar untuk kami semua. Cuacanya sangat dingin sekali setelah tadi siang diguyur hujan lebat sampai sore. Aku menancap sepeda motorku dengan cepat. Lalu hilang di tikungan pertama komplek rumah Bella.
***
Malam ini terasa sejuk sekali. Mungkin karena telah diguyur air hujan sampai sore pikirku. Oksigen yang masuk lewat hidungku terasa sangat halus dan sejuk. Sungguh segar sekali udara malam ini. Sudah sama seperti menghirup udara bila kita sedang berada di gunung atau di daratan tinggi lainnya.
Lampu-lampu gedung kerlap kerlip sangat bagus. Apalagi langit malam ini cerah sekali, banyak bintang-bintang diatas sana yang terang menderang. Sang bulan hanya mengeluarkan sedikit raganya pada malam ini. Jalanan agak sepi, walau mobil masih banyak yang melintas. Setidaknya jalanan pusat kota ini lebih sepi dibandingkan pada saat siang hari tadi. Aku mengerem sepeda motorku karena lampu lalu lintas di depan sudah berubah warna menjadi warna merah. Aku berhenti tepat di garis pemberhen-tian sepeda motor yang sudah ditentukan. Lalu tak berselang lama, motor-motor yang lain memenuhi sekitarku.
Aku mengambil handphone yang berada di saku celanaku. Batrai handphone-ku merah, indikasi di layar handphoneku sudah menunjukan tinggal lima persen lagi. Melihat batrai handphoneku yang merah, aku jadi teringat sesuatu. "Yah, casan handphoneku!" aku berseru di dalam hati. Sial, aku baru ingat kalau casanku ketinggalan di rumah Bella. Aku tak ingat karena casanku di pakai oleh Fajar saat di rumah Bella karena ia lupa tak membawa casan. Lampu hijau kini telah menyala, motor-motor disebelahku sudah melaju. Terdengar bunyi klakson mobil yang berada dibelakangku terus berbunyi. Membuat aku kembali sadar kalau aku sedang berada di lampu merah. Aku melaju dengan perlahan lalu menepi di pinggiran jalan.
"Gua balik lagi ke rumah Bella atau engga ya buat ngambil casan ?" Aku berpikir sejenak.
Kali ini, sedang terjadi perdebatan di dalam kepalaku. Apakah aku harus kembali atau tidak ? aku berada di jalanan pusat kota, aku hampir telah menempuh setengah perjalanan menuju ke rumahku. Aku melihat jam tanganku, waktu menunjukan pukul setengah sebelas malam. Karena itu, aku berpikir untuk besok siang saja mengambil casanku yang ketinggalan. Tapi, aku akan mengabari Bella dulu untuk mengamankan casanku sampai aku mengambilnya besok. Aku kembali mengambil handphoneku dibalik saku celana. Ternyata handphoneku sudah mati total sekarang. Aku kembali memasukan handphoneku ke dalam saku celanaku. Saat memasukannya, aku menjadi teringat kembali sesuatu.
"Astaga! gua lupa bawa kunci rumah lagi. Hp mati, gimana mau ngabarin Mama ya buat bukain pintunya ?" Aku menghembuskan nafas kesal.
Aku memang sering lupa membawa kunci rumah dan pagar. Kalau pagi-paginya saat mau ke kampus buru-buru, pasti saja aku lupa membawanya. Kalau begini cara-nya, mau gamau aku harus kembali ke rumah Bella untuk mengambil casan. Terus numpang ngecas sebentar sampai batrei ku terisi sekitar sepuluh persen. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung memutarkan sepeda motorku dan melesat dengan kecepatan penuh menuju rumah Bella.
Di tengah perjalanan, aku khawatir bahwa Bella sudah tertidur saat aku sampai di rumahnya. Lalu bagaimana nasibku? Mama pasti sudah tidur bila jam segini, aku mau tidur dimana ? mana hp mati lagi, sial. Lantas aku berpikiran untuk tidur di masjid deket rumah saja sebagai opsi terakhir dari hal yang paling buruk. Lima belas menit aku berkendara, aku sudah tiba di komplek perumahan rumah Bella. Kompleknya sepi sekali, kurang lebih sama dengan suasana komplek rumahku di malam hari. Kini aku tinggal belok ke kanan di pertigaan di depan. Lalu aku tiba di rumah Bella.
"Ko pagarnya kebuka ya ?" Aku mengerutkan dahi.
Sepertinya ada yang tidak beres. Selepas aku pergi dari rumah Bella empat puluh menit yang lalu, aku sangat yakin Bella telah menutup pagar rumahnya sambil mela-mbaikan tangannya dan melihat kami semua hilang dipertigaan. Tapi kenapa sekarang pintu pagarnya terbuka ? aku berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba terdengar suara jeritan dari dalam rumah.
"Bella !" aku merespon cepat dengan langsung memasukan motorku ke dalam halaman rumah Bella. Aku menyetandarkan motorku, pintu rumah Bella juga terbuka lebar. Aku semakin yakin ada yang tak beres di dalam rumah. Aku langsung teringat kasus kedua temanku yaitu Tina dan Agung. Entah kenapa kakiku langsung gemetar, mungkin karena aku berpikiran bahwa sang pembunuh berada di dalam sana. Ia juga mengincar Bella, atau mungkin ada orang yang ingin mencuri di rumah ini ? atau orang tua Bella sedang ribut ? atau sesuatu yang lebih buruk terjadi ? Semua pertanyaan itu langsung terlintas begitu saja di dalam kepalaku. Aku masuk ke dalam rumah, ruang tamu terlihat rapih. Teriakan yang tadi ku dengar di luar, sekarang lebih mirip tangisan. Aku mencari sumber suara tangisan tersebut.
"Bella !! Kamu dimana Bel ?!" Aku berteriak dari ruang tamu.
Ternyata suara tangisan itu berasal dari lantai atas. Aku langsung menaiki anak tangga dengan terburu-buru. Suara tangisan itu semakin sini semakin kencang ter-dengar jelas. Aku baru melihat lantai atas rumah ini. Ternyata di atas terasnya cukup luas dengan ada satu meja dengan komputer, lalu ada satu kamar mandi yang terbuka pintunya, lalu ada seperti lorong yang di kanan kirinya ada sebuah pintu dan di ujungnya ada sebuah pintu juga. Sepertinya pintu yang di ujung itu ada-lah balkon. Kini aku berada di tengah-tengah pintu yang saling berhadapan. Aku men-dekatkan kupingku ke salah satu pintu. Untuk lebih jelas di balik pintu mana suara tangisan ini terdengar. Aku mendekatkan kuping ke pintu sebelah kanan, lalu suara tangisan itu semakin jelas terdengar di telinga.
Aku mengetuk pintu tersebut. Lalu terdengar suara dari dalam "Pergiiii… !! pergii…!!" suara Bella berteriaak sambil merintih. Ternyata benar, suara tangisan ini adalah suara Bella. Suaranya seperti orang yang sedang ketakuatan. Aku semakin pe-nasaran dengan apa yang terjadi kepadanya.
"Emm Bell… ini aku Dzafran, Bel." Aku meyakinkan Bella yang sedang menangis ketakutan.
Suara tangisan Bella terhenti, gagang pintu mulai bergerak. Sepertinya aku berhasil untuk meyakinkan Bella. Perlahan, pintu mulai terbuka. Mata Bella langsung berbinar ketika ia melihatku. Wajahnya yang tadi terlihat pucat, seketika langsung menyi-mpulkan senyuman. Walaupun, masih sedikit tertahan. Bella memelukku dengan erat setelah beberapa detik berlalu. Aku semakin tak mengerti apa yang telah terjadi kepadanya. Bella langsung menyambut tubuhku tanpa pikir panjang. Tanpa me-ngatakan sepatah apapun atau menjelaskan apa yang sedang terjadi disini. Aku berusaha menenangkan Bella. Aku mengusap rambutnya masih dengan keadaan ber-pelukan.
"Dzaf, aku takut…. Aku takut…" Bella kembali menangis dibahuku.
Aku melepaskan pelukan Bella dan masih memegangi pundaknya sambil menatap kedua matanya. "Hey… Hey… kamu kenapa ? apa yang kamu takutin ?"
"Tadi… Tadi…. ada orang yang mau bunuh aku." Bella berkata sambil gemetar.
"Udah kamu tenang dulu, udah ada aku disini sekarang." Aku kembali memeluk Bella mencoba menenangkannya sebisa mungkin.