Ana masuk ke apartemennya dengan sangat tidak bersemangat. Wajahnya terlihat begitu lelah. Bahkan, tanpa mengganti pakaian, dia langsung membuang tubuhnya di atas tempat tidur. Membiarkan tas dan juga jaket yang ia bawa berserakan di bawah.
Mata gadis tersebut terpejam rapat. Ia juga memijat pelipisnya. Sepertinya ia ingin tidur, namun ia tak mendapatkan ketenangan. Ana bergerak dalam gelisahnya.
Dan pada akhirnya, ia bangun dengan mata yang menatap tajam. Wajahnya seperti baju yang tidak di setrika beberapa hari, kusut!
Ia mengambil ponselnya dan segera menghubungi seseorang setelah mengabaikan puluhan chat dari orang lain.
"Hallo, Kak! Kamu di mana sekarang? Baiklah, aku ke sana ya," ucapnya di telpon.
Selanjutnya ia matikan panggilan itu dan mengambil tas kecil yang kemudian diisi ponsel dan juga dompet.
Ana keluar kamar dengan hati yang gelisah.
***
"Ana!"
Seruan seseorang dibelakang akhirnya berhasil menghancurkan lamunan gadis cantik berambut panjang itu. Ana mengerjapkan mata sebelum akhirnya menoleh pada sumber suara. Wajahnya terlihat lelah namun juga banyak pikiran.
"Kak, kamu sudah datang?" tanyanya datar.
Dokter Ratna menarik kursi di samping Ana dan duduk di sana. Ia menatap lekat wajah pasiennya itu. Mencari tahu apa yang sedang terjadi.
"Hentikan tatapanmu yang seperti itu, Kak! Aku baik-baik saja." Ana memalingkan pandangan. Ia mengambil gelasnya dan meminum fruit frape itu.
Dokter Ratna menyipitkan matanya, dengan tatapan masih lurus pada Ana, membuat gadis itu tersedak karena salah tingkah. Ia tersenyum puas setelah melihat Ana tersedak seperti itu. Ia mengambil tisu dan memberikannya pada Ana.
"So, ada apa, Ana? Kenapa kamu grogi seperti ini?" tanyanya dengan senyum yang mengembang.
Ia melihat tanggal di jam tangannya. "Wait! Sekarang kan hari Rabu? Bukankah jadwalmu sangat penuh hari ini? Dan biasanya kamu akan langsung tertidur sepulang kuliah."
Ana menghela nafasnya dengan berat. Ia merasa jantungnya berdegup lebih kencang, juga pipinya yang bersemu memerah ketika mengingat kejadian beberapa menit yang lalu.
"Ah, aku tidak tahu, Kak! Aku kesal!" seru Ana, membuat Dokter Ratna semakin penasaran dengan apa yang terjadi.
"Kesal? Sama siapa? Kamu bahkan tidak pernah berinteraksi dengan manusia siapapun. Kenapa kamu kesal?"
Ana memalingkan wajahnya ketika ia sadar pipinya semakin memanas.
Dokter Ratna menatap tingkah Ana itu secara intens. Ia tahu betul pasiennya itu tidak pernah merasa kesal pada orang lain karena memang ia tidak pernah peduli dengan orang lain.
"Ana, apa kamu sedang membicarakan orang yang membuatmu tertarik itu?" tebak dokter Ratna.
Kini, Ana sungguh tidak bisa menyembunyikan rasa malunya. Ia meneguk fruit frape yang sisa setengah gelas itu hingga habis. Ia meletakkan gelasnya di meja dengan tangan gemetar.
Dokter Ratna yang penasaran, hanya menatap Ana lekat dengan senyuman ramahnya.
"Aku tidak pernah mengira kalau dia gadis yang sangat ceroboh!" Ana melemparkan pandangannya ke luar cafe. Matanya jauh menerawang, mengingat kejadian memalukan tadi.
"Apa kakak pernah di tembak seseorang di depan kelas dan disaksikan orang banyak?"
Dokter Ratna menggelengkan kepala. Matanya mengerling dengan senyuman yang begitu indah.
"Berkat dia, hari ini aku mengalami kejadian seperti itu!"
Seketika Dokter Ratna melebarkan matanya. Senyumnya mengembang semakin lebar, bahkan disertai tawa kecil. "Jadi dia menembakmu di depan orang banyak? Hahahaha...."
"Kak! Hentikan tawamu!" Ana semakin kesal melihat respon dokter pribadinya itu.
"Lalu bagaimana? Kamu menerimanya?" tanya Dokter Ratna penuh rasa penasaran. Akhirnya dia bisa menghentikan tawa meskipun tidak bisa menghentikan senyuman yang mekar di wajahnya.
Ana terdiam mengingat kejadian tadi.
***
Flashback~
"Ana, dating with me, please..."
Memang benar, setelah mendengar kalimat itu terlontar dari mulut manis gadis yang dia sukai, untuk sesaat jantung Ana berdetak secara tidak normal. Dan ketidaknormalan itu membuat otak maupun hatinya menjadi tidak sinkron.
Ana mendekatkan wajahnya ke Julia. Gadis yang menyatakan perasaannya beberapa detik lalu itu memiliki pandangan mata yang tidak bisa fokus. Sangat jelas bahwa ia sedang gelisah. Entah karena apa.
"Seingatku, kamu baru saja memutuskan pacar laki-lakimu. Kenapa hari ini kamu mengajakku berkencan? Apa kamu biseksual?"
Kalimat yang diucapkan Ana tersebut tentu saja mengundang tawa beberapa orang yang menyaksikan adegan mereka.
Sedangkan Julia memasang wajahnya yang terlihat syok dengan jawaban Ana.
Tanpa perasaan bersalah, ataupun wajah yang bersemu merah, Ana langsung meninggalkan Julia yang terpaku di tempatnya.
Flashback off~
***
"Wah... Jadi kamu meninggalkannya sendiri di sana? Menanggung malu akibat kalimat yang kamu ucapkan?" tanya Dokter Ratna dengan ekspresi tidak percaya.
"Memangnya ada kalimat lain yang bisa aku ucapkan, Kak? Logikaku menolaknya! Aku tidak ingin terlibat lagi dengannya!"
"Tapi kamu menyukainya kan?"
"Di saat seperti itu, logikaku lebih aktif untuk keluar dari mulut."
"Jadi sekarang kamu menyesal karena sudah menyakitinya?"
Ana menatap Dokter Ratna dengan kesal. "Aku tidak menyesal! Aku kesal karena dia terlalu bodoh dan juga ceroboh!"
"Hahahaha... Baiklah, sepertinya mood-mu kurang bagus. Apa kamu mau memesan minuman lain? Ice choco blend mungkin akan berguna memperbaiki mood?"
"Boleh, pesankan ya, Kak!" jawab Ana cuek.
***
Ana keluar dari ruang latihan taekwondo. Ia mengunci ruang latihan itu dan membawa kuncinya pergi. Namun, baru beberapa langkah ia meninggalkan ruangan itu, langkahnya dihadang oleh seorang gadis.
Ana menatap gadis itu dari ujung rambut atas, hingga ujung kaki bagian bawah. Meskipun jantungnya berdegup dengan tidak normal, ia tetap harus menetralkan perasaannya itu.
'Tidak, Ana! Jangan lemah lagi di depannya!' teriak Ana dalam hati.
Julia, gadis yang berdiri tepat di depan Ana, kini tersenyum begitu ramah. Wajahnya terlihat sangat cantik dan penuh kepolosan, seolah dia adalah gadis tanpa dosa.
"Ana, kamu sudah mau pulang?" tanya Julia dengan ramah. Tangannya meraih lengan tangan Ana, bersikap manja padanya.
Ana menyingkirkan tangan Julia. "Maaf, kita tidak begitu akrab hingga bisa saling bersentuhan seperti ini."
"Kita bahkan tidak saling kenal. Jadi, kamu tidak berhak memanggilku seperti seolah kamu mengenalku."
Julia menunjukkan senyum manisnya. Ia mengulurkan tangan pada Ana.
"Aku Julia Devinada, dari fakultas farmasi." Senyum itu terus mengembang di wajah Julia, memamerkan deretan giginya yang rapi dan bersih.
"Ah! Tunggu! Kamu tidak perlu menjawabnya. Biar aku saja yang jawab. Kamu Ana Maria kan? Mahasiswa fakultas kedokteran dan juga pelatih di UKM Taekwondo kampus ini?" lanjut Julia.
Ana sungguh merasa kehabisan kata pada gadis di depannya itu.
"Jika kamu diam, itu artinya jawabanku benar. So, apa Ana mau jadi temanku?" Julia mengangkat satu alisnya dengan senyum yang masih mengembang.
"Kemarin memintaku berkencan. Tapi sekarang memintaku menjadi teman? Apa kamu memiliki kepribadian ganda?"
"Aku tahu kemarin aku membuat kesalahan. Seharusnya aku berteman dengan Ana dulu, lalu meminta Ana untuk berkencan denganku. Siapa tahu selama Ana menjadi temanku, suatu hari Ana akan tergoda padaku," ucapnya penuh percaya diri.
"Aku tidak ingin berteman dengan siapapun. Apalagi orang berisik sepertimu." Ana menunjuk tubuh Julia. Kemudian ia pergi meninggalkan Julia yang terlihat kaget dengan kata-kata Ana.
Dalam perjalanannya, Ana terus kepikiran dengan sikap Julia.
'Sebenarnya dia mau apa?'
***