Chereads / Sweet Dating / Chapter 3 - Pertemuan Kedua

Chapter 3 - Pertemuan Kedua

Tidak terasa sudah 3 bulan Ana menjadi mahasiswa kedokteran, selama itu pula ia tinggal seorang diri di asrama. Perlahan, mimpi buruk itu mulai menghilang. Mungkin karena kesibukannya yang sangat padat sebagai mahasiswa baru, mungkin juga karena ia menjauh dari segala masa lalu yang pernah dialaminya.

Hari Minggu ini adalah jadwal Ana untuk mengunjungi apartemen Dokter Ratna. Ia janji pada wanita itu, setiap dua minggu sekali di akhir pekan, jika ia tidak memiliki kesibukan apapun, ia akan datang ke apartemen yang terletak 500 meter dari asramanya.

"Tidak terasa ya sudah 3 bulan kita berada di sini. Apa kamu sudah memiliki teman yang dekat denganmu?" tanya Dokter Ratna membuka pembicaraan sambil mengoleskan selai pada permukaan roti. Saat ini keduanya sedang sarapan bersama.

"Tidak. Aku malas berdekatan dengan mereka."

Dokter Ratna meneguk air putih di sampingnya. Kemudian ia menatap lurus mata Ana. "Kenapa?"

"Aku tidak tertarik pada mereka."

Ana melanjutkan makannya. Sedangkan Dokter Ratna masih memandang gadis itu penuh keheranan.

"Memangnya ada yang bisa membuatmu tertarik?"

Ana tersenyum simpul diantara kesibukannya mengunyah makanan. Ia teringat sesuatu.

***

Plaaak!

Sebuah tamparan mendarat sempurna pada pipi lembut gadis cantik. Seketika terbentuk jejak telapak tangan di sana.

Gadis itu menangis. Ia memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh pemuda di depannya.

"Sudah cukup Kak Ardian tampar aku. Aku tidak ingin lagi berhubungan dengan kakak!" teriak gadis itu histeris.

"Kalau kamu patuh sama perkataan ku, aku tidak akan pernah menamparmu! Memangnya kamu wanita apa? Jalang?"

"Aku mau kita putus!"

Tangan Ardian berhenti mengayunkan tangan ketika dengan sigap ditangkap oleh gadis itu.

"Aku tidak akan membiarkan kakak menamparku lagi. Sudah terlalu sering kamu melukai tubuhku. Aku tidak akan membiarkannya lagi."

Gadis itu melenggang meninggalkan Ardian seorang diri. Ia pergi dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.

"Julia! Julia berhenti!"

Wanita bernama Julia itu terus berlari. Bahkan semakin kencang. Ia tidak ingin ditangkap oleh laki-laki yang sudah menamparnya tadi.

Hingga tanpa terasa ia kini berada di jalan raya. Kanan kirinya hanya terlihat gedung bertingkat. Sepi dan sunyi. Terlebih ini sudah larut. Hanya wanita ceroboh yang masih di jalan ketika malam seperti ini. Dan wanita ceroboh itu... Julia.

Dia berhenti di sebuah mini market yang masih buka. Ia membeli beberapa minuman dan duduk di kursi yang terletak di depan toko.

Ia menghapus air matanya sendiri. Merutuki kebodohannya selama ini. Sesekali ia meneguk air mineral yang tadi dibeli. Tiba-tiba ia menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke kanan-kiri.

"Sial! Aku lupa kalau membawa mobil!" umpatnya kesal.

"Kalau masuk ke kampus... Ini sudah malem banget. Mana gedung arsitek angker karena dekat Fakultas kedokteran. Tapi kalo gak ambil mobil, aku pulang gimana ya?"

Julia mengacak rambut panjangnya itu. Ia terlihat sangat frustasi dengan masalah yang dihadapinya sekarang.

"Apa aku telpon anak-anak aja ya? Tapi...." Ia melihat ke jam tangannya. Sudah jam 11 malam. "Pasti mereka belum tidur kan?" tebaknya penuh semangat. Sebenarnya ini adalah cara yang ia lakukan untuk menepis kemungkinan buruk yang bisa terjadi.

Julia mengambil ponselnya. Ia meneka beberapa tombol di sana. "Ah, terserahlah kalau mereka sudah tidur! Akan kuganggu mereka sampai mau menjemputku!"

Tidak ada jawaban atas telpon yang ia lakukan. Tapi ia tak putus semangat. Ia terus menghubungi orang itu.

Saat sedang menunggu seseorang mengangkat panggilannya, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang mengganjal di benaknya. Bulu kuduknya mulai berdiri.

Perlahan, ia membalikkan kepala dengan telpon yang masih ada di telinganya.

"Huwaaaaaaa!!!" teriak Julia dengan suara yang sangat keras.

"Diam!" bentak seseorang di depannya.

Seketika wajahnya memucat ketika ujung belati menatap tajam tubuhnya. Tangannya mulai gemetar, bahkan keringat dingin keluar diantara pori-pori kulit.

"Berikan semua yang kamu punya!" Seru lelaki berpenampilan seperti preman itu.

"Ti-tidak...mau," jawab Julia takut-takut.

"Cepat berikan! Atau..." Preman itu melihat ke arah pisau yang siap menancap di bagian perut Julia.

"KAMU TIDAK AKAN BISA MENIKMATI ENAKNYA MAKAN NASI LAGI!" bentaknya.

Tangan Julia semakin gemetar. Matanya memanas, beberapa juga sudah lolos mengalir di pipinya yang chubby. Bahkan ponselnya pun jatuh ke tanah. Ia sungguh ketakutan.

"Ti-tidak... Jangan... Tolong..." Julia menangis sesegukan. Tangannya memegang tas itu dengan gemetar.

"Cepat berikan!"

***

"Kak, aku kembali ke asrama ya...."

Ana mengambil barang-barangnya yang ada di meja. Ia memasukkannya ke ransel.

"Kamu yakin? Ini sudah larut lho...." Dokter Ratna menatap wajah Ana penuh kekhawatiran.

Ana menghentikan aktivitasnya. Ia menaruh tas ransel itu dipundaknya. Kemudian menatap wajah Dokter Ratna sambil tersenyum manis. "Kak, kakak kan tahu kalau aku pemegang sabuk hitam?"

Dokter Ratna menghela nafasnya. "Iya iya... yang ada premannya jatuh sial kalau ketemu kamu di jalan."

Ana terkekeh geli mendengar celotehan dokternya itu.

"Oh ya, kamu bawa motor kan?"

"Iya. Aku pakai motor ninja yang dibelikan tante."

Dokter Ratna bergegas masuk ke ruang tv dan kembali dengan jaket kulit berwarna hitam ditangannya. "Ini, jaketmu."

Ana mengambil jaket itu. "Eh iya. Hampir aja ketinggalan. Makasih ya, Kak," jawabnya sambil memakai jaket itu.

"Ya sudah. Kamu hati-hati. Setibanya di asrama, jangan lupa kasih kabar ke aku."

Ana tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia mengecup punggung tangan Dokter Ratna dan bergegas pergi setelah mengucap salam.

Dalam perjalanannya, Ana mendengar teriakan seorang wanita. Ia memarkir motornya di punggung jalan dan langsung berlari kecil ke arah sumber suara.

Ia melihat seorang preman sedang menyerang gadis yang ketakutan dan juga petugas toko yang berdiri tak jauh dari preman itu.

Tanpa menggunakan aba-aba, Ana langsung mendekat ke arah preman itu dan mengambil belatinya. Ia sempat melirik ke arah gadis ketakutan itu. Rasanya untuk beberapa saat jantungnya berhenti berdetak. Gadis itu...

"Woi! Siapa kamu?! Kenapa ikut campur urusanku?" bentak preman itu pada Ana.

Tanpa menjawab pertanyaan itu, Ana langsung memasang kuda-kuda sebagai bentuk pertahanan diri dan persiapan jika ada serangan.

Tiba-tiba datang serangan dari ara preman. Ana yang sudah siap memberikan aksi pertahanan untuk menghindari serangan preman. Ia juga tidak menyerang balik si preman. Namun saat preman itu hendak menangkap tubuh Ana, dalam sekali jurus, ia dapat membalikkan tubuh si preman dan menahan tangannya di belakang.

Ana mengambil sebuah tali dari saku jaketnya dan mengikat tangan preman itu. Selanjutnya ia menendang bagian lutut belakang preman, mebuatnya terduduk di lantai.

"Julia!!!" teriak seorang laki-laki menghampiri mereka.

Julia yang sedang diberi minum oleh petugas toko itu menoleh pada sumber suara. Begitupula Ana. Dibalik helm teropongnya yang gelap, Ana dapat melihat laki-laki itu mengkhawatirkan Julia. Ia juga melihat adegan yang tak seharusnya ia lihat.

"Kak Adrian...," panggil Julia dengan suara lirih.

"Maaf, anda siapa?" tanya penjaga toko.

"Saya pacarnya Julia. Adrian," ucapnya memperkenalkan diri.

"Julia, kamu tidak apa? Seharusnya kamu menungguku mengambil mobil. Ini lho alasan kenapa aku posesif sama kamu," omel Adrian dengan penuh kasih sayang.

Ana merasakan sesak di dadanya. Ini tidak baik. Ia harus pergi dari tempat ini. Ia melangkah menuju ke tempat sepedanya terparkir.

"Ehem. Permisi mas," tahan Adrian pada Ana. "Terima kasih sudah menyelamatkan pacar saya," lanjutnya.

Ana hanya menganggukkan kepala tanpa menoleh pada Adrian maupun Julia. Ia segera kembali ke motornya dan menancap gas. Beberapa saat kemudian motor Ana sudah hilang dalam kegelapan.

***