"Kamu? Bukannya kamu yang menolongku ya? Hari itu dan juga tadi di kampus?" tunjuk seorang gadis tepat di depan wajah Ana.
Ana menelan salivanya. Betapa sialnya dia harus bertemu gadis itu di sini sekarang.
"Buka maskermu! Aku tahu itu kamu meskipun selalu memakai masker wajah ketika menolongku," ucapnya lagi dengan nada yang begitu tegas.
Ana memalingkan wajahnya. Membuat lawan bicaranya semakin penasaran.
"Kenapa kamu selalu menutup wajahmu? Bahkan kamu tidak menjawab saat tadi aku bertanya padamu. Kamu langsung kabur begitu saja. Kenapa?" selidiknya lagi. "Are you stalker?"
Seketika Ana membulatkan matanya. Sebisa mungkin ia berusaha agar tidak bertemu pandang dengan mata Julia.
Bunyi pintu lift berhasil mengalihkan perhatian mereka. Nampak Dokter Ratna berjalan keluar dari lift.
"Hai, syukurlah kamu masih di sini," ucapnya pada Ana sambil tersenyum. Sesaat ia memalingkan pandangannya pada tangan Ana yang ditahan seseorang.
Buru-buru Julia menjauhkan tangannya dari Ana.
Masih dengan senyumnya yang lebar, Dokter Ratna melihat ke arah Ana lagi. "Ponselmu tertinggal di meja makan. Untung saja aku melihatnya," ucapnya sambil memberikan ponsel berwarna putih itu.
"Terima kasih," jawab Ana yang kemudian menyimpan ponselnya di saku.
"Ya sudah. Hati-hati di jalan. Jangan lupa memberiku kabar jika sudah tiba di asrama."
Ana mengangguk singkat, lalu berjalan keluar gedung apartemen. Begitupula Dokter Ratna yang langsung masuk ke lift dan naik ke unitnya.
Hanya Julia yang masih tertegun dengan sikap konyolnya di depan lift.
***
"Berikan aku uang!" bentak seorang pria pada wanita di depannya.
Di bawah meja, seorang seorang anak terduduk sambil memeluk kakinya. Ia menangis ketakutan. Beberapa kali ia menyebut nama 'Bapak' dan 'Ibu' secara bergantian dengan suara lirih.
"Tidak ada, Mas! Uangku sudah habis untuk kamu minum dan judi!"
"Arggh! Jangan pelit kamu! Aku tahu kemarin bapakmu sudah transfer uang untuk kita! Mana uang itu? Berikan padaku!"
"Sungguh, Mas. Uangnya sudah tidak ada. Aku pakai belanja kebutuhan rumah dan makan kita! Kamu sudah tidak pernah memberiku uang lagi!"
"Aaarg! Dasar istri tidak berguna! Seharusnya aku tidak pernah menikahimu!"
Dor... dor...
Dua butir peluru melesat lurus dari senjata api milik lelaki itu. Dan seketika darah segar mengalir deras di dada si perempuan, diiringi teriakan histeris anak kecil usia tersebut.
"Ibuuu!!!"
***
"Ibuuu!!!"
Ana terbangun dari mimpi buruknya. Nafasnya bersedia secara cepat dan terus bergantian, tersengal-sengal. Jantungnya berdetak sangat kencang. Keringat dingin beserta air mata mengalir deras di wajahnya. Matanya memerah dengan pandangan yang kosong.
Beberapa detik ia berusaha menyetabilkan keadaan tubuhnya itu. Setelah sekitar 1 menit, ia mulai bisa mengatur pernafasannya yang sempat sesak. Ia sempat melihat ke arah jam digital. Masih menunjukkan jam 3 dini hari.
Ana mengambil obat yang di simpan oleh dokter Ratna di loker nakas samping dirinya tidur. Ia meneguknya bersamaan dengan air putih yang tersedia di sana. Kemudian dalam beberapa menit berikutnya, ia sudah terlelap.
***
Keesokan harinya ia terbangun. Cukup siang ia bangun dibandingkan hari biasa. Yaitu jam 11 siang. Mungkin karena efek obat yang diminumnya semalam.
Untung saja hari ini dia berkuliah di sore hari, sehingga pagi ini dia bisa lebih sedikit bersantai. Ana mengambil ponselnya. Ia mengabari Dokter Ratna kalau ia sudah di asrama sejak semalam, tapi langsung tidur. Setelah itu ia taruh lagi ponselnya di nakas.
Ia melihat ke arah obat yang untuk pertama kalinya ia buka itu lagi setelah 3 bulan tidak meminumnya.
Mimpi pembunuhan ibunya memang tidak hadir sejak 3 bulan lalu. Hanya saja, semalam mimpi itu kembali hadir. Membuatnya terpaksa meminum obat yang ingin ia hindari obat penenang.
"Setelah melihat perkelahian sepasang kekasih, aku memimpikan hal itu lagi," gumamnya sambil menganalisa apa yang terjadi pada dirinya.
"Sebaiknya aku tidak melibatkan diri pada pertengkaran seperti itu. Aku harus menjauh dari Ardian dan Julia," lanjutnya.
Ia meneguk air putih lagi dan memakan sandwich yang ia buat sekedarnya.
***
"Ana!!"
Teriakan suara dari belakang yang akhir-akhir ini memenuhi gendang telinganya muncul lagi. Ana hanya menghela nafas dan terus berjalan.
Tangan Cecil seketika memeluk lengan Ana. Memeluknya begitu erat seolah takut kehilangan. "Ana, kenapa tidak menungguku? Kita bisa keluar bersama," protesnya dengan nada manja.
Ana tidak menjawab pertanyaan itu. Kehadiran Cecil satu Minggu ini sungguh mengganggunya. Meskipun Ana sudah bersikap tegas, acuh, bahkan menyuruh Cecil untuk tidak mendekatinya, gadis itu terus mengikutinya kemanapun ia pergi.
Ana melepaskan tangan Cecil. Ia mencari kursi yang kosong di dekat jendela cafe. Cecil mengikutinya. Ia duduk di sebelah Ana.
"Kamu ingin minum apa? Hari ini aku akan mentraktirmu," ucap Cecil sambil tersenyum riang.
"Tidak perlu. Lagipula aku sudah memesannya lewat aplikasi," jawab Ana cuek.
Seketika ekspresi wajah gadis itu berubah menjadi murung. Ia memilih duduk di samping Ana dan memperhatikan Ana yang sibuk dengan laptopnya.
"Kamu mengerjakan tugas apa? Seingatku kita tidak memiliki tugas apapun untuk pekan ini."
Ana mengabaikan pertanyaan Cecil. Matanya terus terfokus pada layar laptop berwarna silver itu. Cecil yang penasaran, akhirnya melirik ke arah laptop Ana. Ternyata gadis itu sedang membaca beberapa jurnal.
"Kamu rajin sekali ya. Di saat tidak ada tugas, kamu memilih belajar dari artikel orang lain," komentar Cecil sambil tersenyum. "Aku mau dong artikel yang sudah kamu simpan."
Ana hanya mengangguk singkat. Ia tetap terfokus pada laptopnya. Tak perlu menunggu lama, pesanan Ana pun datang. Cecil yang melihat itu seketika berdiri.
"Aku pesan makan dulu ya. Kamu mau tambah makanan tidak? Biar sekalian aku pesankan," tawar Cecil.
"Tidak perlu. Makasih."
Cecil pun pergi meninggalkan Ana yang sibuk dengan laptopnya.
Suara gaduh sekelompok wanita yang baru saja datang cukup menarik perhatian Ana untuk kesal. Ia merasa terganggu sekali denga suara-suara bising itu. Ia pun memalingkan wajahnya.
Dilihatnya Julia bersama beberapa gadis lain, sekitar 4 orang. Ana menatap Julia lekat. Tidak terasa sudah seminggu mereka tidak bertemu.
"Syukurlah kalau dia baik-baik saja," gumam Ana sambil tersenyum. Kemudian ia meminum air di depannya dan menatap layar laptop lagi.
Cecil duduk di sampingnya dengan sepiring cemilan dan satu gelas blue ocean di tangannya.
"Eh, si cantik fakultas farmasi makan di sini juga," gumam Cecil lirih. Ia memperhatikan kelompok Julia tanpa memutus pandangannya.
"Setelah putus, kelihatannya dia bahagia ya? Seperti tidak memiliki beban apapun. Padahal dia menjadi incaran nomor satu di kampus."
Ana menghentikan ketikannya. Kalimat terakhir Cecil berhasil mengganggu konsentrasinya. Ana mengernyitkan dahi. "Maksudnya?"
Cecil memalingkan pandangannya pada Ana. Ia tersenyum ramah, namun juga seperti ejekan. Yang pasti bukan untuk Ana.
"Iya. Julia diincar beberapa anak perempuan karena statusnya sebagai jomblo. Banyak laki-laki yang mengejarnya. Belum lagi Kak Ardia yang katanya masih mengejar Julia. Pokoknya dia jadi sombong karena dikejar banyak lelaki dan itu membuat beberapa anak menarget Julia sebagai target bully."
Ana menggelengkan kepalanya. Kasihan. Tapi ia juga tidak ingin membantunya. Ia berjanji pada diri sendiri bahwa tidak akan terlibat lagi pada Julia.
"Ana," panggil seseorang dari belakang sambil menepuk punggungnya. Ana menoleh, begitupula Cecil.
"Ana, aku melihat biodatamu dan menemukan fakta kalau kamu pemenang taekwondo sabuk hitam tingkat SMA tahun lalu," ucap seorang wanita tanpa basa basi.
"Ah iya, aku belum memperkenalkan diri ya. Aku Inge, sekretaris UKM Taekwondo. Jika kamu tidak keberatan, kami minta bantuanmu untuk menjadi pelatih Taekwondo di UKM kami. Bagaimana?"
Ana mengerling, ia ingat, gadis ini salah satu yang membuli Julia minggu lalu. Ana tersenyum sinis. Membuat dua orang yang berhadapan dengannya mengernyit kebingungan.
***