"Jalang?"
"Iya, jalang. Dia berkencan dengan Maba dari fakultas farmasi. Namanya Julia."
Ana terdiam. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang menyesakkan di dadanya. Seperti tersengat sesuatu. Ia meneguk minumnya lagi.
Cecil menatap Ana penuh curiga. Apalagi gerak gerik Aja yang seolah salah tingkah.
"Eh-hem! Ana, kenapa kamu melihat Kak Ardian seperti itu? Apa kamu menyukainya?"
"Enggak!" jawabnya cepat.
"Kalau enggak, kenapa harus pakai nada tinggi?" ledek Cecil dengan seringai di bibir mungilnya.
Ana berdeham pelan, kemudian memotong wafflenya.
"Wajar sih kalau kamu suka sama Kak Ardian. Banyak juga kok cewek-cewek di kampus kita yang suka sama Kak Ardian. Tapi yang beruntung ya si jalang itu."
Ana menaikkan pandangannya. "Kenapa kalian memanggilnya jalang?"
"Karena dia memang jalang. Sudah memiliki pacar seperti Kak Ardian, tapi masih suka berpakaian seksi dan bersikap manja pada cowok lain."
Ana meminum frape-nya lagi. Ia merasa pembicaraan kali ini akan sedikit panjang.
"Banyak wanita di kampus kita yang membencinya. Kalau dia hanya bersikap manja dan sok imut di depan Kak Ardian aja kita bisa maklum. Tapi kalau dia bersikap seperti itu di depan laki-laki lain juga, bukankah dia terlalu serakah untuk memiliki semua laki-laki di kampus ini? Kalo semua laki-laki memutuskan kekasihnya demi berkencan dengan Julia, bagaimana para wanita di kampus ini menutupi gosip tentang mereka?"
"Hah? Maksud kamu?"
"Ups... Sorry, aku kelepasan," ucap Cecil sambil menutup mulutnya.
Ana justru menatap wanita itu dengan semakin tajam.
"Katakan apa yang terjadi di kampus ini. Berita apa yang aku tidak tahu," desak Ana.
"Di sini, yang berpacaran secara normal hanya Kak Ardian dan Julia. Mereka pasangan yang ideal secara hukum dunia."
"Lalu yang lainnya?"
"Hanya pasangan yang sengaja direkayasa untuk menutupi kisah asli mereka."
"Maksud kamu?"
Cecil terkekeh geli. "Wanita di sekolah ini lebih menyukai teman wanitanya dibandingkan laki-laki yang menjadi pasangannya. Mereka mau berkencan dengan lelaki itu untuk menghindari gosip."
"Memang ada ya yang seperti itu?"
"Banyak!"
Lagi-lagi Ana memilih diam.
"Ana, perasaan yang dimiliki manusia itu anugerah dari Tuhan. Apapun bentuknya, pada siapapun perasaan itu datang, itu semua karunia dari Tuhan. Jadi kita tidak bisa lari jika itu memang sudah takdir kita."
Cecil menatap ke arah Ardian yang masih digoda beberapa wanita.
"Kalau seperti ini, aku lebih kasihan pada Julia."
Ana menyipitkan matanya. "Kenapa?"
"Seperti yang aku bilang, Julia wanita yang cantik dan seksi. Dengan statusnya sebagai single tercantik di kampus, tentu saja ribuan laki-laki sedang mengejarnya. Dan itu akan membuat dia jadi target bully oleh para wanita di kampus."
Ana termenung mendengar ucapan gadis di depannya itu. Ia tidak tahu jika akan seribet ini kisah di universitas.
Cecil melihat ke arah jam tangannya. "Ana, sudah sore nih. Kita pulang yuk."
"Tapi sepedaku terparkir di dekat Fakultas."
"Sama. Mobilku juga terparkir di sana kok. Kita ke fakultas dulu ya."
Ana menganggukkan kepala. Kemudian mereka pergi dari cafe itu.
***
Mengobrol dengan Cecil setelah makan siang memang cukup menyita waktunya. Dua jam yang dimiliki Ana terbuang sia-sia hanya untuk mendengarkan radio dari mulut Cecil. Ia menggerutu kesal, namun tidak mungkin mengungkapkan keluh kesahnya itu di hadapan gadis imut bermata empat yang tadi makan dengannya.
"Ana, aku senang bisa mengobrol denganmu hari ini. Aku harap kita bisa mengobrol juga esok hari ketika berada di kelas," ucap Cecil dengan senyumannya yang manis.
Ana hanya tersenyum canggung. Ia menggaruk rambutnya yang tidak gatal dengan bola mata melihat ke sekitar, seolah malas mendengar kalimat itu.
"Oh ya, mobilku ternyata diparkir di sini. Aku pulang ya... Kamu juga hati-hati pulangnya. Bye-bye...." Cecil melambaikan tangan dengan wajah imutnya. Ia melangkah mundur menjauh dari Ana.
Ana mengangguk dan memberikan senyum. Rasanya malas sekali untuk berbicara dengan wanita itu. Tapi sepertinya ia juga harus berterima kasih pada gadis itu. Berkat dia, Ana dapat mengetahui informasi tentang Julia.
Ana melangkah malas, melewati koridor untuk menuju ke parkiran motor. Jaket dan juga masker telah ia pasang di tubuhnya. Namun, ia membiarkan rambut panjangnya terurai. Headset bluetooth berwarna putih juga telah terpasang di telinganya, sehingga ia tidak bisa mendengar apapun di sekitarnya.
Namun, langkah Ana terhenti ketika merasakan sesuatu yang aneh dari dalam gudang di sampingnya. Ia pun melepas headset yang digunakan.
"Tolooong... Tolong... To...looo...!" teriak seseorang dari dalam. Terdengar pula beberapa gebrakan kayu di sana.
Dengan keberanian yang tinggi, Ana langsung mendobrak pintu gudang yang tertutup rapat itu dengan kakinya. Langkahnya masuk ke ruangan itu tanpa keraguan sedikitpun.
"Toolo-" Teriakan itu terdengar lebih lirih.
Ana mengendap-endap masuk ke bagian dalam gudang. Ia juga bersiaga jika ada serangan dari pihak lawan.
Dari balik tumpukan kardus, Ana dapat melihat Julia di sekap oleh sekelompok wanita. Seketika matanya memanas menyaksikan pemandangan tak diinginkan itu. Ia teringat cerita Cecil di cafe, bahwa Julia akan dibuli oleh beberapa wanita.
Ternyata itu benar adanya. Tubuh Julia telah dipenuhi dengan luka. Rambutnya terlihat berantakan. Bajunya juga beberapa telah sobek. Dengan langkah berani, Ana keluar dari persembunyiannya.
"Hoi! Apa yang kalian lakukan?" Tanyanya dengan keras.
Seketika beberapa wanita yang membuli Julia menoleh pada Ana. Bahkan mereka membelalak tak percaya.
"Lepaskan dia!" perintah Ana tegas.
"Kamu jangan ikut campur urusan kami! Sebaiknya kamu pergi!" jawab salah satu dari mereka.
"Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum kalian melepaskan dia!"
"Ouh, SH*t!"
Seseorang langsung menyerang bagian belakang Ana dengan sebuah pukulan. Tapi sayang, pukulan tersebut dapat di tepis Ana dalam sekali gerekan, membuat pukulan itu melayang ke arahnya.
Beberapa dari mereka pun mulai perkelahian. Ana melayani itu dengan santai, tanpa rasa takut sedikitpun.
Mereka terus berkelahi. Menyerang Ana secara bergantian dari berbagai sudut. Ana yang sudah terlatih dalam pertahanan diri, memilih membentuk pertahanan dibandingkan melawan mereka. Ia membalikkan serangan tanpa sedikitpun memulai pemukulan pada pihak lawan. Bahkan beberapa terjatuh karena kecerobohan mereka sendiri. Ana masih berdiri tegak tanpa luka sedikitpun di tubuhnya.
Tanpa banyak bicara, mereka yang menyerang Julia itu lari terbirit-birit meninggalkan Ana dan Julia. Setelah memastikan mereka pergi, Ana mendekati Julia yang terikat di sebuah bangku. Ia melepaskan lilitan itu dan mencabut kain yang dipakai untuk menutup Julia.
"Terima kasih ya sudah menolongku," ucap Julia terisak.
Ana hanya diam. Ia melangkah pergi setelah memastikan Julia aman. Namun langkahnya terhenti ketika tangan Julia menggenggam erat pergelangan tangannya.
"Malam itu...." Julia membuka suara lagi. Ia menatap Ana begitu lekat.
Ana merasakan sesuatu yang tidak normal dalam tubuhnya. Mengalir begitu deras di pembuluh darahnya.
"Malam itu... Kamu kan yang menolongku?"
***