"Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja? Kenapa dia masih memejamkan mata?"
Berbagai macam pertanyaan melesat keluar dari bibir Kak Ardian. Matanya menatap gadis yang tidur di bed pasien dengan cemas. Sedangkan nampak Ana sedang mempersiapkan beberapa obat juga kebutuhan lain dari lemari obat.
"Hei! Jawab aku!" bentak Kak Ardian.
Ana menoleh dan menatap tajam lelaki itu. "Jika anda penasaran, anda periksa sendiri! Saya akan keluar!" jawabnya yang terdengar sangat dingin.
Cecil yang berdiri di samping Kak Ardian seketika memegang lengan pria itu dengan tatapan mata yang lebih tenang.
"Sebaiknya kita keluar, Kak. Ana adalah Maba kedokteran terbaik di sini. Dia bisa diandalkan untuk merawat pasien," ucapnya sambil tersenyum.
"Tapi...." Kak Ardian nampak ragu. Namun ia dapat melihat sorot mata Cecil yang sangat percaya diri itu. Ia pun mengikuti saran Cecil dan melenggang keluar dari ruang perawatan. Menyisahkan Ana dan Julia yang tertidur di ranjang.
Ana bergerak mendekat ke sana dengan tangan yang sudah membawa beberapa salep dan juga obat merah. Ia mulai membersihkan luka di bagian dahi Julia. Ia juga melihat luka itu dengan seksama, memastikan bahwa tidak ada yang parah. Selanjutnya ia menutup luka itu dengan kasa yang sudah diberi obat merah.
Ana bergerak menuju ke bagian kaki Julia. Ia melepas sepatu gadis itu. Dilihatnya pergelangan kaki yang membengkak. Ia langsung mengambil es batu dan mengompresnya. Selanjutnya ia menyemprotkan obat anti radang di sekitar daerah memar.
Tak lama mata Julia mulai terbuka. Ia mengerjap beberapa kali sembari mengedarkan pandangannya. Ana berdiri sedikit menjauh dari kaki Julia dan menatap pergerakan wanita itu.
"Aku di mana?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi.
"Klinik kesehatan fakultas kedokteran," jawab Ana datar.
Julia tersentak kaget. Segera ia bangun dan menyandarkan tubuhnya di headboard ketika merasakan sakit di kepala.
"Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit?"
Julia diam sesaat, mungkin dia merasakan apa yang tidak beres di tubuhnya.
"Kakiku terasa berat dan kepalaku terasa pusing," ucapnya lemah.
Namun seketika ia melebarkan mata dan menatap lurus ke Ana. "Eh? Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Memangnya kamu siapa? Sepertinya bukan petugas kesehatan...."
Ana melangkah mendekat ke Julia. Ia berdiri di sampingnya, wajahnya semakin maju ke depan. Ia menatap mata Julia lekat. Untuk beberapa saat, Julia harus menahan nafas tak kala wajahnya berjarak kurang dari 10 cm dengan wajah Ana.
"A-apa...yang a-akan kamu lakukan?" tanya Julia tergagap. Namun wajah Ana semakin mendekat padanya, membuatnya reflek memejamkan mata.
Ana tersenyum sinis. Tangannya bergerak mengambil salep dan mengoleskan di sekitar luka dahi Julia yang tertutup. Kemudian ia menarik tubuhnya untuk menjauh dari Julia.
"Pusing di kepalamu itu hanya akibat benturan dan memar. Sedangkan kakimu mengalami keseleo, namun tidak parah."
Ana mengambil perban kain kemudian melilitkannya pada pergelangan kaki Julia yang terluka.
"Untuk sementara jangan biarkan kakimu bergerak terlalu sering biar peradangannya segera hilang."
Julia menatap Ana dengan pandangan lurus. Matanya yang sipit sengaja ia lebarkan untuk menakuti Ana.
"Sebenarnya kamu siapa? Kenapa bertindak seolah kamu tenaga medis?"
Ana bergerak mendekat lagi ke arah Julia. Lagi-lagi ia membuat gadis itu menahan nafas. Ia semakin memajukan wajahnya, mendekat ke arah samping Julia, menyapu permukaan kulit telinga Julia dengan nafasnya.
"Aku? Aku calon dokter dari universitas ini."
Entah kenapa, Julia merasakan pipinya menghangat. Bahkan udara di sekitarnya juga memanas. Ana menjauhkan tubuhnya dan terkekeh melihat Julia yang salah tingkah.
"Kamu tidak sedang tergoda oleh wanita sepertiku kan? Kenapa wajahmu begitu merah? Hahahaha..."
Julia melempari Ana dengan bantal di tangannya. Namun tangan Ana dapat menangkapnya dengan cepat.
"Melihat kekuatanmu melempar bantal ini dengan baik, aku rasa kamu sudah baik-baik saja," ucap Ana sambil tersenyum. Ia melirik ke bagian pintu masuk.
"Di luar ada pacarmu, apa kamu mau aku panggilkan dia untuk ke sini?" tawar Ana.
Julia memalingkan wajahnya. "Aku tidak ingin melihatnya lagi."
"Kalau begitu bicaralah padanya biar dia pergi."
"Sudah kubilang, aku tidak ingin bertemu dengannya!"
Seketika bibir Julia memberikan lekukan senyum.
"Kamu kan sudah menolongku, boleh aku minta tolong sekali lagi?" tanya Julia tanpa rasa malu ataupun bersalah. Senyum diwajahnya terlihat semakin lebar.
Ana mengangkat sebelah alisnya.
"Tolong kamu beritahu dia kalau aku tidak ingin bertemu dengannya lagi."
"Itu masalah kalian. Jangan libatkan aku! Aku harus pergi sekarang."
Ana membalikkan tubuhnya, namun tangannya di tahan oleh Julia. Tiba-tiba ia merasakan jantungnya berdegup semakin kencang saat tangan wanita itu memegangnya dengan erat.
"Aku mohon, katakan padanya... Ya? Ya? Ya?" rengek Julia.
Ana yang merasa kesal seketika langsung menghempaskan tangan Julia. Ia melangkahkan kakinya lagi.
"Tunggu!" seru Julia yang berhasil menghentikan langkah Ana tepat di pintu.
"Jika dilihat dari belakang, kamu mirip sekali dengan stalker yang mengikutiku akhir-akhir ini. Orang itu... Kamu kan?"
Ana langsung menarik pintu kaca dan keluar tanpa bicara apapun pada Julia. Sedangkan gadis itu mengernyitkan dahi, memikirkan benarkah itu orang yang sama?
Tak lama, beberapa teman Julia masuk ke ruangan. Mereka langsung berdiri melingkar di sekitar tempat tidurnya
"Julia, kamu tidak apa kan?" tanya salah satu temannya yang memakai kacamata, Gian.
Julia mengangguk, namun matanya terus mencuri-curi pandang ke arah pintu.
"Syukurlah. Terus itu dahi sama kaki kenapa? Kok di perban gitu?" sahut Desi, teman Julia yang lain.
"Aku tidak tahu. Hanya terasa sakit."
Gian mendekatkan wajahnya, "Sepertinya lukanya cukup dalam. Tapi sudah dirawat dengan baik."
Julia hanya mengangguk. Pandangannya tak lepas dari arah pintu.
"Oh ya, tadi yang merawatmu itu... Dewi fakultas kedokteran kan? Tadi aku melihatnya keluar dari sini."
Julia mengerlingkan mata. "Dewi? Namanya dia Dewi gitu?"
"Aish! Bukan! Julukannya dia itu dewi. Dia itu ibarat dewi di fakultas kedokteran," sahut Desi gemas dengan Julia.
"Ya dia emang cantik sih. Cantik banget malahan. Bagai dewi kayangan. Apalagi dengan dress seperti itu." Kali ini Gian memberikan suaranya.
"Dewi apaan! Mana ada dewi ngeselinnya kayak gitu! Dia itu pelit, tega, annoying lagi!" protes Julia dengan asap api yang berkobar di kepalanya.
Desi dan Gian saling berpandangan beberapa saat. Tiba-tiba segaris senyum tergambar di wajah mereka berdua. Berbeda dengan wajah Julia yang masih menyulutkan api peperangan.
"Julia, kamu ingin membuat Kak Ardian ilfil denganmu kan?" tanya Desi tiba-tiba.
"Iya! Kalian punya ide kan?"
***
Rabu sore adalah hari yang melelahkan bagi mahasiswa baru fakultas kedokteran. Bagaimana tidak, ini adalah satu-satunya hari dimana perkuliahan mereka bagaikan perlombaan lari marathon. Dari pagi hingga sore, dari gedung A ke gedung yang lain, mereka berlarian agar tidak tertinggal mata kuliah.
Setelah kelas berakhir, Ana bergegas keluar ruangan. Tubuhnya sangat lelah. Rasanya ia ingin segera tidur tanpa ada gangguan apapun.
Cecil yang sudah hafal dengan kebiasaan Ana di hari Rabu pun hanya diam dan tidak mencari masalah apapun dengannya. Ia juga merasa lelah. Ia memilih berjalan di belakang Ana tanpa mengganggunya.
Namun langkah mereka terhenti ketika melihat seorang gadis yang tak seharusnya berada di sini. Ana yang syok dengan kehadiran gadis itu hanya menatapnya dalam diam dan datar.
"Ana...," panggil Julia dengan suara tertahan. Matanya menatap Ana dari atas sampai bawah.
Entah apa yang dipikirkan gadis itu, namun pandangan matanya sungguh membuat Ana tidak nyaman. Dia mau apa? Pikirnya dalam hati.
"Ana, dating with me, please."
***