Ana duduk di kursi yang memang di-setting untuk dua orang. Ia menatap makanannya dengan malas. Namun, ia harus melakukannya. Untuk menghindari tatapan tajam dari wanita di depannya.
Dokter Ratna, wanita itulah yang tadi menyapa Ana ketika berada di parkiran apartemen. Bagaimana bisa Ana sebodoh itu sampai tidak menyadari bahwa apartemen ini adalah kawasan apartemen milik dokternya?
Dokter Ratna menghela nafasnya. Ia meletakkan sumpit itu di samping mangkuknya.
"Jika mienya kamu aduk terus, lama-lama dia akan mengembang. Setelah itu pada akhirnya kamu akan membuangnya kan?"
Ana hanya diam. Ia tidak tahu harus merespon apa. Mulutnya tidak enak untuk makan. Tapi jika ia tidak makan, bukankah wanita ini akan semakin mencercahnya dengan pertanyaan?
"Ana, kamu sedang ada masalah? Coba ceritakan padaku."
Dokter Ratna menghentikan tangan Ana yang hanya mengaduk mie pada mangkuk. Ia menatap wajah Ana penuh kelembutan.
"Aku janji tidak akan marah atau mengomel. So, tell me why did you come here?"
Ana meletakkan sumpit di samping mangkuk. Kemudian matanya menangkap sorot lembut mata Dokter Ratna.
"Ana, aku kakakmu. Ceritakan saja tidak apa. Aku tahu kamu ke sini bukan untuk bertemu denganku."
Ana menarik nafas dalam dan membuangnya perlahan. "Aku minta maaf, kak. Aku salah. Aku tidak sadar jika aku sudah berada di sini. Aku hanya ingin mengantar seseorang."
Dokter Ratna mengernyitkan dahinya. "Mengantar seseorang? Siapa? Aku tidak melihatmu mengantar orang lain."
Ana merasa aliran darahnya membeku. Dengan sedikit gemetar, ia mengambil air putih yang ada di depannya dan meminumnya.
"Apa dia orang yang membuatmu tertarik?" tebak Dokter Ratna yang membuat Ana tersedak.
Dokter Ratna tersenyum. "Jadi benar ya. Ana sungguh sudah dewasa sekarang. Ana memiliki rasa tertarik pada orang lain. Sepertinya 3 bulan di sini membuat Ana sadar untuk membuka hati."
Ana merasakan pipinya terbakar sekarang. Bahkan ruangan AC ini terasa begitu panas dan berhasil membuat jantungnya berdegup kencang.
"Bagaimana kamu bertemu dengannya? Apa dia sangat spesial hingga dia menarik perhatianmu?"
"Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku tertarik saat pertama kali bertemu dengannya di toko roti depan asrama 3 bulan lalu. Pada saat itu, aku tidak sempat berkenalan dengannya. Aku hanya merasa dia sangat menarik untuk kulihat. Saat aku berusaha mengejarnya, dia sudah menghilang."
Ana menceritakan kejadian pertemuan dengan Julia pertama kali dengan senyum yang mengembang. Dokter Ratna yang mendengar penjelasan Ana ikut tersenyum.
"Hari Minggu kemarin, saat aku pulang dari rumahmu, aku bertemu dengannya lagi di mini market. Aku minta maaf, kak. Saat itu aku berbohong padamu di telpon." Ana menunduk lagi.
Dokter Ratna mengernyitkan dahinya. "Kenapa?"
"Aku tidak membeli kebutuhanku. Aku berhenti untuk menolongnya dari preman."
Dokter Ratna terkekeh. Membuat Ana memberanikan diri untuk melihat dokternya itu lagi.
"Jadi malam itu ada preman yang terkena sial karenamu?" tanyanya dengan tawa kecil.
Pipi Ana kembali merona. Ia bahkan menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Jadi malam itu kamu menolongnya. Lalu kalian sempat berkenalan dong?" goda dokter Ratna.
Ekspresi wajah Ana berubah menjadi murung. Ia menggelengkan kepalanya. "Dia sudah memiliki pacar, kak," jawabnya dengan nada lirih.
"Sebenarnya kalau kamu memang menyukainya, kamu harus berkenalan dengannya. Biar dia tahu namamu dan mungkin kalian bisa dekat suatu hari nanti."
Lagi-lagi Ana menggeleng.
"Oke. Setelah menolongnya dan tidak sempat berkenalan dengannya, kenapa sekarang kamu mengantarnya pulang?"
"Hari ini aku melihatnya dibuli oleh sekelompok orang. Aku menolongnya. Lalu tadi saat pulang lari, aku melihatnya ditampar oleh pacar-eh bukan! Maksudku mantan pacarnya."
Dokter Ratna menganggukkan kepala seolah mengerti sesuatu.
"Aku tidak mungkin membiarkannya pergi kan, Kak? Dia gadis yang lemah dan ceroboh. Jadi aku-"
Dokter Ratna membulatkan matanya. "Tunggu... Tunggu... Apa katamu? Dia seorang gadis?" potongnya.
Ana menganggukkan kepala.
"Kamu tertarik pada seorang gadis?" ulangnya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Ana menganggukkan kepalanya lagi. Mata bulatnya menatap bingung wajah Dokter Ratna yang tak berekspresi sekarang.
"Kak, kakak marah ya? Aku tahu perasaanku ini salah kak. Tapi aku juga tidak bisa menahan rasa yang tiba-tiba hadir ini. Aku bingung kak...." Ana terlihat begitu frustasi dengan kalimat yang diucapkannya.
Dokter Ratna menarik nafasnya dalam. Ia bingung harus berkata bagaimana. Sebagai orang yang menemani Ana selama beberapa tahun terakhir, tentu saja ia tahu persis permasalahan hidup Ana. Bahkan hal seperti ini sudah ia prediksikan akan terjadi.
Tapi, tetap saja rasanya sangat mengejutkan ketika mendengar Ana sendiri yang menceritakannya.
"Ana, kamu tahu jika itu hal yang tidak baik? Kamu belajar sains. Tentu saja kamu tahu kan resiko yang terjadi ketika kamu memutuskan seperti itu?"
Ana mengangguk. Iya, dia tahu pasti. Jika dia berakhir menjadi seorang lesbi, artinya dia tidak akan memiliki keturunan sendiri. Ia tidak akan bisa merasakan yang namanya hamil. Sekalipun bisa, mungkin itu dengan laki-laki yang tidak dicintainya.
"Tapi, aku juga tidak bisa menyalahkan perasaanmu. Traumamu terlalu besar. Kamu mau terbuka pada orang lain saja sangat sulit."
Ana hanya menundukkan kepalanya. Ia memainkan jari-jarinya.
Lagi-lagi Dokter Ratna menghela nafas begitu berat.
"Apapun yang kamu putuskan nanti, aku berharap itu adalah yang terbaik. Tapi sebelum itu, kamu harus memikirkannya matang-matang. Kamu juga harus membicarakannya denganku ketika menghadapi apapun. Mengerti?"
Nada suara Dokter Ratna yang terdengar lebih ramah membuat Ana memberanikan diri menatapnya.
Ana mengangguk. "Iya, Kak. Aku mengerti."
"Ya sudah, lanjutkan makanmu."
Ana melihat mienya yang sudah mengembang. Bahkan kuah di dalamnya sudah hampir habis. Seketika wajahnya berubah menjadi sedih.
Dokter Ratna tertawa kecil. Kemudian ia mengambil sesuatu dari kulkasnya. Ternyata sebuah mangkuk berisi salad buah.
"Makan ini saja ya? Ini sudah cukup larut untuk kamu makan yang berat-berat."
Ana melihat salat itu dengan mata berbinar. "Terima kasih, Kak!" serunya kegirangan. Ia langsung menyantapnya dengan lahap.
Dokter Ratna hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Bagaimana bisa gadis sepolos ini menjadi salah satu dari LGBT? Tapi, mungkin ini juga jawaban dari kegundahan hati untuk memiliki pasangan hidup. Meskipun dari jalan yang berbeda.
***
Ana keluar dari lift tepat ketika pintu itu terbuka. Namun langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri di depannya.
"Kamu? Bukannya kamu yang menolongku ya? Hari itu dan juga tadi di kampus?" tunjuk seorang gadis tepat di depan wajah Ana.
Ana menelan salivanya. Betapa sialnya dia harus bertemu gadis itu di sini sekarang.
"Buka maskermu! Aku tahu itu kamu meskipun selalu memakai masker wajah ketika menolongku," ucapnya lagi dengan nada yang begitu tegas.
Ana memalingkan wajahnya. Membuat lawan bicaranya semakin penasaran.
"Kenapa kamu selalu menutup wajahmu? Bahkan kamu tidak menjawab saat tadi aku bertanya padamu. Kamu langsung kabur begitu saja. Kenapa?" selidiknya lagi. "Are you stalker?"
Seketika Ana membulatkan matanya.
***