Di Buana Yang Telah Sirna, orang-orang biasa menyebut perempuan penipu atau penghianat dengan sebutan, wanita berbisa. Namun di Tenggara, wanita berbisa memiliki arti yang nyata dan harfiah.
Suku Toksik memiliki banyak sekali racun dan zat-zat berbahaya dalam tubuh mereka, dan sebagaimana sebuah elemen, mereka kebal terhadap setiap zat toksik yang ada. Dan di saat yang sama, mereka jugalah sumber dari segala marabahaya ini.
Mulut berbisa dan kuku yang menggoreskan racun, nafas yang membunuh udara segar, dan menyisakan kematian. Bahkan ketika berjalan, jejak mereka meninggalkan kabut hijau yang amat pekat, dengan racun yang cukup untuk membunuh makhluk rentan layaknya Ilmuan Langit.
Selain darah, tubuh mereka juga dialiri merkuri, formalin, dan banyak zat super toksik lainnya, menjadikan mereka menawan, awet muda (walau sejatinya, tubuh mereka memang terdesain dengan reverse aging layaknya lobster) dan kebal terhadap banyak penyakit yang tak mampu hidup pada tubuh mereka yang amat tak bersahabat.
Namun jika cinta yang kalian cari dari mereka… kurasa tak perlu lagi kujelaskan bukan?
Suku Toksik juga merupakan ahli dalam Alkimia. Terutama dalam bahan-bahan berbahaya, layaknya peledak, racun, zat korosif dan sebagainya. Mereka menggunakan banyak bahan kimia dari alam sebagai senjata, menjadikan suku Toksik salah satu dari yang paling berbahaya di Dunia baru ini.
"Bahaya? Mereka? Hmm.... mungkin." Sesosok bayangan hitam tampak turun dari atas pohon kelabu yang tumbuh di samping gerbang gulita terbuat dari kegelapan.
"Jika kau sebegitu lemahnya."
Hari ini suku Toksik tengah berjalan, hendak menelusuri Ratmuju untuk melakukan ekspedisi bulanan mereka. Ini pertama kalinya mereka melakukan ini di Ratmuju, mereka penasaran akan aktifitas biota dan alam di negeri yang dihuni dua elemen penguasa siang dan malam.
Sayangnya mereka harus melewati suku Kegelapan terlebih dahulu jika ingin masuk ke Ratmuju, dan yang menjaga gerbang hari ini… anggap saja keberuntungan tidak ada di pihak mereka.
"Bang ade bocah tuh lagi ngetug ke arah kite." Salah satu anggota ekspedisi melapor pada ketua mereka.
"Bocah? Bisa lu kenalin kagak?" Tanya si ketua.
"Kagak bang, tapi dienye punya tato di bawah matanye."
"Ape?!" Dengan panik ketua ekspedisi langsung bergegas ke ujung barisan.
"Tato gagak di bawah mata, yaelah si Verslinder lagi…"
Sosok yang dimaksud pun datang menghampiri tim ekspedisi. Wajah anak itu tak pernah sekalipun terlihat cerah.
"Selamat pagi, pak Verslinder." Sapa ketua ekspedisi.
"Pagi..." Verslinder menyapanya balik dengan nada judes yang cukup untuk membuat jantung seseorang berhenti berdetak.
"Maaf menganggu paginya, pak. Tapi bolehkah kami minta izin untuk memasuki lahan Ratmuju?" Tanya ketua ekspedisi.
Bocah itu menatap lama pada sekumpulan orang di depannya, mereka semua tampak begitu gugup akibat rasa takut yang terus dipancarkan anak berkulit kelabu itu.
"Sadarkah dirimu ini sudah masuk wilayah Ratmuju? Peraturan kami sudah berlaku di sini." Ucap Verslinder.
"SPEAK IN UNITY!"
Mendadak udara terasa begitu pekat dan menekan, langit juga berubah murung dan suram, seakan warna memudar dari pandangan mereka.
"E-Eh… I am sorry mist—"
"Verslinder is enough." Bocah bermata ungu gemilang itu menyela ucapan ketua ekspedisi.
"Verslinder, can we… ape namanye… pass through?" Ketua ekspedisi melanjutkan perkataannya.
"Repeat!" Tegas Verslinder.
"Ah! Persetan lah anjeng! Lau kire gue bakal andepin waktu buat bahasa yang cuman bakal gue pake sekali seumur hidup!?" Ketua ekspedisi tiba-tiba menarik pisau racun dari sabuknya dan berusaha mengayunkannya pada Verslinder.
Sayangnya untuknya, Verslinder menyadari tingkah lancangnya. Seketika, terdengarlah suara jari yang terjentik. Dan sebuah not balok pun muncul, dan berubah menjadi borgol yang mengunci tangan ketua ekspedisi.
"Rude..." Ucap Verslinder.
"Anjeng! Serang!" Ketua ekspedisi pun melengking panik.
Semua anggota ekspedisi mengeluarkan busur silang mereka dan menembakkannya pada Verslinder. Namun setelah tiap lenting anak panah yang melesat sirna dari udara, yang mereka temukan hanyalah sekumpulan batangan kayu itu tertancap di tanah, menembus asap hitam yang mengepul di hadapan mereka.
"Biadab! Bise bahaye inih keadaaan..."
Di kejauhan Verslinder berjalan dari balik bayangan sembari melantunkan sebuah lagu. 77 nada pun muncul dan berubah menjadi biola-biola yang mengelilingi tim ekspedisi. Atmosfir terasa semakin berat dan mencekam, ketakutan menghantui seisi tim, perlahan menggerogoti mereka.
Ke-77 biola mulai bernyanyi dengan kuat dan cepat, menyentak dengan serangan, mengeluarkan sekumpulan nada yang bersatu di depan tiap sebelas dari mereka. Muncullah 7 buah timpani yang berdentum dengan lantang, menghantam jantung mereka lebih keras dari apapun yang ada di bumi ini.
"Behold! The Melody of Crows!"
Suara Verslinder menggema ke penghujung Ratmuju. Teriakan burung gagak pun menggelegar, mebayang-banyangi tim ekspedisi. Melodi dari biola dan timpani menjadi ganas dan mengintimidasi, ribuan nada berbunyi dan menyerbu mereka semua.
Tim ekspedisi menjadi frustasi akibat nada kutukan yang tercipta oleh kegelapan, dan mulai menyerang secara membabi buta, menginginkan agar Verslinder segera menghentikan musik ini.
Melodi para gagak menghilangkan kewarasan mereka, hingga mulai orang-orang Toksik itu terus menyerang satu sama lain, melempari rekan-rekan mereka dengan bahan peledak dan zat korosif, menusuk satu sama lain, membakar satu sama lain hingga badan mereka mulai tak bisa di kenali manusia. Terkecuali satu orang...
"Oh... one survived, should I be impressed?" Verslinder memandang pada ketua ekspedisi yang kini berdiri seorang diri.
"I think you should, Sweet Crow~" Suara perempuan yang begitu muda dan manis mendadak terdengar dari sela-sela bayangan bocah itu.
"Well..."
"Kau... sial... beraninya..." Menggigil kian hebat, Ketua Ekspedisi memunculkan tombak hijau berlumurkan racun dengan tangannya yang kini sudah terbebas dari musik Verslinder.
Di atas kulit cerahnya kemudian hadir bulu-bulu putih bercahayakan hijau terang, memperbaiki tiap kerusakan pada tubuhnya. Bulu bidadari itu pun kemudian gugur setelah selesai dengan tugasnya.
"Ah, I see why now... he's one of the Toxic Noblesse." Ucap Verslinder merujuk pada kasta si Ketua Ekspedisi.
"Bocah brengsek, kau itu bukan DiVarri, kau bukan Profisa, kau cuman Magistra kayak gua, bisa-bisanya kau sombong kayak gitu!?" Ketua ekspedisi menunjuk menunjuk dengan tajam pada bocah Kegelapan di depannya.
"This guy really has no intention of speaking Unity, isn't he?" Verslinder menghela nafas. Lalu mulai berbicara dengan bahasa Bumi. "Terus kenapa? Bukannya sudah jadi pengetahuan umum kalau keangkuhan itu dosa para musisi?"
"Anjeng!" Ketua ekspedisi mendadak menyerbu ke arah Verslinder.
"Lagi pula..." Sementara Verslinder hanya berdiam di atas pijakannya.
Pria toksik itu kemudian melesat, menusukkan tombaknya ke arah bocah itu. Lalu dari sekeliling Verslinder seketika muncul tiga ular hijau yang siap mematuk dirinya. Mereka menerjangnya dengan penuh kekuatan.
*Cetik*
Suara jentikan namun terdengar, dan perisai kegelapan pun terbentuk dari nadanya, berwujudkan sebuah bola hitam keunguan transparan yang melindungi tiap sisi tubuh anak itu, menghadang keempat serangan yang tertuju ke arahnya.
"Bagaimana bisa kamu menyamakan tingkatan kami dengan makhluk fana macam kalian...?"
Verslinder lantas menarik kepalan tangan kanannya ke belakang, kemudian meninju melewati perisai kegelapan, memecahkannya bagai kepingan kaca. Sementara kepalan itu ditabrakkannya pada ujung tombak ketua ekspedisi, mementalkan jauh pria itu bersama senjatanya.
"Apa-apaan!?" Si Ketua Ekspedisi berusaha kembali berdiri dari tanah yang kini remuk tertabrak tubuhnya.
"Gua bunuh lo, BOCAH SIAL!"
Pria itu kemudian menghentakkan tombaknya ke bawah dengan kedua tangannya, dan muncullah 7 lingkaran toksik hijau raksasa di Angkasa. Darinya keluar 7 bidadari berpakaian putih kehijauan dengan sayap suci terbentang, memancarkan cahaya hijau terang gemilang. Kedua tangan mereka saling menggenggam di depan dagu, layaknya sedang memanjatkan doa.
"Hmm?"
Menyaksikannya, Verslinder lekas memanggil kembali biolanya. Kini ia yakin, ia setidaknya perlu menanggapi lawannya kali ini dengan sedikit serius. Ya hanya sedikit.
Suku Kegelapan dan suku Cahaya merupakan suku yang bertarung menggunakan nada yang dikeluarkan tubuh dan instrumen mereka. Nada-nada ini bisa berubah menjadi banyak hal, tergantung pada kekuatan penggunanya.
"Di atas beban kehidupan"
"Daerahku kini berlangit lembut"
"Perawan surga yang kian bersayap"
"Datangkan padaku angin yang tak kuasa menusuk!"
Di hadapan ketujuh bidadari kemudian terbentuk tujuh tombak raksasa yang terlilit ular gas berwarnakan hijau terang, dan di sampingnya muncul sepasang sayap yang terbentang begitu tajam, seakan siap untuk menukik.
Sementara melihat bahaya yang terpampang di hadapannya, Verslinder memasang tangan kanannya pada penggesek biolanya.
[Teknik Toksik]
[Tingkat 8]
"(Eksekusi Tombak)"
"Vhis Derkumvelin Cuk'!"
Dua ular hijau muncul dari bawah Verslinder dan menggigit kedua kakinya, menyuntikkan bisah yang melumpuhkan pergerakan, membuatnya tak bisa berpindah dari posisinya sekarang.
Lalu di hadapan tiap tombak terbentuk tiga lingkaran gas toksik, berjejer dari besar ke kecil, dari depan ke belakang. Masing-masing lingkaran akan memperkuat kekuatan dari serangan tombak bidadari, dan memusatkan mereka pada satu target.
Langitpun mendadak kian menghijau.
*Tok!*
Ketua Ekspedisi menghentakkan tongkatnya, dan ketujuh tombaknya pun melesat, meluncur dengan ganasnya melewati tiga lingkaran di hadapan mereka.
Sementara ituVerslinder menarik cepat penggeseknya, menghasilkan satu gesekan cepat dan panjang.
"Dolce..."
Gelombang nada pun menyayat udara, menabrak ketujuh tombak, memaniskan mereka kembali menjadi luapan energi hijau. Kini serangan si Ketua Ekspedisi tak lain hanyalah sekumpulan angin kencang yang berhembus pada Verslinder, tanpa memberi efek apa-apa pada dirinya.
"Apa!?" Ketua ekspedisi pun tersentak kaget.
"Oi, cewek!" Verslinder berseru pada suara manis yang sebelumnya hadir, dan terdengarlah satu dentangan timpani yang lantang. Mendadak bisah di kakinya hilang, dan kini ia kembali mampu bergerak bebas.
*Srehk!*
Verslinder lalu mencakar udara dengan tangan kanannya, memunculkan 5 garis hitam yang melayang di hadapannya, angkan lembaran buku musik yang kosong.
"Tempo di Marcia... (120 bpm), Staccato!"
Ia kemudian menggesek biolanya, menyuarakan 32 nada 1/64 yang menyentak. Dalam satu detik, 5 garis itu lekas terisi oleh 32 not balok yang tertulis turut melayang-layang, memancarkan sinar keunguan.
*Srahk!*
Verslinder kembali mencakar udara, namun kali ini dengan arah yang berlawanan. Kelima garis hitam tadi pun hilang, dan nada yang tertulis di melesat dengan cepat ke arah ketua ekspedisi.
"Breng—"
Ketua ekspedisi berusaha menangkis sebanyak mungkin nada dengan tombaknya. Tapi sayangnya mereka yang berhasil lewat, menabrak titik-titik penting pada kaki dan tangannya. Ia pun terjatuh, terbaring lemas tanpa mampu bergerak untuk kembali bangkit.
Tiba-tiba dalam sekejap, Verslinder muncul dari bayangan pria itu, dengan penggesek biolanya menempel pada leher korban malangnya.
"Hebatnya... ucapanmu benar."
"..."
"Kamu memang hanya menggunakan Unity sekali dalam seumur hidupmu..."
*Sreeeet!*
Dengan cepat Verslinder menyayat leher ketua ekspedisi dengan penggeseknya, memisahkannya dari tubuhnya.
Para burung gagak lalu datang berterbangan di atas mereka, perlahan melahap sisa-sisa tubuh orang-orang Toksik.
***
Sementara di lain sisi pulau ini, Amartya dan rombongannya sudah berlabuh di Garabandari. Mereka berada di pelabuhan Flouro. Sebuah pelabuhan besar tempat orang-orang suku toksik melakukan perdagangan. Daerah ini adalah satu-satunya wilayah di Garabandari yang dikarantina dari elemen toksik, dan semua warga suku Toksik di sini memakai pakaian khusus agar zat-zat berbahaya dalam tubuh mereka tidak dapat keluar.
Lalu bicara soal kapal, Naema tak mungkin bisa menjaga kapal mereka untuk selalu beku jika dia tak lagi berada di sana, dan nahkoda yang merupakan elemental Naema tidaklah mungkin ia tinggal, karena setiap penyihir hanya bisa menyalakan elemental dalam jumlah yang terbatas.
Kapal itu akhirnya dikembalikan ke bentuk semula, dan Sarah serta Raina pun dikeluarkan dari lambung kapal. Naema mengambil kembali semua kristal api dan memasukkannya ke dimensinya, sementara para tanaman air hasil buatan Ester di lepas begitu saja ke laut bebas. Gadis es kita lalu mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih kepada Sarah dan Raina, kemudian turun meninggalkan kapal.
"Aswarakwar, Tuan Penguasa!" Sarah dan Raina melambaikan tangan dari perairan.
Setelah turun dari kapal, Ester memberikan perlindungan toksik kepada Naema dan Amartya dengan sihir alamnya. Dan kini, mereka pun siap berjalan menuju ibu kota suku Toksik, Kota Polona.
"Wey tong, pedang lu mantep juge!" Seorang pedagang lokal tiba-tiba datang menghampiri mereka.
"Wah iya bang, logam bagus ini." Balas Amartya.
"Logam ape tu tong?" Tanya si pedagang.
"Titanium… kayaknya." Amartya tampak ragu.
"Aku juga yakin itu titanium, kakanda." Sambung Naema.
"Lah? Titanium kan logam jelek tong, gompal biasa e pedang titanium tu, kok situ... nape tajem?" Si pedagang kembali bertanya.
"Ini alloy (paduan) lah bang, mana ada pedang bagus dari logam murni, lagi pula sisi tajamnya dicangkok make tungsten karbida." Kata Amartya
"Weh? Sok juga lu tong! Emang situ gimane najeminnye?" Aku bisa melihat kerut kesal dari jidat pedagang itu.
Menanggapinya, Amartya pun mengeluarkan gas tak berwarna dari sela-sela jemarinya.
"Grinding biasa aja si, lagian kalo titanium tuh make ini bang (merujuk pada gas di jarinya), ukir make karbon monoksida, lagian suku Api kan ngebentuk logam tinggal sentuh bang."
Pria toksik itu menggoyang-goyangkan kepalanya, berusaha melihat detail santi itu lebih jelas.
"Leh juga teknik lu tong, tapi curang... ngemeng-ngemeng, tu gas dari mane?"
"Dari tubuh aku lah bang, masa bisa bikin api gak bisa bikin gas kayak gini, ya walau abang kalo mau make karbon monoksida harus dari sumber lain sih."
"Anu… punten ganggu, Kang Amartya. tapi kita teh harus cepat sebelum pelindungku habis durasina." Kata Ester.
Kedua lelaki yang sedang berbincang serentak memandang pada Ester, jelas tidak senang dengan gangguan yang ia berikan.
"Oke deh, kalau begitu aku duluan dulu ya bang." Mereka bertiga pun berjalan pergi.
"Yok, tiati tong!"