Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 39 - Chapter 33: Toxic Trouble

Chapter 39 - Chapter 33: Toxic Trouble

Setelah keluar dari pelabuhan Flouro, ketiga tokoh kita lanjut berkelana menelusuri hutan suku Toksik. Perjalanan mereka walau, agak lambat karena begitu banyaknya kawah beracun yang bertebaran di mana-mana. Hewan-hewan di sana juga cenderung mengeluarkan cahaya dan gas hijau muda dari tubuh mereka. Masing-masing fauna ini memiliki bisa yang berbeda sesuai dengan jenis mereka.

Pelindung dari Ester tak cukup kuat untuk menghadapi makhluk-makhluk ini.

"Ah, benar... hewan di sini cukup berbahaya bahkan setelah menerima sihir alam."

Hal ini membuat Amartya, Naema dan Ester harus berhati-hati untuk tidak mengusik para hewan, bahkan salah bersentuhan dengan pohon juga termasuk hal yang berbahaya.

Suku Toksik merupakan suku yang sudah amat modern ketimbang suku di Daratan lainnya, mereka telah membangun jalan yang tertata kian rapih, menghubungkan antar kota-kota dan desa-desa. Alasannya tentunya demi memudahkan transportasi zat kimia yang biasa mereka bawa dengan gerobak atau kereta kencana.

Satu hal yang menarik dari jalan-jalan ini, jika mereka tersesat mereka hanya perlu menjawab teka-teki kimia mengenai unsur yang menjadi nama kota yang mereka tuju, dan unsur yang mereka tuju kali ini adalah Polonium (kota Polona).

Naema dengan segala ilmu alkimia yang telah dipelajarinya, bisa dengan mudah menjawab semua teka-teki dengan benar. Terkecuali teka-teki terakhir, yang berbicara soal isotop Polonium 210, karena zat radioaktif masih belum menjadi tinjauan para Ilmuan Langit.

Hal ini sayangnya membuat mereka tersasar ke satu tempat yang dihuni oleh makhluk termematikan di seisi Selebes.

"Naga…"

Seekor naga komodo setinggi rumah bersarang di hadapan mereka. Lidahnya menjulur keluar masuk, meneteskan cairan yang melelehkan Daratan, dan matanya saat itu, memandang ke arah mereka seakan menatap seekor mangsa. Naema dan Ester mulai merinding melihat sang naga yang tengah perlahan berjalan, tapi penuh akan kekuatan.

"I-Ini... agak gawat. Kita tidak mungkin melawan hewan sekuat dia." Bahkan tubuh Amartya tampak bergetar hebat.

"Sekiranya tidak di tempat yang bisa membunuh kita kapan saja."

"Kak Ester, apakah kita masih jauh dari kota Polona?" Tanya Naema.

"Tidak sih nya, seharusna mah sekarang urang sudah sampai, tapi teh aku teu ingat aya naga yang ngejaga jalan ka sana."

"Dengan kata lain, kita tersasar." Tegas Amartya.

"Terus sekarang bagaimana, kakanda?"

"Gimana? Hmm... kawah racun, bisah yang toksik, naga raksasa tak bersayap..." Anak itu pun kian bergumam.

"Itu dia! Kita buru saja naga itu!"

"Hah?"

Hah!? Eh bentar! Aku gak salah ingat jalan ceritanya kan!?

"Lihat hewan itu! Besar, berbahaya, penuh dengan adrenalin, tidakkah tubuh kalian terasa bersemangat!?" Aku tak percaya bocah Api itu tersenyum kian lebar di hadapan maut.

"Enggak, enggak begitu tuh... kakanda pasti sudah gila!"

"Gila? Dia jelas-jelas menyendiri dengan gagahnya di depan sana, ini hari yang indah untuk berburu!" Suara Amartya hampir saja meledak.

"Serius atuh kang, urang teh henteu gaduh waktos!" Ngomong apa pula ini taneman.

"Ester... kumohon... bahasa..." Api semagat si pemuda mendadak pudar begitu saja.

"Baiklah, jika kalian punya rencana lain, sekarangnya saatnya berucap."

"Kalau begitu... bagaimana kalau kita pakai teleportasi saja!" Usul Naema.

"Telepor— Naema..."

"Y-Ya, kakanda?"

"Kenapa tidak dari tadi?"

"Sebentar ya, aku mencari letaknya telebih dahulu, kalau tidak kita bisa terlempar ke kawah racun." Naema lalu melempar butiran salju ke udara. Salju ini menyebar ke segala penjuru dan memberikan Naema pengelihatan buram mengenai daerah di sekitarnya.

"Sepertinya ketemu." Ucap Naema.

Melihatnya siap berinkantasi, Amartya dan Ester pun berjalan mendekati gadis itu.

[Sihir Langit]

[Tingkat 4 Ekstensi]

"(Teleportasi)"

"Calati Teleportia!"

Sekumpulan cahaya berkumpul menyelimuti tubuh mereka, dan ketiganya pun berpindah ke gerbang timur kota Polona. Di sana berdiri seorang gadis yang kemudian dengan sedikit kaget menyambut kedatangan mereka.

"Eh suku Alam? Selamat datang di ibu kota suku Toksik, kota Polona!" Sambut gadis itu.

"Tepat sasaran!" Naema bersorak girang.

"Hatur nuhun atas sambutannya, nona." Sapa Ester dengan lembut.

"Maaf tidak bisa menjemput, Ibunda Zoastria sudah mengirim pesan tentang kedatangan kalian, tetapi kami sedikit mendapat masalah baru-baru ini." Jelas gadis itu.

"Huh? Bentar deh! Kalau Ibunda bisa dengan mudah mengirim pesan ke sini, kenapa kita harus jauh-jauh datang ke mari?" Amartya terkejut di tengah rasa tidak percayanya.

"Kita cukup meminta kandidat suku Toksik untuk datang langsung ke Umanacca! Lihat betapa banyaknya korban yang berguguran..."

"Dan musuh kita hanya kehilangan klon-klon rendahan..." Bisik kecil Naema.

"Entahlah kang Amartya, eta Ibunda teh tua lagi bijaksana, pasti aya wae alasan dia minta kalian tuk datang ka dieu."

"..."

Amartya mengehela nafas, "ngomong-ngomong none—"

"Gue yakin, lu lebih tue dari gue, bang penguasa." Sela si gadis, dan tentunya Amartya tidak mengapresiasinya.

"Tch! Perempuan generasi tiga memang macam ko...TORAN semua!" Gerutu si pemuda api. Ia lalu menghela dalam nafasnya dan lanjut berbicara.

"Neng... kalian lagi dapat masalah apa?"

"Mau bantu, bang? Yuk ikut!" Ajak si gadis seakan tak memperdulikan Amartya yang meluap.

Mereka berempat pun berjalan menuju gerbang barat kota Polona. Di jalan mereka bertemu banyak benda-benda asing yang tak pernah mereka lihat sebelumnya, kebanyakan adalah zat-zat kimia dan wadahnya. Beberapa dari zat-zat itu terlihat cukup berbahaya dan dapat meledak kapan saja.

Polona merupakan kota yang dikelilingi dinding-dinding batu berlapiskan kaca tebal karena mereka cenderung tak bereaksi dengan zat kimia dan kokoh seutuhnya. Di dalamnya terdapat banyak tabung-tabung kecil tempat mereka membuat embrio, dan beberapa lab tempat mendesain mereka.

Seisi dinding kota dan langit-langitnya dipenuhi oleh pipa-pipa kaca bersisi uap dan zat kimia yang direaksikan atau dikirimkan ke sisi lain kota. Terakhir di tengah kota terdapat sebuah kastil raksasa tempat Yang Mulia Viper dan para bangsawan tinggal.

"Whoaa..."

Satu hal yang begitu menarik bagi Naema ialah begitu banyaknya wanita hamil dengan ukuran perut yang sama, bahkan di saat Pohon Kehidupan tidak sedang bereinkarnasi. Mereka adalah wanita-wanita dari keluarga Americia, yang merupakan pelayan kerajaan dan administrator suku Toksik. Para wanita ini merupakan desain paling subur di antara 10 keluarga suku Toksik dan bertugas melahirkan anak tiap tahunnya.

Suku Toksik tidak lagi terhubung secara langsung dengan Pohon Kehidupan, membuatnya terlepas dari banyak pengaruh Kalpataru. Salah dua darinya adalah kemampuan untuk memiliki hawa nafsu maksimal dan melahirkan keturunan.

"Ngomong-ngomong kakanda, tahu kah dirimu, kalau suku Api tidak sepenuhnya kebal terhadap ledakan zat peledak?" Naema menoleh pada Amartya setelah sibuk meliarkan matanya.

"Tentu, ledakan bom itu juga memeiliki efek udara selain api yang bergejolak, atau mungkin lebih tepatnya tekanan udara." Jawab Amartya.

Mendengar jawabannya, Naema pun berkaca-kaca. "Whoa, jujur aku tidak banyak bertemu dengan orang-orang Penempa Bumi, tapi aku rasa kakanda termasuk yang terpintar di antara spesies kakanda." Gadis itu terlihat kagum, penasaran dan bigung di saat yang bersamaan.

"Aku tak ingin sombong, tapi bisa dibilang seperti itu, ini semua mungkin berkat ayahku (atau karena kami keluarga utama?)."

"Oh iya juga ya, pak Hakan itu jenius, sangat pintar, bahkan jauh lebih pintar dari kebanyakan Ilmuan Langit."

"Kebanyakan Waraney juga memiliki banyak informasi dan ilmu di kepala mereka. Walau ya... tingkat kecerdasan mereka lebih rendah dari suku Toksik, dan jauh lebih lagi ketimbang Ilmuan Langit. Anggap saja... kami punya sistem pendidikan yang sangat baik."

"Kite sampe!" Seru si gadis Toksik.

Sungguh benar-benar di luar dugaan. Di depan mereka kini terpapar beberapa organ tubuh manusia yang kian rapihnya tersusun seperti membuat wajah sedih. Tepatnya dua tengkorak sebagai mata dan usus-usus sebagai mulutnya. Pemandangan ini hampir membuat Ester muntah.

"Biar kutebak... kalian membuat masalah dengan suku Kegelapan?" Raut wajah Amartya mendadak pahit.

"Eh... e... bisa dibilang..." Gadis itu mendadak gugup tertangkap basah.

"Kitenye ngirim tim ekspedisi ke sane, tapi ye... mereka balek-balek jadinye begindang."

Amartya menghela nafas, "tahu gak kata yang pas buat kalian?" Tanya Amartya.

"A-ape bang?"

"DONGO!" Bentak Amartya dengan suara yang menggelegar.

Si gadis tertunduk, kesal, tapi dia tidak berani membalas.

"Gak ada manusia di dunia ini yang selamat kalo macam-macam sama suku Kegelapan, apalagi yang gak sopan kayak kalian." Emosi yang dengan susah payahnya dibendung kini mulai meluap dari kepalanya.

"Terus gimana? Mereka ngirim mayat saudara-saudari kita seakan ini cuma senda gurau."

"Nah, sekarang kamu bicara dengan Bahasa Bumi? (Walau si biadab Ester juga sering campur make bahasa daerah yang aku kadang gak paham) dan apa maksudmu senda gurau? Yang kamu lihat itu simbol suku kegelapan (bass clef) yang dimiringkan! Dengan kata lain mereka kesal pada kalian!" Tubuh Amartya berapi-api melanjutkan murkanya.

Suasana di sana mulai panas dan membakar, semua orang di sekitar mereka mulai menciut ketakutan, terutama Naema, dia yang paling takut terkena api. Tak satu pun warga di sana berani berkata pada Amartya.

"Sudahlah! Aku sendiri yang akan mendatangi DiVarri dan memintakan maaf atas nama kalian! Jadi sekarang dengarkan permintaan perawan tua berambut pink di sana! Dan ikuti permintaannya!"

"Eh? tapi aku sudah tak—" Ester tak bisa melanjutkan perkatannya ketika pemuda itu menoleh ke arahnya dengan mata merah yang bergejolak panas.

Dengan jengkel, Amartya pun menarik tangan Naema dan berjalan keluar dari kota Polona sembari menggerutu. Ia kemudian menodongkan senapannya ke arah barat, dan muncullah cahaya merah raksasa terhisap ke dalamnya. Cahaya itu membakar semua yang terperangkap dalam sinarnya.

[Seni Api]

[Tingkat 6]

"(Semburan Lava)"

"Genphot Dak Lava!"