Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 43 - Chapter 37: The Root of All Evil

Chapter 43 - Chapter 37: The Root of All Evil

Terdapat 7 buah kastil milik masing-masing keluarga yang mengelilingi sebuah menara tinggi. Sementra di belakang kastil-kastil mereka berjejer rumah-rumah kecil yang ditinggali oleh para mayat hidup.

Setiap kastil memiliki ciri khasnya masing-masing. Kastil keluarga Gloria (gesek tinggi, atau biola dan viola) dipenuhi oleh gagak-gagak hitam yang bertengger di setiap sudut kastil. Burung-burung ini suci dan dipelihara oleh para mayat hidup. Terdapat 17 sarang gagak yang masing-masing menyanyikan lagu yang berbeda. Gloria memakai gagak sebagai bendera mereka, yang tersebar di penjuru kastil.

Kastil keluarga Baixo (gesek rendah, atau cello dan doublebass) di hinggapi oleh 9 naga yang memiliki elemen berbeda-beda (semua elemen kecuali alam). Kesembilannya dirawat oleh para mayat hidup. Keluarga Baixo memiliki pasukan yang disebut Dragon Guard, pasukan ini berjumlah 99 orang dengan zirah hitam terbuat dari kebencian, dengan bersenjatakan keris setinggi manusia dewasa (suku Api). Tiap kesebelas mereka memiliki lambang elemen naga yang mereka kawal di zirah mereka. Baixo memakai naga sebagai bendera mereka.

Kastil keluarga Citara (petik) dikelilingi oleh air (kabut) hitam yang dilabuhi kapal-kapal besar dan direnangi ikan hiu, beberapa burung camar hitam juga turut bertengger di kastil mereka. Kapal-kapal ini diawaki dan dipelihara oleh para mayat hidup. Citara memakai jangkar sebagai bendera mereka.

Kastil keluarga Teabii (tiup kayu) dirayapi oleh ratusan ular dengan kutukan sebagai bisanya, terdapat 10 pintu kastil yang masing-masing dijaga oleh dua ular raksasa berwarna hitam dan putih yang mewakili tiap anggota keluarga, sementara pusat kastil dijaga oleh dua ular (putih dan hitam) yang lebih besar dan dilapisi oleh zirah sekeras baja, keduanya mewakili kepala dan wakil kepala keluarga. Ular-ular ini dirawat oleh para mayat hidup. Teabii memakai ular sebagai bendera mereka.

Kastil keluarga Aes (Tiup logam) ditinggali oleh 33 mammoth hitam dengan gading yang memancarkan sinar ungu. Hewan ini mampu bernyanyi dengan gading mereka, memainkan melodi kegelapan yang indah dan mencekam. Ke-33nya dirawat oleh para mayat hidup. Aes memakai gajah sebagai bendera mereka.

Kastil keluarga Keshan (perkusi) menjadi rumah bagi 777 boneka hidup, dengan 77 dari mereka menyerupai bidadari Surga, sekumpulan gadis yang cantik nan anggun dengan mata ungu bergelora dan kulit seputih susu, rambut serta sayap mereka hitam dan putih yang berubah-ubah sesuai emosi mereka. Mereka suci dan tak boleh disentuh oleh siapapun, para mayat hidup tidak merawat mereka. Lalu terdapat 1000 boneka bayangan (wayang) yang diliputi musik hitam dari sang kepala keluarga, mereka dirawat oleh ke-77 bidadari dan akan melindungi mereka dari apapun. Keshan memakai boneka Austra sebagai bendera mereka.

Kastil keluarga Coroem (vokal) dihantui oleh ratusan wanita kegelapan. Hantu hitam dengan mata ungu bagai kabut, mereka halus dan kebal akan semua senjata fisik. Hantu-hantu ini sejatinya baik hati, namun memiliki sikap yang jahil. Jumlah asli mereka ribuan dan tersebar di seluruh Ratmuju. Hantu-hantu ini merawat para mayat hidup. Coroem memakai salib sebagai bendera mereka.

***

Amartya dan Naema berjalan menuju pusat dari ketujuh kastil, menuju sebuah menara 1 pintu yang dijaga oleh 3 malaikat dengan sabit setinggi 3 lantai, walau aku yakin wujud asli malaikat tidaklah demikian. Mereka mempersilahkan Amartya dan Naema masuk.

Di dalam, mereka disambut oleh seorang hantu wanita, ia lalu menuntun keduanya menuju DiVarri yang berada di lantai teratas menara. Dan begitu sampai, mereka lekas dipertemukan dengan seorang musisi Cahaya yang membukakan pintu untuk mereka.

"Tuan Penguasa Muda? Sungguh sebuah kejutan, aku Karissa, istri dari Conductor DiVarri, masuklah, dia telah lama menantikan kedatanganmu." Ucap sang wanita Cahaya.

Keduanya pun mengangguk, dan masuk ke ruang sang Conductor, sebuah ruang bundar yang dinding-dindingnya dihiasi oleh pipa-pipa logam, yang masing-masingnya terhubung pada sebuah organ.

Beberapa langkah di depannya terdapat seorang pria kegelapan berpakaikan sehelai jas hitam panjang yang menyentuh lutut. Di sekitarnya terdapat banyak alat musik berterbangan mengelilingi dirinya, dan dengan sebuah baton pria itu menuntun suara yang dihasilkan kesemuanya.

Namun begitu ia merasakan kehadiran Amartya, ia lekas menghentikan permainannya.

"Ah… sang Penguasa Muda, para musisi menjadi resah semenjak kedatanganmu ke Selebes, mengharapkan… sebuah perubahan." Sambut DiVarri dengan senyumnya yang terlihat kian hangat namun terasa kegelapan membayang-bayangi tiap lekuknya.

"Apa tak apa, aku berbicara bahasa Penempa Bumi?" Amartya bertanya.

"Kau sang Penguasa, tanyakanlah hal itu pada dirimu sendiri, seorang pemimpin harus menentukan mana yang salah dan mana yang benar." Pria itu mengangkat sedikit kepalanya, menampakkan posturnya yang begitu bijak dan karismatik.

"Kalau begitu ijinkan diriku langsung berkata maksud kedatanganku kemari."

Entah mengapa kehadiran DiVarri membuat Amartya sedikit tenang dan fokus, ketimbang ketika berada di dekat Verslinder yang sosoknya terus menekan atmosfir di sekelilingnya.

"Katakan saja, nak." Terdapat kebanggaan di atas raut wajahnya, meski Amartya tidak paham mengapa.

"Aku ingin memintakan maaf atas nama suku Toksik."

"Ditolak." Tanpa ragu pria itu langsung menjawab.

Suasana seketika terasa tegang dan mencekam, meski tak sedikitpun urat wajah DiVarri bergerak. Ia masih tersenyum pada Amartya dengan keangkuhan penghuni Surga yang terpampang jelas. Setidaknya Naema masih nyaman, dengan wanita Cahaya berada di sampingnya.

"Mengapa, Tuan Conductor?"

"Para pendosa itu tak bertata krama, melanggar hukum Pohon Kehidupan, sebagaimana pendahulu mereka, meskipun mereka dipimpin oleh seorang penghuni Surga yang merupakan orang hebat di masa hidupnya." Ucap pria itu seraya mengusap batonnya dengan sehelai kain putih.

"Maksudmu?"

"Kau akan mengerti jika kau kenal mereka lebih lama." Kemudian ditaruhlah pula baton itu.

"Kumohon dengarkanlah aku nak, jauhi mereka. Kecuali tentunya, jika kamu bisa merangkul mereka sepenuhnya di bawah panjimu, itu akan jauh lebih baik lagi."

Amartya hanya mengangguk. Ia yakin ada sesuatu yang membuat para pria kegelapan tidak terlalu menyenangi suku Toksik. Namun ia terlalu takut untuk menanyakan lebih lanjut.

"Baiklah, sekarang giliranku untuk berbicara." Ucap DiVarri.

"Apa yang dirimu ingin katakan, Tuan Conductor?"

"Ketahuilah nak, ayahmu memegang penuh kekuatan gelap dan terang kami. Jadilah pemimpin sejati dan jadikan kekuatan ini milikmu!" Suara DiVarri mengeras, dan terdengar lebih bersemangat, seakan sedang mempromosikan dirinya.

"Mengambil kekuatan darinya? Bukankah berarti aku harus melawannya? Tidak-tidak, aku tak sedang ingin mendurhakai ayahku sendiri." Anak itu terlihat bingung.

"Sekali-kali tidak!" DiVarri mengibaskan jas hitamnya.

"Kekuatan kami akan selalu tunduk pada keturunan utama suku yang diberkahi-Nya seperti apa yang telah kami ukir pada janji kami ketika sang singa menebar apinya di antara pertikaian yang gulita. Dan sungguh, para penghuni Surga tak kan pernah ingkar pada janji mereka."

"Tunggu, apa!? Bagaimana bisa kalian menundukkan kepala kalian kepada satu keluarga hanya karena dia membantu satu sisi memenangkan perang dengan sesama kalian?" Emosi Amartya hampir lepas, sikap bodoh orang lain merupakan salah satu hal yang paling sering menyulut amarahnya.

"Aku telah hidup ribuan tahun di Bumi, Alam Baka, Padang Pasir Putih, Tujuh Langit serta Dunia baru ini. Dan ketahuilah nak, tak ada keputusan bijak yang mampu melebihi tunduk pada silsilah yang diberkahi Sang Pembuat Dunia." Kebanggaan yang tinggi tergambar jelas di wajah pria itu, tak nampak sedikitpun keraguan darinya.

Amartya bingung ingin membalas apa. Tak ada kata yang sanggup keluar dari mulutnya. Naema melihat keduanya saling melempar kata, berusaha memahami setiap perkataan mereka. Dan di dalam hatinya, ia pun ikut mempertanyakan apa yang bijak dari keputusan DiVarri.

"Baiklah, andaikan saja aku bisa mendapatkan kekuatan kalian, lalu apa? Memang benar aku memahami sedikit Unity, tapi apakah itu cukup?" Tanya Amartya.

"Sayangnya tidak. Tapi selalu ada cara lain."

"Bagaimana?"

"Tentu saja dengan musik nak, dengan musik."