Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 47 - Side Story : Melody of Death

Chapter 47 - Side Story : Melody of Death

Oleh: Verslinder Gloria

Kebebasan, hanya itu yang aku minta. Berjalan di atas angin, melakukan apapun yang aku mau. Tetapi selama mereka masih hidup, penjara ini akan terus mengekangku bahkan ketika nyawa ini sudah terpisah dari jasadnya.

Sumatra, Indonesia 1936, ayah pulang dari perang melawan belanda, membawa beberapa harta dan tentunya, darah. Ia memberiku sebuah kotak hitam yang berisi mainan kayu dengan empat tali logam yang terpasang di atasnya. Aku tak paham benda apa ini, begitu pula dengan ayahku. Tapi tak berarti aku berhenti berusaha tuk memahaminya.

Setiap hari aku memperhatikannya, membandingkannya dengan semua barang kayu lainnya. Sampai aku tersadar ada satu lagi batang kayu yang masih menempel pada kotak hitam ini. Benda itu panjang, layaknya ranting, tetapi begitu lurus dan rapih. Di bawahnya, terdapat ratusan tali tipis berwarnakan pucat.

Aku berusaha menghubungkan keduanya, mencoba memasukkannya ke dalam lubang yang ada, tapi itu tak berhasil. Lalu aku pun mendekatkan tali dari ranting dengan keempat tali logam, dan memukulkannya. Sejenak muncul suara setiap kali keduanya bersentuhan, sampai tanganku terpeleset dan akhirnya mereka bergesekan. Terdengarlah sebuah suara yang tak pernah aku dengar sebelumnya.

Aku pun mulai menggesekan keduanya, tali demi tali, masing-masing dari keempatnya mengeluarkan suara yang berbeda. Tapi ada satu hal yang menggangguku. Pada puncaknya terdapat gagang pada masing-masing tali yang dapat diputar. Begitu aku putar dan mencoba menggeseknya, suara dari tali yang tersambung pun berubah, sungguh luar biasa.

Semenjak saat itu, tiap malamnya aku terus bereksperimen dengan mainan kayu itu, membuat suara-suara yang begitu menarik untuk di dengar.

***

Dua tahun pun berlalu, pasukan dari desaku menang dalam sebuah pertempuran, dan mereka membawa beberapa tahanan ke desa. Salah seorang di antara mereka merupakan orang yang amat pintar, atau mungkin... berpendidikan.

Tiap malam dia mendengar suara mainanku, tertelan rasa penasaran, kemudian meminta salah satu dari wargaku untuk membawaku padanya. Atas izin ayah aku pun mendatanginya.

Ia bertanya soal mainanku, dan memintaku untuk membawanya padanya. Ia mengangkatnya, menaruhnya di bawah dagunya, lalu memutar-mutar gagang pada puncaknya hingga ia mendapat suara yang ia inginkan, setelah itu ia mulai memainkannya dengan... begitu anggun.

Keluarlah dari mainan itu alunan suara terindah yang pernah kudengar dalam hidupku. Melihatku begitu terpukai, Ia kemudian menawarkan untuk mengajariku cara agar bisa bermain seperti dirinya. Awalnya ayah tak setuju, tapi setelah aku terus memaksa, akhirnya dia mengizinkan.

Dari situ, aku pun mulai belajar bermain mainan ini, Viool namanya, atau dalam bahasa kami biola. Ia juga mengajariku banyak hal tentang dunia luar. Sejak saat itu, aku menjadi yang terpintar di desaku.

*

1942, Belanda pergi dari sumatra. Tapi kesengsaraan kami justru memuncak. Jepang mengambil alih semuanya dan memperkerjakan kami jauh lebih gila dari Belanda. Mereka membunuh semua tahanan belanda kami, termasuk guruku. Aku kabur, tapi semua orang di desaku tewas atau diperbudak. Kini aku hidup sebatang kara bersama beberapa helai kain dan sekotak biola.

Dengan ilmu dari guruku, aku bisa bertahan hidup dan membuat tempat tinggal yang cukup. Aku berusaha menjauh dari semua konflik yang ada, membiarkan kaumku dianiaya oleh para penjajah. Lama-lama aku mulai merasa bersalah di tengah kesendirian ini, dan akhirnya datang setiap suatu pertempuran berakhir.

Aku membawa biolaku, berduka, dan memainkan lagu untuk mereka yang gugur di medan perang. Aku terus berulang kali melakukannya, hingga datanglah 'mereka', sekumpulan burung terkutuk yang dibawa kaum biadab itu dari negri mereka. Gagak-gagak hitam menghinggapi para mayat dan mencabik habis tubuh mereka untuk ditelan.

Setiap pertempuran terjadi, aku datang setelahnya. Kembali memainkan melodi kematian untuk mereka yang gugur, dan gagak-gagak selalu datang ketika biola ini mulai bernyanyi. Selalu, tak pernah absen.

Hingga tiba hari ketika aku bermusik di tengah hutan, menikmati alunan biola bersama alam dan para hewan. Tak terduga olehku, ternyata para gagak mulai datang dan berterbangan di atas ku. Begitu musik mulai merayu, mereka turun ke bawah dan memakan para hewan, baik yang mati, maupun hidup.

Walau tampak mengerikan, aku pikir ini hanya sebuah kebetulan. Hingga aku kembali bermain di tempat yang berbeda dan mereka kembali datang dan memakan semua yang hidup di sekitarku. Mereka terus datang dan makan tiap aku bermain biola. Sampai suatu pagi aku terbangun dan menemukan para gagak bersarang di sekitar rumahku.

Akhirnya diriku mulai berpergian ke sana kemari dengan sebuah teori. "Jika aku mulai bermain, mereka akan menganggap ini waktunya makan." Dan teori ini berhasil seperti apa yang aku perkirakan. Dengan ini, aku bagaikan raja dari mereka.

Suatu hari segerombol pasukan jepang tengah berpindah menuju pos baru. Mereka membawa banyak bala tentara dan mesin-mesin perang. Tak jauh dari mereka, aku bersandar dengan biolaku, bersembunyi dari mata-mata liar mereka. Tapi kini bukanlah aku yang seharusnya tenggelam dalam ketakutan.

Alunan biola mulai menghantui mereka. Menghentikan seketika langkah mereka dalam keadaan bingung dan penasaran. Tapi tak lama setelah itu, yang mereka dengar tak lain adalah kicauan burung-burung kematian.

Mereka melihat Angkasa berprasangka bahwa pertempuran tengah terjadi tak jauh dari tempat mereka berpijak. Tapi mereka salah, satu-satunya pertempuran yang terjadi hanyalah antara mereka dan sekumpulan gagak hitam.

Para gagak datang, menukik dan menyerang mereka. Jumlah burung-burung itu terlalu banyak, dan mereka tak bisa berkutik ketika paruh-paruh itu mengoyak tubuh mereka.

Aku bisa merasakan kulit dan daging mereka tercabik tiap biola ini tergesek, aliran darah mereka meramu bersama aliran melodi, teriakan mereka bernyayi bersama merdunya alunan nada.

Jantungku tak henti-hentinya berlomba-lomba, tubuhku menggigil begitu liar karena gairah, aku bisa gila dilahap perasaan luar biasa ini. Sekian jam kemudian, musik pun berhenti, para gagak pulang menyisakan sekumpulan mayat yang tersusun dari tulang-belulang. Kini aku memandang ke arah mereka, layaknya seekor pemangsa memandang sisa-sisa makanannya.

"Sekarang, giliranku tuk berperang."

Aku terus mengulanginya, membantai mereka yang menjadi musuh kaumku. Hanya saja sayangnya, pasukanku terlalu sulit untuk dipelihara. Semakin lama mereka semakin rakus, hingga aku tak mampu lagi mencarikan makanan untuk mereka ketika para biadab itu tak bisa aku lacak.

Tentu saja aku juga butuh makan, jadi aku tak akan memainkan satupun nada ketika mencari makananku sendiri. Namun tetap saja, meskipun aku tak bermain dengan melodi, aku tak lagi mampu melihat satupun hewan berkeliaran di sekelilingku, hanya ada buah dan umbi-umbian. Para gagak pun tumbuh kelaparan, dan insting buas mereka mulai mengambil alih.

Rasa lapar membunuh sebagian kecil dari mereka, dan gagak yang hidup, di tengah keputus asaan, dan nafsu makan yang memuncak, mulai mencium bau bangkai saudara mereka. Kini terhasut dalam halusinasi, dan paruh-paruh hitam itu perlahan mencicipi bangkai yang ada di sekitar mereka.

Betapa liarnya mereka, setelah sekian lama merasakan makanan sehabis disiksa oleh rasa lapar yang memuncak. Para gagak dengan ganasnya terus menyantap kaum mereka yang berguguran. Dan sayangnya, kanibalisme membuka pintu baru untuk mereka.

Ketika para bangkai sudah habis, mereka tak ragu untuk menyerang gagak lain yang masih bernafas, hingga kerusuhan pun kian terjadi, dan mereka berperang antar sesama, saling berusaha memakan satu sama lain. Di tengah kerusuhan ini mereka menjadi buta, dan mematok apapun yang ada di sekeliling mereka, dan itu termasuk... diriku.

Aku lari, pergi bersembunyi pada sebuah lemari di tengah rumah tak berpenghuni. Tiap harinya ku jalani tanpa bisa menapakkan kaki ke dunia luar, para gagak yang selamat dari kegilaan mereka akan menyantapku jika mereka berhasil menemukanku. Perlahan tubuh ini menjadi lemas, tak kuasa menahan rasa lapar. Aku tak lagi ingat apa yang terjadi setelahnya, mungkin begitulah cara hidupku berakhir.