Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 44 - Chapter 38: Melody of the Abandoned

Chapter 44 - Chapter 38: Melody of the Abandoned

Seketika masuk ketujuh kepala keluarga dengan wakil mereka. 14 musisi itu mengitari Amartya dan Naema dengan instrumen telah siap di tangan mereka. Sang Conductor lalu mengangkat batonnya ke atas, dan serentak ketujuh kepala keluarga memasang posisi untuk siap bermain.

"Jika kau ingin memimpin kami, nak. Maka dengarkanlah cerita kami, hayati, dan ambillah pelajaran darinya." Ucap DiVarri.

"Meski tak tertulis dalam bahasamu, hubunganmu dengan Dunia ini akan membantumu memahaminya, dan dari sanalah dirimu akan mengerti kami."

Kehadiran ke-14 musisi menarik pandangan Naema, ada sesuatu yang membuatnya bersemangat untuk mengetahui apa yang selanjutnya akan terjadi. Walau tentunya, ia juga takut karena tiap dari mereka yang berdiri, kuat melebihi tiap manusia yang berjalan di muka bumi.

Sementara untuk Amartya, ia tetap terpaku pada DiVarri dan menatap matanya dipenuhi determinasi.

"Baiklah, suarakan ceritamu, Conductor."

"Dengan senang hati, nak." Senyuman pria itu kini terlihat berbeda.

DiVarri menarik nafas, dengan suara yang terdengar ke penjuru ruangan. Lalu, ia ayunkan batonnya, dan timpani pun berdentang keras, mengguncang seisi ruangan. Suara ribuan wanita hitam bernyanyi-nyanyi memenuhi tempat itu, bersama iringan musik gesek dan perkusi yang dengan gagahnya menemani mereka.

Lalu melodi pun mereda, dan terdengarlah suara petikan gitar, begitu hikmat dan merdu, namun sepi dan penuh kesendirian.

Tak lama suara viola pun berbisik, dari hampa menuju sunyi. Seirama namun tak bersama, tak saling melengkapi dan terjebak di alirannya masing-masing.

Muncullah suara cello membayang-bayangi mereka, lalu seruling, tuba dan gamelan. Mereka semua teratur dan membentuk melodi yang indah, bermain bersama namun tak menyatu.

Lalu pudarlah suara mereka, dan sang Vocalist menyuarakan nyanyiannya. Diiringi oleh cello, nyanyiannya terdengar serak dan berbisik, begitu semu dan halus bagai bayangan di tengah kegelapan.

"I'm breathing, into the midst and mist of darkness"

"Scream running, my lungs dance with the shadow"

"Fall crying, Shrouded in fear and sadness"

"Undying, calling his name, bathed in my own sorrow"

Viola pun merengek dengan nada tingginya, diikuti oleh petikan gitar mengiringinya. Melatari mereka suara tuba yang berat, dengan nada-nada yang rendah.

"Filled with urge to blame the God, yet He never wrong (He never wrong)"

"Our, eyes were going wild, looking at each other, spreading the hate... and anger (and anger)"

Nyanyiannya bergema, bersamanya setiap instrumen berhenti bersuara.

"The war begins... HAHA!"

Distorsi gitar pun menyala, sementara perkusi menendang-nendang dan mengguncang ruangan.

"Narira rira…"

"Narira rira…"

"Narira rira..."

"Narira rira—"

Ketujuhnya bermusik dengan kuat dan lantang, saling menyerang satu sama lain.

"Attacking each other, try to kill another!"

"Only to found, ourselves, immune to our own despair…"

"(Despair... Despair... Despair... Despair...")

Simfoni perlahan memelan, menuju ke hampaan, hingga akhirnya kesunyian menghampiri.

"STILL SOMEONE NEED TO SUFFER!"

Timpani pun meledak, dan bersamanya tiap instrumen menggelegar kian ganas, ketujuh kepala keluarga lantas bersorak bersama.

"We sought out the mortals"

"We shredded them to ashes"

"We heard them cursing our names"

"We raised them, as the army of undead"

Dentuman perkusi pun bermain solo, menyepat, membuat tegang seisi ruangan

"Undead! Undead! Undead! Undead!"

Genderang bergema bagai hentakan kaki ribuan tentara. Seruling berhembus layaknya angin pertempuran, kian dingin dan menusuk. Muncul 2 senar baru di sisi kanan viola, dan dirinya kini melengking dengan cepatnya, bagai kibaran ganas ratusan bendera. Cello menyorakkan seruan-seruan perang bala tentara. Tuba bergemuruh, menyuarakan dasyatnya pertempuran. Gitar berpacu hingga terasa adrenalin tiap prajurit yang tak kenal rasa takut. Dan nyanyian bisu sang vocalist melukis liar, tangisan perang mereka yang berlaga.

Melodi begitu tegang dan menggelegar. Kegilaan pertempuran terasa merangkak di atas kulit Amartya, mencakarnya dengan kuku-kuku yang membayang. Terasa kehampaan mereka yang gugur, meski dari semula kala tubuh mereka tak lagi berjiwa, hanyalah sebuah wadah kosong yang berjalan.

"Thousands have fallen!"

"Reapin' each other!"

"Crawling day by day..."

"Below our faithless..."

Tiap suara kembali perlahan mensunyikan diri, hingga tak ada lagi yang terdengar.

"War..."

Suara gitar memetik solo terdengar, melukis sendu dan pahit udara.

"Yet none of us achieved enlightenment"

"Still cursed in the dark… by the mortals (by the mortals)"

Musik pun kembali meledak dengan dasyatnya. Tiap kepala keluarga berganti-gantian mengucapkan syair yang sama.

"Find a way out!"

"Find a way out!"

Nada-nada yang keluar semakin lama semakin tinggi, beriring-iring semakin keras. Hingga terakhir nada lantang tertinggi dari senar semu viola pun melengking tak tau batas, dan serentak tiap musisi berhenti, meninggalkan suara mereka menggema perlahan di seisi ruangan.

Suara ketujuh kepala keluarga kini pudar, dan mereka kembali berdiri, terdiam sendu di dalam kegelapan. DiVarri yang berhenti bersama para kepala keluarga, kini memutar sedikit posisinya, dan kembali memasang posisi siap. Ketujuh wakil pun mengangkat alat musik mereka, memenuhi ruangan dengan cahaya. Baton pun lalu diayunkan DiVarri, bersama Karissa menarikan jemarinya, bermandikan melodi piano.

Suara biola dan gitar beriringan dengan hikmat, begitu anggun dan mempesona. Bass dan oboe ikut bersuara, seakan membuntuti jejak mereka. Datanglah terompet menyambut kelimanya dengan nada yang lantang dan bergelora. Suara mereka kemudian pudar, tergantikan oleh petikan manja dari sang harpa.

Vocalist pun mulai bernyanyi, diiringi piano, gitar dan viola. Keluar suara semurni cahaya, menggemerlap, bergema bersama biasan melodi yang berdengung dari mulutnya, begitu agung lagi suci.

"Opening our eyes"

"Yet the only thing to sees"

"No more than white, bright, light"

"So we asked the luminance, to gave us her essence"

Biola pun masuk, harpa berganti perkusi. Nada mereka menjadi cepat dan hidup. Tiap detupan birama mewarnai tempat itu dengan gema cahaya yang berkelip.

"In the art of creating music"

"Nothing more than just music"

"Dancing non stop to the rythmic"

"Everything is just so symphonic"

"Oh music"

"Let us just smile to your mimic"

"Cause the beat just so magnetic"

"Blees us to play as some sick bunch of addicts"

Bunyi piano mencerahkan suasana, biola dan nada bisu dari vocalist bergantian saling bersahutan. Tempat ini dipenuhi kegembiraan, bagai sebuah pesta para wanita elite.

"Parappa! Parappa!"

"(Thia... Thia...)"

♪♫

Seketika suara kontrabass melantang, berdentang berat bersama letupan timpani. Para wanita hitam bernyanyi menyentak, melukiskan ketegangan yang begitu dasyat dihadapi para wanita Cahaya.

"The colorless ones come to us"

"Under the banner which they called peace"

"Claiming to be our protector"

"Presenting as the servants of God"

Melodi yang hidup mulai merajuk, nada-nada yang keluar semakin lama semakin terbatas. Para musisi seakan dikekang oleh rantai pada tangan mereka. Ruangan kini terasa seperti penjara.

"No no no no no no no!!!"

Suara piano seakan merengek, mengamuk, berulang-ulang melemparkan nada yang menjalar dari tinggi ke rendah. Kesetiap instrumen membayang-banyangi rajukannya, suasana di sana terasa begitu ricuh dan kacau.

"(Lies… lies… lies…) the only words they spit were lies!"

"(Stop! stop! stop!) they said the music must be stop…"

Seketika semua musisi berhenti bermain. Suasana menjadi sunyi dan hampa, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah angin yang aku bahkan tak yakin keberadaannya nyata atau tidak.

Karissa pun kembali bermain pianonya, seorang diri, lalu bernyanyi.

"I'm tired so I ask them one thing"

"Why should have we stop from playing"

"They said God didn't like her"

"She's the instrument of the Devil"

Suara para wanita Cahaya dan hitam pun membuntutinya dan membisikkan kalimat yang sama.

"Of the Devil... of the Devil... of the Devil... of the Devil..."

"Oh?" Tiba-tiba Karissa berhenti bermain, seakan tersadar akan sesuatu.

Suara pianonya menjadi garang dan kuat, terasa amarah dan kegilaan dari melodinya, tetapi amarah ini seakan terbungkus oleh sesuatu, terkekang kuat hingga nada hampir terasa samar.

"If that really were the reasons"

"I wish the Devil would take me"

"Bail me out of this gleaming prison"

"Free me out from this grieving irony"

♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫

"So Mr. Devil if you heard this"

"Please drown me into the darkness"

"Lets make our own melody"

"And let the world drove into…"

Karissa tertunduk diam, badannya bergetar hebat.

"Madness..."

"Hi hi hi..."

"hahahaHAHAHAHAHA!" Tawanya lepas, frustasi, kian ganas memenuhi ruangan.

Musik menjadi lantang dan megah, tiap wanita cahaya memainkan keresahan mereka diantara nada-nada yang dengan lepasnya berirama.

Ditengah kegilaan mereka, ketujuh kepala keluarga pun keluar dari kegelapan. Bergabung bersama para wanita bercahaya, bermain musik. Mereka bermain saling bersahutan, layaknya saling memanggil.

♦"You who dressed in light, let me see the sleeves of your luminance!"♦

◊"You who coated by darkness, please release me from this harrowing chain..."◊

♦"I wish this abyss of nothingness allowed me to search your guidance"♦

◊"I wish this white lies didn't bother you from seeking out for me"◊

♦"Yet I can't, the curse still holding me down"♦

◊"Should I be the one who seek his wickedness?"◊

Musik berhenti serentak terhenti sejenak.

◊"Should I?"◊ Bisik Vocalist Cahaya.

Musik pun kembali bersimfoni, dan kedua Vocalist bernyanyi bersama, saling beriring-iring.

♦"So wait, I do, for you, to visit the forest of shadow"♦

◊"Then gone, I do, for you, to visit the forest of shadow"◊

Musik pun mulai bercerita tentang perjalanan Karissa, ratu cahaya, menuju sebuah hutan tempat suku Kegelapan dikutuk. Di sana ia bertemu DiVarri yang merasakan kehadiran cahaya di hutannya. DiVarri pun memainkan musik yang memantrakan sihir cinta pada Karissa. Tetapi Karissa terlalu takut dan akhirnya kabur ke tempatnya berasal.

Rasa cinta yang terpapar pada ratu cahaya cukup untuk membebaskan suku Kegelapan agar mampu berjalan ke tempat yang di lewati sang ratu. DiVarri pun membawa seluruh pasukan kegelapan untuk menculik seluruh wanita cahaya, dan memantrai mereka dengan cinta agar suku kegelapan bisa terlepas dari kutukan mereka.

Setelah lepas suku Kegelapan membantai Guardian (bangsa abu-abu), karena menurut mereka bangsa itu akan mengganggu rencana mereka. Kini suku Kegelapan hanya menunggu durasi sihir cinta untuk habis, dan suku Cahaya kembali pulang. Tetapi mereka tak kunjung pulang.

♦"What is this, I understand nothing!"♦

♦"The spells depleted, then why are they still here?"♦

♦"Oh night please answer us!"♦

♦"Why are these lights kept attracted to our shadows?"♦

Musik kian bergelora, kian agung dan penuh romansa.

◊"Magic maybe corrupted and finite"◊

◊"Yet this feelings are pure and eternal"◊

◊"So let us stay with you!"◊

◊"Spending Eternity in passionate madness"◊

Nada-nada rendah muncul dari musik kegelapan, menggambarkan kebingungan dan keraguan mereka.

♦"No! No No! There must be something wrong!"♦

♦"This are the opposite of every believe I follow!"♦

Sementara musik cahaya terus melemparkan nada-nada tinggi, berusaha meyakinkan para kegelapan akan ketulusan mereka.

◊"If there's faulty in this, there's nothing to mind about"◊

◊"So tell us, what are you believed in?"◊

Nada kegelapan terus beranjak meninggi, menajam dan melantang, seakan mereka semakin ngotot (apalah itu bahasanya), oh benar keras kepala.

♦"There is no such thing as love! It's only comes in fairy tales!"♦

◊"Even magic did exist here, so what's the problem with it?"◊

♦"Like we said, and we'll keep telling you this!"♦

Musik terhening setelah not tinggi dari viola menggema kencang.

Cahaya dan kegelapan pun saling melempar nada, begitu ricuh, tidak beraturan, keduanya saling beragumen tanpa alasan yang jelas.

♦"No love, just war! (◊But I love you◊)"♦

♦"No love, just war! (◊Always loved you◊)"♦

♦"I lived with just pain and curse!"♦

◊"Then I'll suffer with you"◊

♦"Said there is no love! (◊Said I love you◊)"♦

♦"Okay! Why won't you listen!? (◊You see dear devil... this song needs to end◊)"♦

"Seriously this song needs to end conductor..." Ucap Vocalist kegelapan pada DiVarri di tengah-tengah kerusuhan melodi para musisi.

"You jest!? Why are you like this... why would you ruin such serious piece!?" DiVarri jelas terdengar kesal.

"Coz I can?"

"Fine! I will tolerate your nonsense for now Auspicius, since this is such a perfect moment to tell you this..."

DiVarri pun menarik nafas sedalam yang ia bisa, suara yang keluar begitu lantang, hingga tiap musisi berhenti bermain.

"You are mentally retarded, NO. FUCKING. CAP!" Bentak DiVarri.

Ia pun kembali mengangkat tinggi batonnya, dan tiap musisi beranjak ke posisi siap.

"Fine! (fee'-nay)"

DiVarri pun mengayun batonnya, dan para musisi lantas mengakhiri lagu ini dengan simfoni singkat yang megah.

♦"Viva la Gloria"♦

◊"Viva la United!"◊

♦"(Stand here bounded by love)"♦

◊"(Jointly making music)"◊

Musik berhenti serentak, seirama, ketika Conductor menarik bersih batonnya. Semua musisi pun menghilangkan alatnya dan berdiri memberi penghormatan kepada Amartya dan Naema.

"Sekarang tuan dan nona Penguasa Muda, kalian telah mendengar cerita kami, kutukan yang Hakan berikan berhasil mempersatukan dua hal yang mustahil bersama." Ucap DiVarri.

"Sekarang giliranmu Amartya, kisah apa yang akan dirimu tulis untuk kami?"

"Kisah? Tidak, kan kutulis nama kalian dalam sejarah sebagai legenda yang kekal, dunia akan menyanyikan nama kalian bersama lagu-lagu mereka." Balas Amartya.

DiVarri tersenyum kian lebar dan tajam.

"Jika memang begitu Tuan Penguasa Muda tersayang, siapkah dirimu menjadi tiang yang membawa bendera hitam dan putih?" DiVarri menawarkan tangannya.

"Kibarkanlah mereka, aku siap!"