Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 42 - Chapter 36: We Got Lost LMAO

Chapter 42 - Chapter 36: We Got Lost LMAO

Dengan panik, Amartya melempar kepala itu bersama api yang ia buat, dan cahaya pun menyinari kedua gadis tadi, menerangi tubuh mereka dengan jelas. Di sana keduanya berdiri di sebelah jasad seseorang yang terpisah dari kepalanya. Mata mereka putih, dan wajah mereka dihiasi dengan darah yang membeku. Akan tetapi rambut dan pakain mereka masih rapih dan indah.

Dari rambut hitam yang sedikit coklat, serta badan yang tinggi besar, bisa dikatakan mereka gadis suku Tanah. Namun tetap tak ada yang tahu apa yang kegelapan bisa lakukan pada tubuh mahkluk tak abadi seperti mereka.

"Berhentilah memandang ke dalam kegelapan, jika kalian tak ingin termakan olehnya." Verslinder memperingatkan.

Mendengar pria gagak itu berbicara, Amartya dan Naema pun kian tersadarkan, akan suara teriakan, tangisan dan hewan buas yang berkeliaran di antara kegelapan. Tampaknya perlindungan cahaya mulai pudar dari tempat mereka berpijak.

"Hei Naema kamu ti—" Sebelum Amartya menyelesaikan kata-katanya, Naema sudah memendam kepalanya di punggungnya, tak kuasa menggigil, ketakutan.

"Duh yang benar saja... kamu tadi bisa dengan dinginnya ngebantai Ilmuan Langit, tapi sekarang, masa sama mayat takut!?" Amartya bersaha mati-matian menahan tawanya.

"Beya! Mayaf ak searuya iyuh!" Wajah gadis itu kian menempel pada punggungnya.

"Bicara yang benar dong, adinda… angkat kepalamu dari sana, kamu tidak kepanasan apa?"

Dengan penuh keraguan, Naema pun menyingkirkan wajahnya dari punggung Amartya. Badannya menggigil, wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca dan dihiasi serpihan air mata.

"B-b-b-bagaimana jika me-mereka kembali hidup dan memba-balaskan dendam mereka p-p-pa-padaku!?" Gadis itu bergetar layaknya anak kucing yang basah kuyup.

"Hmm... sebenarnya itu agak masuk akal." Dan Amartya tak sama sekali menolongnya.

"Hiiiiii!!!" Jeritnya pelan.

Amartya lantas merangkulnya dengan erat, menuntunya berjalan berdampingan.

"Sshh… tenang, aku tak akan biarkan mereka melakukan apapun padamu (aku masih butuh memahami hati sial ini)."

Dan sesaat ketika ia berbicara, seekor kupu-kupu api terbang di depan Naema, lalu hinggap pada hidung mungilnya. Ia mengembangkan sayapnya, memancarkan cahaya redup berwarnakan merah.

Memang sinarnya tak cukup kuat untuk menyinari kegelapan, namun lebih dari cukup untuk menerangi jalan mereka. Dan layaknya sebelumnya, kehangatannya membuat Naema menjadi tenang, matanya sungguh terpaku pada si kupu-kupu.

"Kami ada di sini untuk menjagamu, diriku, dan para kupu-kupu." Suara lembut itu berhembus di telinganya.

"Para?"

Naema langsung tersadar akan kehadiran seekor kupu-kupu api yang hinggap di atas pohon bambu, jauh di belakang Amartya. Setelahnya, matanya pun menjadi liar, kian menemukan begitu banyak kupu-kupu api yang bertengger dan berterbangan di sekitar hutan kegelapan, melindunginya dari gelap gulita yang menghantui mereka.

Sampai... seekor kadal hitam muncul, dan melahap salah satu kupu-kupu api. Hewan malang itu pun pecah menjadi partikel-partikel merah yang kemudian terpencar ke sana kemari.

Dari serpihan cahayanya, terlihatlah pohon-pohon tinggi di sekitar mereka, di sana bergantung kian banyak manusia juga sayap Ilmuan Langit yang telah berguguran ke tanah. Naema tersentak kaget, menciut di dalam rangkulan Amartya. Perutnya serasa ingin memuntahkan setiap isi di dalamnya.

"Sshh shshshsh… jauhkan matamu dari kegelapan." Tangan Amartya lekas menutup mata gadis ketakutan itu.

"Pulangkanlah mereka, cahaya redup mereka kan sirna di bawah cahaya yang sejati." Datang Verslinder melompat di antara bayangan dari ujung barisan.

"Cahaya sejati?" Tanya Amartya bingung.

Tak lama, jalan mereka pun mulai diterangi cahaya. Kini terbentanglah padang putih di hadapan mereka, begitu suci lagi agung. Pohon-pohon putih tumbuh di sekitar sungai susu yang mengalir damai, menggugurkan dedaunan putih yang berlayar di alirannya. Burung-burung safa (merpati suci) berkicau dan bertengger pada bangunan-bangunan putih yang bergelora. Semua terlihat begitu cerah dan megah.

Para mayat hidup tampak berkeliaran di sana, tapi mereka tak tampil menyeramkan karena pakaian yang mereka kenakan amat rapih dan gerakan mereka juga begitu nyata. Para hantu dan wanita suku Cahaya merawat mereka dengan baik.

"Aneh, mereka tidak begitu menakutkan di sini." Gumam kecil Naema.

"Rasa takut datang dari kegelapan, cahaya memberikan jiwamu keamanan, di sana jasad-jasad yang tak bernyawa, tak lain hanyalah benda yang bisa bergerak semaunya." Verslinder mendengar gadis itu.

"Ngomong-ngomong kenapa jumlah mereka sangat banyak?" Rasa penasaran pun tumbuh setelah ketakutannya reda.

"Sama seperti suku Alam, penghuni di sini kebanyakan bukanlah para musisi. Bedanya, jumlah suku Cahaya dan Kegelapan jauh lebih sedikit dibanding gadis suku Alam." Jelas Amartya.

"Jadi penghuni Ratmuju kebanyakan adalah mayat hidup?" Naema kembali bertanya.

"Ya, ada ribuan dari mereka di sini, walaupun tempat ini mendapat julukan Land of Music, dalam bahasa Unity tentunya, orang-orang juga sering menyebutnya Dead Man's Land atau Tanah Orang Mati." Jelas Amartya.

"Lalu dari mana semua mayat ini berasal?"

"Pernah dengar tentang Perang 7 Keluarga?"

"Tidak."

"Akan kuceritakan padamu nanti."

Mereka terlalu asik berbincang sampai tak sadar sudah tak ada satupun musisi yang hadir di dekat mereka. Kini keduanya tersesat di tempat yang entah di mana, walau setidaknya para mayat hidup tidak mengganggu mereka.

Satu-satunya tempat yang bisa mereka jadikan patokan adalah dua hutan kegelapan. Yang satu berada jauh dari mereka sementara yang satu lagi dekat. Asumsi mereka adalah, hutan yang jauh merupakan arah mereka datang, jadi mereka pergi ke hutan yang dekat.

"Meski begitu, jika kita masuk ke salah satu hutan kita tetap tidak akan tahu jalan." Kata Naema.

"Hutan kegelapan terlalu gelap bahkan untuk melihat, bagaimana cara kita menemukan jalan menuju DiVarri?" Lanjutnya.

"Ada yang mengatakan pohon bambu akan memancarkan cahaya yang ia serap di kala terang, ketika sekitarnya mulai gelap." Kadang aku sendiri cukup kagum pada luasnya ilmu Amartya.

"Lalu? Memang benar hutan kegelapan kebanyakan diisi oleh pohon bambu, tapi bagaimana itu akan membantu kita?"

"Kamu ingat wanita suku Cahaya itu memancarkan cahaya?"

"Oh... OH! Aku mengerti, kita hanya tinggal mengikuti cahaya yang ditinggalkan para wanita Cahaya yang tadi bersama kita." Naema mengangkat telunjuknya.

"Benar, ada legenda yang mengatakan, pria suku kegelapan menanam bambu untuk mengecek kedatangan cahaya yang selalu mereka cari-cari."

"Apa maksudmu, kakanda? Mereka mencari cahaya?"

"Akan kuceritakan semuanya padamu nanti, sekarang lebih baik kita ikuti cahaya ini sebelum mereka menghilang."

Keduanya pun berjalan mengikuti cahaya yang ditinggalkan para wanita sebelum mereka. Seperti yang Amartya duga, Naema merinding ketakutan ketika berjalan di hutan kegelapan. Namun kali ini ia telah mengirim kupu-kupu apinya untuk menemani mereka berjalan di dalam hutan, tanpa menghapus jejak cahayanya.

"Kamu ini pembunuh berdarah dingin tapi penakut." Amartya menghela nafas dan menggelengkan kepalanya.

"Biar, dari pada kakanda cuma ditatap sama satu musisi aja, beku menciut." Gadis itu bisa-bisanya mencibir ditengah rasa takutnya.

"Oy! Ribuan orang kehilangan kewarasan mereka cuma dari melihat mata mereka asal kamu tahu!" Dan tentu saja Amartya jengkel mendengarnya.

Mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju DiVarri, berdampingan, tapi saling mencela satu sama lain (mungkin demi melarikan diri dari rasa takut). Hingga akhirnya mereka sampai di suatu tempat yang dipenuhi bangunan hitam, yang dihiasi corak ungu dan panji-panji yang berbeda.