Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 40 - Chapter 34: Into Darkness

Chapter 40 - Chapter 34: Into Darkness

Amartya melengking serak, gelombang suaranya bisa terlihat memekik udara. Magma panas meledak keluar dari senapannya, membakar habis semua yang ada di depannya, merubah tiap hal padat menjadi kabut yang memudar. Sebuah lubang besar ke dunia luar pun terbentuk, kini Amartya menarik suhu panas dari mereka bagai sebuah vakum, kemudian terciptalah sebuah jalan dari lava yang membeku.

Tanpa sepatah katapun ia lalu menatap pada orang-orang Toksik, dengan mata merah yang berapi-api, dengan seisi tubuh yang menghembuskan uap panas. Penuh dengan amarah, ia pun membawa Naema keluar dari Garabandari.

Tentu saja tak ada yang berani melawan Amartya, murka seorang penganut api dari keluarga inti bukanlah sesuatu yang kau lawan tanpa koordinasi dari grup yang besar. Amarah adalah dosa dari api, dan memang benar penggunanya harus mampu menahannya, akan tetapi di Dunia ini dosa itulah yang akan menyulut api terbesar di antara segalanya.

"Baiklah semuanya, lebih baik tidak membuat sang Penguasa lebih murka lagi, jadi kumohon dengarkanlah permohonanku." Ester mengalihkan perhatian mereka, ketakutannya membuatnya spontan berbincang bahasa Bumi seutuhnya.

Sementara itu di sisi lain, Amartya dan Naema berjalan melewati Maksallatan menuju Ratmuju untuk bertemu DiVarri dan memintakan maaf bagi para warga suku Toksik.

Amartya terlalu kesal untuk memperhatikan apa yang ada di sekitarnya, sehingga Naema terpaksa memasang mantra yang membuat mereka tidak terlihat. Mantra ini hanya dikuasai sedikit orang, tapi para penyihir tingkat tinggi banyak yang mampu mendeteksi sihir ini. Naema sangat berharap tak ada dari mereka yang akan ditemui mereka berdua.

*!!!*

Lalu tiba-tiba saja, tanpa diikuti suara dari mulutnya, Amartya mengangkat Naema dan menggendongnya, kemudian lantas berlari layaknya angin. Tingkah ini tentu membuat Naema terkejut dan panik, namun di samping itu ia khawatir amarah Amartya justru akan membuat suku Kegelapan tersinggung dan mulai menyerangnya.

***

Setelah 50 menit berlari, akhirnya mereka sampai di Ratmuju, dan Amartya masih terlihat kesal. Naema semakin bingung harus berbuat apa dan mereka sudah semakin dekat dengan gerbang Ratmuju. Kebingungan ini membuat Naema tidak bisa mengendalikan dirinya dan tanpa sadar mulai mendekap Amartya, menggenggam pemuda api yang menyala-nyala itu seerat yang ia bisa.

"..."

Seisi kesejukan tubuh Naema seketika terasa menyelimuti raga yang terlahap panas itu. Bagai lilin yang tertiup kencang, ia pun padam, sirna di tengah hembusan angin dingin.

"Ahh..." Amartya menghembuskan nafasnya perlahan.

'Hanya begitu saja? Cukup satu pelukan dan tiap amarahku sirna?' Lanjutnya bergumam di dalam hati.

Amartya melirik pada gadis kecil yang tengah menggenggamnya erat dengan tubuhnya yang tak kuasa bergetar, dipenuhi kecemasan dan rasa takut.

'Pertama ibunda, sekarang Naema... apa kasih sayang selalu sekuat ini? Itukah sebabnya Ibunda Zoastria selalu memanggilnya sihir ter—' Mendadak pemuda itu merasa sesuatu dalam dirinya tersentuh lembut, begitu tenang dan penuh kenyamanan.

"Ehm, Naema? Kamu membuatku kedinginan." Ucap si pemuda api. Ia berbohong, ia tahu jika mereka tetap seperti itu lebih lama lagi, ia tak akan pernah bisa melepasnya.

Namun Naema masih merangkulnya tanpa berkata-kata. Amartya tak bisa berbuat apa-apa selain berbalik memeluknya, dan mengelus rambut siannya yang kian halus angankan sutra. Ia terpaksa menikmati ketentraman ini untuk sejenak.

"Baiklah Naema, kamu bisa melepaskanku sekarang." Rasa tenang mengembalikan kehangatan suaranya yang begitu lembut, andaikan sentuhan bunga kapas di kala semi.

Naema akhirnya melepaskan pelukannya, ia berpaling menyembunyikan wajah merahnya yang kini telah melepuh. Matanya berkaca-kaca dan bibirnya terus menggigil menahan rasa malunya.

"Terima kasih, adinda." Amartya tersenyum. Gadis itu pun memberanikan diri untuk melihat ke arah pemuda Api di depannya.

"Sekarang mari kita temui kepala suku Kegelapan dan memintakan maaf kepadanya." Amartya mengulurkan tangannya.

*Fush...*

"Aduduh manisnya."

Di tengah itu semua, Datanglah seorang wanita tak dikenal, berdiri di atas badan tingginya, yang terbalutkan gaun berwarna-warni, dengan lekuk tubuh berlukiskan gitar spanyol. Sebelum kalian bertanya, tentu saja kami tahu apa itu gitar spanyol, jangan lupa generasi pertama Dunia ini diisi oleh para pendosa.

"Mohon maaf, Anda— uhh... siapa ya?" Tanya Amartya yang sedikit kaget melihat parasnya.

"Kamu tidak mengenalku? Uh uh Betapa hancurnya hati ini mendengarnya."

"Bisakah kamu menjawab pertanyaanku?"

"Wiih... galak amat~"

"Katakan saja siapa dirimu, nyonya."

"Hihihi, aku? Aku adalah dia yang memberimu kehidupan, tanpaku keseimbangan di Daratan akan sirna."

"Sang Pencipta!?" Tebak Amartya.

"Bukan, Pohon Kehidupan." Ucap Naema.

"Pohon Kehidupan? Tunggu, selama ini Pohon Kehidupan seorang wanita? Lalu… maka… Ibunda Zoastria!?" Aku tak pernah melihat Amartya begitu syok mendengar sesuatu.

"Benar, aku adalah jelmaan kecil Pohon Kehidupan, tapi aku bukanlah wanita, ataupun juga pria, aku tampil sesuai dengan keinginan mereka yang melihatku."

"Jadi dirimu terlihat seperti wanita karena…?"

"Amartya hanya senang berbicara dengan perempuan."

Tiba-tiba sekujur badan Amartya merinding, ia bisa merasakan Naema memandang sinis ke arahnya.

"Apa? Kamu tahu betapa menjijikannya memantrakan sihir spiritual pada laki-laki?" Jelas Amartya.

Naema terlihat kesal tapi ia berusaha mengacuhkannya.

"Lalu kalau begitu bukankah dirimu memiliki wujud seorang pria, nyonya?" Tanya si gadis.

"Tentu saja."

"Bolehkah aku melihatnya?" Pinta Naema.

"Kau tahu, aku juga cukup penasaran soal ini." Lanjut Amartya.

"Baiklah, sebentar ya…"

*Fyuu...*

Muncullah akar-akar pohon dari segala arah, yang membungkus Pohon Kehidupan layaknya kepompong, dan darinya pun keluar cahaya terang yang berpancarona. Tak lama, akar-akar itu mulai kembali menyatu dengan bumi. Pohon Kehidupan pun muncul dengan wujud seorang pria tampan, tinggi dan berbadan kekar, ia bertelanjang dada dengan celana yang berwarna-warni.

"Tara!" Ucap Pohon Kehidupan dengan suara rendah yang serak-serak basah, sembari membentangkan kedua tangannya.

"Payah."

"Mengecewakan."

Amartya dan Naema memandang Pohon Kehidupan penuh dengan ketidakpuasan.

"Apa? Bagaimana bisa? Bahkan setiap anak-anakku menyukai wujudku yang seperti ini." Pohon Kehidupan menampakkan kesedihan yang begitu semu.

"Aku tidak suka laki-laki." Ucap Amartya.

"Aku hanya tertarik pada Amartya." Sambung Naema.

"LAH!? Lalu mengapa kalian memintaku berubah wujud!?" Pohon Kehidupan mengehentak-hentak kesal layaknya anak kecil.

"Bisa-bisanya aku dipermainkan bocah-bocah ini."

Pohon Kehidupan pun lalu kembali ke wujud wanitanya dengan cara yang sama ia berubah sebelumnya.

"Ngomong-ngomong Pohon Kehidupan, kau datang kemari pasti ada maksud penting kan?" Tanya Amartya.

"Sebenarnya tidak ada, aku hanya ingin memastikan kalian tidak melakukan hal-hal aneh sebelum memasuki kawasan Ratmuju." Jawab Pohon Kehidupan.

"Begitu…"

"Dan sepertinya semuanya aman-aman saja, kalau begitu aku pergi dulu ya, bersenang-senanglah dengan para penghuni Surga~" Tubuhnya kemudian berubah menjadi dedaunan yang hanyut tertiup angin.

"Pohon Kehidupan kelihatannya... uh... merupakan pribadi yang menarik ya?" Wajah Naema tampak kembali cerah setelah bertemu Kalpataru.

"Entahlah, mungkin keabadian membuatnya menjadi orang aneh." Balas Amartya.

"Aku mendengarnya Amartya…" Mendadak terdengar bisikan dari pepohonan. Bocah itu pun merinding, sedikit panik.

"Aku pernah dengar kalau Pohon Kehidupan bisa mengirimkan sebagian dirinya dalam bentuk manusia kemana pun, tapi aku tak menyangka akan bertemu dengannya di tempat seperti ini." Ucap Naema.

"Sepertinya aku pernah bertemu dengannya sebelumnya, tapi aku tidak terlalu peduli padanya, kepribadian itu membuatku tak bisa berbicara dengan penuh hormat layaknya semestinya." Amartya menggeleng-geleng kepala.

"Aku rasa dia lebih senang diperlakukan sebaya ketimbang penuh penghormatan."

"Kurasa juga begitu," Helaan nafas yang berat keluar darinya.

"Ngomong-ngomong kita juga harus beranjak, adinda."

Kini setelah Pohon Kehidupan pergi, keduanya pun melanjutkan perjalanan mereka, bersama menuju gerbang Ratmuju.

*

Sesampainya di sana mereka disambut oleh dinding-dinding hitam yang tinggi dan sebuah gerbang raksasa.

"Our young conqueror… has arrived…"

Suara bisikan terdengar dari sela-sela kegelapan. Langit menjadi semakin suram, dan udara semakin terasa sesak. Suara mulai diam membisu dan pepohonan berhenti menggoyangkan dahannya. Sebuah kehampaan yang luar biasa mencekam memenuhi tempat itu.

Kedua tokoh kita lekas melirik liar ke sekeliling mereka, merasa bahwa ada yang tidak beres dengan tempat ini. Sampai tampaklah sesosok kabut hitam, dan darinya keluar dua butir cahaya ungu kehitaman, angankan sepasang mata yang senantiasa melihat.

"Speak!" Perintah sosok itu dengan suara sehalus asap, sesemu bayangan.

"Bahasa?" Tawar Amartya.

"Forbidden!" Namun sosok itu menolaknya.

"Allow us to pass." Lanjut Amartya.

"Reasons!" Tanya sosok itu.

"DiVarri." Jawab Amartya.

"Forbidden!" Dan sosok itu kembali menolak.

"Apa!?" Amartya tersentak.

"Ada apa kakanda? Aku tidak terlalu paham bahasa Unity." Tanya Naema dengan raut wajah bingung.

"Dia menolak memberi izin masuk. Padahal aku meniru persis seperti yang ayah lakukan." Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya.

"Terus sekarang bagaimana?"

"Entahlah... oh tunggu aku tahu, ayah pernah memberitahuku satu kata untuk meminta pengakuan mereka." Amartya pun kembali mendatangi sosok tadi.

"Speak!" Perintah sosok itu.

"Honor." Kata Amartya.

"..."

Sosok itu seketika terdiam sejenak.

"Overcome your FEAR!" Kemudian ia pun perlahan menghilang, menyatu dengan kegelapan.

Mendadak menggemalah suara genderang, mengguncang jantung siapapun yang mendengarnya, menggetar hebatlah tempat itu bagaikan gempa yang diamukkan sang Bumi.

Sesosok pria berbaju hitam berdiri di kejauhan. Kulitnya gelap kelabu, rambutnya hitam bagai malam, matanya ungu menyala dengan lambang gagak bertengger di saku jaznya. Ia berjalan ke arah keduanya, perlahan, stabil, seakan tubuhnya tak bernafas. Dari tiap langkahnya rasa takut memancar, menghantui udara.