Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 41 - Chapter 35: Beyond the Black Wall

Chapter 41 - Chapter 35: Beyond the Black Wall

Sang pria hitam mengeluarkan sebuah biola yang terbentuk dari kabut hitam bayangan, lalu memainkannya dengan cepat dan ganas. Tak satu pun mata sanggup mengikuti gerak-gerik tangannya. Melodi yang ia lantunkan terlampau kuat, hingga menyayat pepohonan muram di sekelilingnya.

Ratusan gagak hitam berterbangan di belakang pria itu, meracuni udara dengan bulu-bulu hitam mereka. Nada-nada yang ia keluarkan menuntun gelapnya malam melahap semua yang terjebak di dalamnya.

Waktu demi waktu suaranya menghilang, begitu pula pandangan manusia akan kehadirannya. Lalu datanglah para wanita hitam melayang-layang, bernyanyi-nyanyi, menghantui Amartya dan Naema dengan kehadiran halus mereka.

Dan mendadak, salah seorang dari mereka menarik si gadis es hilang ke dalam kegelapan.

"Oy...? Naema!!!"

Dengan panik Amartya berteriak memanggil dirinya, namun langsunglah matanya mengerjap. Ia tak bisa mendengarnya, tak satupun suara diizinkan keluar. Musik kegelapan mendominasi dan melahap setiap udara yang berkeliaran di sekitarnya.

Amartya merasakan tubuhnya sesak, kesulitan bahkan untuk menarik sehela nafas. Tapi bukanlah karena udara yang menghilang, melainkan nada-nada yang bernyanyi lebih menusuk dari 1000 bilah belati.

Sungguh kaku, rasanya gelisah, takut, tetapi mau tak mau dia harus melawannya, atau nasibnya dan Naema tak bisa lagi terbayang oleh akal sehat.

Para wanita hitam menari-nari di antara bayangan, menggoda Amartya tenggelam ke dalam kegelapan. Mereka maya lagi kuat, liar lagi seram, jahat lagi keji.

"Walk into the shadows!"

Bunyi syair yang mereka nyanyikan, terus-menerus, berulang-ulang.

Satu-satunya cara untuk Amartya bisa lepas ialah dengan melawan rasa takutnya.

Namun jiwa Amartya dengan hati yang baru saja disempurnakan, terlalu lemah untuk mampu melakukannya. Akan tetapi, pada saat tergenting seperti inilah Dia, si Jago Merah, kelak mengehembuskan anugrahnya, menyelamatkan Amartya dari keterpurukannya.

Sang bayangkara meliputi hatinya, menyentuhnya dengan keberanian.

"Mengaumlah, tekad api sang Raja Singa!"

Jiwa yang terliput kabut hitam kini membara, bagai lilin di tengah gelapnya malam. Bersamanya keluar cerminan api dari seekor singa jantan yang mengaum, mengibarkan rambut gagahnya, memancarkan sinar yang membakar para wanita Hitam dan rayuan keji mereka. Kini Amartya bisa menarik senapannya dan menghabisi tiap-tiap yang tersisa dari mereka.

Lalu mendadak, bagai sambaran guntur, sebuah gitar elektrik jatuh dari Angkasa, memainkan nada rendah yang yang mencakar jantung Amartya dengan kuatnya. Sang pria kegelapan tampak tidak senang, ia memainkan nada tinggi yang melengkik keras dengan perlahan di atas biolanya, lambat laun menyayat jiwa Amartya bagai sabit yang tajam.

*Grrr*

Di belakangnya terlihat menggeram seekor macan kumbang yang becorak hitam, berjalan mengikuti alunan biola dan gerakan lentik dari tubuh sang pria kegelapan. Matanya bersinar menggemakan cahaya ungu, yang ganas menatap Amartya, lapar akan rasa takut. Pemuda itu bisa merasakan dirinya dilahap habis, hanya dengan melihat keduanya.

Sang pria kegelapan lalu memainkan biolanya dengan cepat dan menyentak, seraya mengintimidasi Amartya dengan gema langkahnya, beroncek-roncek kian mendatangi.

Tapi dengan keras pemuda itu berusaha melawan ketakutannya, dan ia pun ikut melangkah ke arahnya.

*Kaaak!* *Kaaak!*

Para gagak hitam berbaris mengitari mereka, membuat arena untuk Amartya dan sang pria kegelapan beradu kemampuan. Si Pemuda api lantas terhipnotis alunan nada, ia membuang senapannya dan memunculkan pedang merah yang bersinar cerah.

*!!!*

Keduanya kini berlari, bersiap untuk saling menerjang satu sama lain. Bagian atas penggesek biola pria itu kini berubah menjadi pedang hitam yang tajam, ia mengeluarkan aura ungu kehitaman yang meluapkan udara di sekitarnya. Sementara Amartya membakar pedangnya, melapisinya dengan api kuning yang panas membara. Keduanya pun bertemu dan saling menebas satu sama lain.

*Shiiing!*

Seketika udara pecah bagai gelas kaca, api pedang yang bergejolak turut habis padam.

Namun langit berubah terang benderang, menyinari diri dan sekelilingnya. Di sana ia melihat puluhan penduduk Ratmuju mengitarinya, bermain musik dengan megah dan meriah, menyambutnya dengan melodi kemenangan.

Di antara mereka berdiri Naema, tersenyum bangga dan bertepuk tangan, memberi selamat kepada Tuan Penguasanya. Lalu, seorang bocah kegelapan dengan tato gagak, yang berpenampilam seumuran Amartya, turun dari gerbang Ratmuju dan berdiri di hadapannya. Tapi tak lama setelah itu musik pun memelan hingga akhirnya berhenti.

"Long live the King of Kings!"

Serentak para musisi berlutut dan memberi hormat kepada sang Ardiansyah. Amartya dan Naema hanya bisa berdiri kebingungan, tak tau harus bicara apa karena mereka tak bisa berbicara Unity.

"Uhh… bangunlah!" Ucap Amartya dengan bahasa Bumi.

Anak dengan tato gagak itu pun berdiri, dan yang lainnya mengikuti setelahnya. Ia terlihat begitu kecil dibanding musisi lainnya, namun terdapat aura yang memancar, yang menunjukkan dirinya jauh lebih superior dan lebih kuat dari yang lain.

"'Lah' tidak pantas untuk mereka yang berumur, nak. Beruntung tak semua dari mereka bisa berbicara bahasa Bumi." Seketika datang seorang anak perempuan berpakaian putih, berjalan menghampiri.

"Ah, maaf nyonya— nona?" Amartya malu dan bingung.

"Austra, Austra Keshan," Ucap perempuan itu.

"Ah… dan ini suamiku, Raja para Gagak, Verslinder Gloria."

Gadis kecil itu jelas berbentuk manusia, ia juga jelas berwajah manusia. Namun gerakan tubuh dan wajahnya begitu kaku, seakan-akan tubuhnya terbentuk dari kayu. Ia bertingkah layaknya sebuah boneka.

"Aku Amartya Vasurha, putra Hakan, apa tak apa aku berbicara dengan Bahasa Bumi?" Tanya Amartya.

"Tenanglah wahai jiwa yang muda, ia datang dari rumah, membawa sejuta kenangan dari Buana Yang Telah Sirna, meski demikian, kebanyakan dari mereka yang berumur tidak mudah memahaminya." Ujar Verslinder, suaranya begitu muda dan lucu jika dibandingkan dengan perkataannya yang berima bijak, cukup susah untuk menganggapnya serius.

"Waktu terus berdetik Tuan Penguasa Muda, ikutilah kami, sang Conductor sudah lama menunggu di dalam menara tempat beliau bersinggah." Austra lekas berjalan membimbing mereka.

"Conductor?" Tanya Naema.

"Pahamilah Dunia kami, Dunia Musik, laksana dirimu akan mengerti." Jawab Verslinder.

Amartya dan Naema saling memandang, begitu buta akan perbincangan mereka.

Keduanya lalu berjalan mengikuti para musisi masuk menelusuri Ratmuju. Akan tetapi begitu melewati dinding-dinding hitam, datanglah sebuah pemandangan yang amat mengganggu mereka.

"Rambut hijau? Mereka… kenapa ada suku Toksik di sini?" Tanya Naema yang terluput bingung.

"Perhatikan kulit mereka adinda, mereka tak lagi sama dengan orang-orang suku Toksik yang kita lihat di Garabandari." Tunjuk Amartya.

"Hmm, iya... kalau dilihat-lihat kulit mereka agak pucat, dan mereka… tidak… berna— tunggu!" Listrik seakan menyambar tengkuknya, tubuhnya merinding kian hebat.

"Ya, mereka sudah… mati, rambut mereka beberapa minggu lagi akan menjadi hitam."

"Tidak. Jasad yang berdiri tak bernyawa, namun tidak pula wafat." Verslinder lanjut berjalan seakan apa yang ada di hadapan mereka tidaklah penting.

"Tidak wafat? Bagaimana bisa mereka tetap hidup tanpa nyawa?" Naema mengikuti, dengan pandangan masih terpaku pada para mayat hidup.

"Jujur, aku juga penasaran soal hal ini." Sambung Amartya.

"Kegelapan, diselimuti oleh mimpi buruk dan sihir hitam," Jelas Verslinder.

"Ia kan menelanmu, menjadikanmu satu dengannya."

Amartya dan Naema berhenti bertanya. Keduanya terlalu ragu dan segan untuk tahu lebih banyak, ditambah perkataan Verslinder yang kadang sulit untuk dimengerti. Kini mereka pun melanjutkan perjalanan mereka untuk menemui DiVarri.

*

Di perjalanan, di tengah-tengah kegelapan yang kian gulita, mereka bertemu dua orang gadis yang sedang bermain bersama, bercanda ria, tertawa girang, saling melemparkan bola di atas telapak mereka. Sampai seketika bola yang mereka mainkan melenceng dan menggelinding ke arah Amartya.

Kedua gadis pun meminta si pemuda api untuk melemparkan bola itu kembali pada mereka.

Para wanita suku Cahaya sayangnya berada terlalu jauh dari Amartya, sehingga cahaya mereka tidak mencapai pandangannya. Suasana di sana terlalu gelap untuk Amartya melihat jelas di antara naungan hutan. Lalu dinyalakanlah olehnya api untuk melihat di mana bola itu.

Kini setelah bulatnya bayangan itu tampak, ia lantas mengambilnya, mengangkatnya ke dekat api yang ia buat setelah merasa bentuk bolanya agak sedikit tidak familiar. Namun begitu cahaya datang, yang ia temukan hanyalah sepotong kepala manusia.