Oleh: Nitara Sendoria
Era generasi kedua, adalah era di mana segalanya mulai berantakan.
Baik Daratan maupun Lautan… darah, darah, darah dan darah sejauh mata memandang.
Setiap suku di Daratan tentunya memiliki konflik mereka masing-masing, dan suku Api, terpaksa melindungi tanah mereka dari hantu-hantu hutan gelap dan para Pelukis Samudra, terutama di pantai Selatan.
Suku-suku di Daratan takkan membiarkan para wanita beperang atas alasan yang begitu jelas, mereka membutuhkan para wanita tetap hidup agar mampu melahirkan generasi berikutnya. Namun suku Api, beranggapan bahwa perempuan memiliki potensi prajurit yang berbeda dari laki-laki dan menjadikan mereka bala pasukan tersendiri. Tentu saja, ini adalah ide yang buruk.
Pelukis Samudra merupakan bangsa yang paling sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan total Penempa Bumi ataupun Ilmuan Langit. Akan tetapi, tidak hanya mereka yang mampu mengangkat senjata di tengah dalamnya Lautan. Para Pelukis menjadikan biota-biota lautan layaknya peri laut dan manusia ikan bala tentara mereka, dan hanya mengikuti peperangan jika sangat diperlukan.
Sepanjang satu era generasi melawan pasukan Samudra, suku Api kurang lebih hanya kehilangan 100 orang pasukannya, 70 diantaranya adalah wanita.
Meski begtiu, yang paling merusak kami datang dari kehitaman yang begitu pekat, di saat mereka mulai membantai ketiga bangsa untuk peperangan gila mereka. Kurang lebih 900 Waraney gugur di medan perang, dan lebih dari 600 diantaranya adalah wanita. Atas kehilangan itu, suku Api kini memiliki penduduk dan pasukan yang begitu sedikit di era generasi ketiga (dibanding suku lain tentunya).
Solusi yang diberikan Hakan untuk masalah ini, ialah menaikkan kualitas Waraney dan membentuk koalisi dengan seisi Daratan, agar nantinya, kami tidak memiliki masalah melindungi diri dari serangan yang datang.
Dan di sanalah aku, Nitara, begitu kecil dan bangga, memulai masa kecilku di Papendangan (sekolah Waraney), setelah akhirnya terlepas dari susu ibuku. Bersama, aku dan ribuan anak lainnya berserta putra tunggal kepala suku memulai pelatihan kami sebagai prajurit yang terhormat.
Namun dalam kisah ini, bukan aku lah protagonisnya. Karena ketika semuanya dimulai, bahkan di usiaku yang terlalu dini, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Seorang anak laki-laki muncul di hadapanku dengan mata yang begitu indah, menggema dipenuhi warna, seakan seisi dunia terlukis di matanya. Namanya Dinendra.
Ia datang dari keluarga Serenada, keluarga yang diberkahi oleh Manguni. Ketujuh saudaranya juga memiliki mata yang indah, dan di masa mendatang beberapa dari mereka akan menjadi bawahanku sebagai seorang Inolatendo (gadis-gadis Mentari yang mengurusi peradatan suku). Namun dia, berada di tingkat yang jauh berbeda ketimbang saudara-saudarinya. Bahkan tuan muda Amartya sendiri terkagum-kagum dengan keindahan matanya.
Satu hal yang paling menakjubkan dari matanya ialah mereka tidak statis, irisnya terus berputar dan bersinar layaknya pusaran api. Tuan muda Amartya pernah berkata, Dinendra mampu melihat menembus segalanya layaknya seekor Manguni, hal ini yang menjadi salah satu dari berjuta alasan mengapa tuanku menaruh begitu banyak harapan padanya.
Ia orang pertama yang aku datangi ketika menginjakkan kaki di Papendangan, karena rasa ketertarikanku yang tinggi. Lalu Tak lama setelahnya, tuan muda Amartya datang bersama seorang gadis bernama Alisha.
Kami berempat sering bermain dan belajar bersama hingga tuanku berusia 6 tahun, ketika itu kami memulai pelatihan utama kami dalam seni berperang. Seperti yang kita semua ketahui, tuanku berkembang begitu pesat dan menjadi yang terbaik dalam segala bidang.
Tentu dunia ini memang tidak adil dengan keluarga utama jauh lebih ahli dalam segalanya ketimbang warga lainnya, namun dengan keluarga utama kami diisi oleh orang-orang layaknya tuan Hakan dan Amartya, aku sama sekali tak keberatan.
Di sisi lain, aku dan Alisha berkembang dengan baik tanpa adanya kesulitan yang mengganggu kami. Menebas, menembak, menempa, menambang dan lain-lainnya, tak ada masalah. Namun Dinendra, hal yang sama tak bisa dikatakan untuknya.
Tembakannya meleset, tebasannya tak begitu dalam, dan barang-barang buatannya begitu sedikit dengan kualitas yang kurang baik. Hasil buruk ini membuatnya frustasi, ia seakan bergeming, berdiri tanpa tenaga dengan tatapan hampa dengan mulut setengah terbuka.
Aku berjalan menghampiri kesedihannya, memeluknya dari belakang, berusaha sebisaku untuk memberikan sebanyak mungkin dorongan moral yang mampu ia terima. Tapi tiba-tiba ia meraih lenganku, lalu perlahan menolehkan pandangannya kepadaku.
Kusambut dirinya, memberinya kehangatan dengan wajah penuh senyuman.
Namun dalam sekejap mata, kutemukan badanku terlempar ke depan, terbanting membentur tanah. Bahkan hingga saat ini, tak pernah aku sebegitu terkejutnya. Kulihat matanya berpancarona, tapi penuh duka dan rasa kecewa. Ia pun berlari pergi meninggalkanku bersama butiran air mata menetes terbawa angin di setiap langkahnya.
Tuan muda Amartya menyaksikannya, ia mulai prihatin dengan perkembangan yang terjadi pada Dinendra. Dirinya mulai menerka-nerka ide untuk anak itu, agar dirinya mampu menunjukkan potensi terbaiknya sebagai seseorang yang diberkahi Manguni.
*
Setahun setelah pelatihan, kami dipindahkan ke divisi masing-masing. Aku berakhir menjadi pemimpin Inolatendo—gadis-gadis yang mendedikasikan diri demi adat dan Mentari. Kami bukan prajurit, namun kami membawa nilai moral dan kualitas semangat yang tinggi untuk para Waraney dan suku Api.
Tuan Hakan menetapkan Alisha sebagai sekertaris tetap tuan muda Amartya, sementara Dinendra menjadi pemimpin Istinggar Waraney, regu penembak jitu dengan ketepatan serangan yang begitu tinggi, orang bilang mereka tak pernah meleset ketika bertugas.
Dinendra tampak begitu panik dan takut, takut akan mengecewakan para Istinggar yang akan mengikutinya, takut akan mengecewakan setiap ekspektasi yang diberikan padanya. Ia akhirnya meninggalkan pengumuman pemindahan divisi lebih awal dari anak-anak lainnya. Hal ini terdengar oleh tuan muda Amartya, dan Tuanku berniat menghampiri Dinendra setelah pengumuman berakhir.
Entah hal baik atau buruk, tetapi diperjalanan pulang aku bertemu dengan Manguni kecil itu, ia nampak menyesal karena telah melemparku, namun seharusnya ia tak perlu besikap seperti itu, aku sama sekali tak marah kepadanya, mungkin aku tak akan pernah bisa jika orang itu dirinya.
Dinendra terus terdiam jadi aku berusaha berbicara kepadanya.
"Bagaimana dengan hasil pembagian divisimu?"
Ia tak menjawab dan mengalihkan pandangannya.
"Kau tahu? Tuan Muda Amartya sendiri yang memintamu untuk menjadi pemimpin Istinggar, bukan ayahnya."
Dinandra terlihat sedikit kaget, mata yang berpancarona itu seketika terbuka lebar, seakan senja hendak kembali memancarkan sinarnya.
"Tuan Hakan pernah bilang, bahwa Tuan Muda Amartya akan menjadi pemimpin terbaik yang pernah ada di muka bumi, jadi mungkin… kamu perlu lebih percaya pada tiap keputusannya."