Kalian sudah mendengar tentang mereka bukan? Bangsa yang meninggalkan Langit. Suku Es yang memutuskan diri dari saudara-saudarinya, dan turun untuk menetap di Daratan. Kemudian datanglah pertanyaan ke benak kalian, dan pertanyaan itu adalah… Mengapa?
***
Di suatu pagi yang indah, di negri di atas awan, di sebuah provinsi bernamakan Taman Limut. Lahirlah seorang bayi perempuan yang begitu cantik dan sehat, dengan mata siannya dan rambut putih bagai salju yang diterangi rembulan. Dia terlahir sebagai anak pertama dari kepala suku Es, Fannar Himesh, atau kami biasanya menyebutnya nabi Fannar, karena kemampuannya untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta.
Semua orang menyambut bayi itu dengan penuh kegembiraan. Mereka yakin kehadirannya akan membawa pengaruh besar pada Dunia baru ini.
Dan mereka benar, dengan cepat keyakinan mereka dijawab oleh Sang Pencipta. Di malam setelah kelahiran si bayi, Gabriel datang membawakan pesannya kepada Fannar, berkata bahwa si bayi, akan berjalan bersama seseorang yang kelak kan menggenggam dunia di tangannya. Tapi dia dan sukunya harus pergi meninggalkan Angkasa, karena para Ilmuan Langit tidak lah berada di pihak yang sama di saat hal itu terjadi.
Satu hal perlu kalian tahu, Fannar adalah seorang nabi dari Sang Pencipta, bukan Tuhan. Jadi setiap wahyu mengenai masa depan yang ia berikan belum lah tentu kebenarannya. Karena Sang Pencipta tidak mengatur jaring tadir, dan apa yang akan terjadi, tak selalu sesuai kehendaknya.
Keesokan harinya Fannar menyebarkan wahyu yang ia dapatkan, yaitu perintah untuk meninggalkan Langit. Ia berkata bahwa suku Es akan hidup lebih baik bersama para Penempa Bumi ketimbang Ilmuan Langit.
Para pengikutnya yang setia tentunya langsung menerima apa yang diminta oleh Fannar. Tetapi warga suku lainnya tidaklah demikian, mereka justru mempertanyakan perintah Fannar. Mereka menyangkal bahwa Ilmuan Langit akan berbalik pada mereka, dan mengatakan Fannar mungkin salah mendengar wahyu, atau ia sedang sakit, lelah, stress dan sejenisnya.
Kebanyakan dari warga suku Es memegang peran penting dalam kepengurusan di kalangan Ilmuan Langit, mengingat raja Angkasa adalah Falah, yang merupakan seorang penyihir Es, oleh sebab itu mereka tidak ingin kehilangan kekuasaan dan kehidupan nikmat yang mereka miliki sekarang. Terlebih hidup di Daratan sangatlah sulit bagi Ilmuan Langit, tubuh lemah mereka tidak akan kuat menghadapi perubahan cuaca, suhu yang tidak cukup dingin, serta adanya hewan-hewan liar yang berbahaya.
Sebenarnya semua itu bisa diatasi oleh Pohon Kehidupan, tetapi kebanyakan Ilmuan Langit tidak terlalu mengerti tentang dirinya. Satu hal yang mereka tahu, bahwa ia merupakan inti dari seluruh kehidupan di Daratan dan pantai di Selebes.
Alhasil, semuanya pun berakhir dengan para warga Es meminta Fannar untuk menarik perintahnya, memintanya untuk beristirahat sejenak dan memperbaiki kesehatannya.
"Kok kalian semua ngeyel banget sih dibilangin!" Fannar kesal.
"Lah bapak sendiri yang suka mengada-ngada." Salah satu penduduk suku Es menyolotinya.
"Wah kamu konyol juga ya!" Fannar ngegas luar biasa.
"Terus? Bapak ngajak berantem?" Penduduk yang lain menyautinya.
"Egoblok! Maju sini kalian semua!"
Dan akhirnya mereka pun berantem, pengikut Fannar menghajar habis-habisan penduduk suku Es yang melawan. Mereka kesal dan mengambil semua barang mereka lalu turun ke Bumi, lalu meninggalkan semua penduduk yang tidak patuh tetap di Langit.
Apa? Singkat sekali? Hahaha tentu saja, ceritanya tidak sesederhana itu. Baik, kembali ke alur sesungguhnya.
Fannar tetap berpegang teguh atas wahyu yang didapatkannya. Dia terus mengatakan bahwa Ilmuan Langit akan membahayakan suku Es, dan mereka harus meninggalkan Angkasa karenanya.
Hal ini tentunya membuat warga suku jengkel dengan Fannar, mereka pun mulai mempertanyakan soal kenabiannya. Kata-kata kasar terlontar kepada Fannar, mereka mengancam akan memusuhinya dan keluarganya apabila dia tidak segera berhenti. Tetapi Fannar tetap bersikeras demi keselamatan kaumnya, ia tetap meminta mereka meninggalkan Langit.
Maka demikian, pecahlah sudah, warga suku berakhir kehilangan kesabaran mereka dan mulai menyerang Fannar. Namun semua serangan itu serentak dipatahkan oleh perisai sihir dari pengikutnya yang setia. Jumlah mereka mungkin tidak banyak, tetapi kemampuan mereka termasuk yang terkuat di antara warga suku Es.
Para pengikut Fannar mempertanyakan apa maksud dari sikap warga menyerangnya begitu saja. Dan dari sana, mereka pun berkata, "Fannar sudah tak lagi waras! Kesehatan mentalnya akan membahayakan kedaulatan suku Es!" Bla bla bla. Dari segala alasan munafik itu, mereka menuntu Fannar untuk dijatuhkan.
Dan akhirnya, Fannar pun menyerah menghadapi rakyatnya yang membantah. Di atas dinginnya awan dan lebatnya salju yang merana, pria itu berkata seraya memutar badan,
"Jika memang itu yang kalian inginkan, yasudahlah. Yang masih ingin mengikutiku turunlah bersamaku ke Selebes, sisanya, terserah kalian ingin apa!"
Mendengarnya membuat kerumunan gemas. Tanpa basa-basi rakyat pun melompat ke arah Fannar dan lekas menyerangnya. Dan dengan massa yang banyak, mereka pula berhasil melewati barisan pengikut Fannar. Kemudian di tengah itu semua, salah seorang dari mereka membuat sebuah pisau es dan mengayunkannya ke kepala Fannar.
Akan tetapi, seketika pisau itu hancur menjadi kepingan kristal, tepat di atas pundak Fannar, sejajar dengan telinganya. Bongkahan es yang kokoh muncul dari kehampaan, menyatu pada bahu Fannar dan melindungi kepalanya. Aura yang dikeluarkan sang Kepala Suku terasa begitu mengancam.
Dia pun menoleh pada wajah penyerangnya, dengan tatapan yang sungguh teramat dingin. Rasanya jantung mereka membeku hanya dari melihatnya. Di atas sana mata pria itu bercahaya, memancarkan kabut sihir yang sangat kuat.
Fannar mengibaskan jubahnya, dan dengan ganas seluruh warga terhempas oleh angin dingin yang begitu kuat. Mereka semua tak kuasa bertumpu pada kedua tangan mereka, terdiam, tak sanggup berkata-kata.
"Aku bukan musuh kalian!" Suara Fannar lantang dan tegas.
"Sadar! Keangkuhan itu yang akan mencelakakan diri kalian!"
Akan tetapi tak satupun ucapannya mereka hiraukan, dalam sekejap orang-orang itu kembali berdiri dan berbondong-bodong menerjang ke arah Fannar. Sementara di sisi lain, setiap penyihir yang mengikuti Fannar spontan membalas berlari ke arah mereka dan mulai menyerang balik.
Perang saudara kini berkecamuk. Di tengah itu semua, para pengikut setianya meminta Fannar untuk pergi dan mengamankan keluarganya. Fannar, betapa bijaknya ia, mengambil saran mereka. Karena jika ia tetap di sana kemarahannya akan memuncak dan itu sungguh bukan tindakan yang terhormat di kalangan suku Es. Lalu dengan ditemani oleh beberapa dari pengikutnya, ia pun pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Fannar meminta istrinya untuk membawa si bayi, kemudian mulai mengatur strategi untuk pergi dari Langit demi menetap di Daratan.
Ia meminta pengikutnya untuk mendorong warga suku yang memusuhi mereka untuk keluar dari komplek pemukiman, dan memindahkan lokasi pertempuran ke sisi kota lainnya.
Penyihir-penyihir terbaik dari pengikutnya lalu mengitari area pertempuran dan melukis lingkaran sihir di seluruh tempat itu. Mereka semua serentak mengucapkan mantra,
"Oh Angin Dingin, bawalah diriku"
"Sungguh raga ini, kan berjalan mengikuti tuntunan tanganmu"
"Meski langkahku ditetesi darah, yang senantiasa beku"
"Terasa kian indah, jika terbalut selimutmu"
"Maka berpindahlah!"
[Sihir Langit]
[Tingkat 4 Ekstensi]
"(Sihir Teleportasi)"
"Calati Teleportia!"
Mereka mengetuk tongkat mereka ke lantai di kaki mereka, tanah semu tempat mereka berpijak, memancarkan cahaya yang memandikan tiap warga di sana. Seluruh suara terlahap dalam kebisingin sihir mereka, dan dalam sekejap semua yang berada di area pertempuran berpindah ke Taman Kota, tempat yang dipenuhi oleh batu-batu sihir dan tanaman Angkasa.
Para pengikut Fannar terbagi dua akibat perpecahan itu. Mereka yang kuat bertempur melawan warga, dan yang lebih lemah mengumpulkan barang-barang para pengikut Fannar untuk dibawa ke Daratan.
Suku Es adalah satu-satunya suku langit yang dapat membuat benda dengan sihir mereka, namun kurangnya pengetahuan mereka akan senjata tajam serta kekebalan tubuh mereka akan sihir es, mengakibatkan sedikitnya warga yang gugur di tengah perselisihan ini. Dengan memanfaatkan kecacatan sistem ini, para pengikut Fannar lebih berfokus untuk mengulur waktu dengan sihir yang menghalangi dan melumpuhkan lawannya, ketimbang membantai warga yang memberontak, karena hal itu sedikit mustahil untuk dilakukan.