Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 17 - Chapter 12: It's On!

Chapter 17 - Chapter 12: It's On!

Sayangnya untuk Naema, sabertooth merupakan seekor predator di lahan yang ganas, dipenuhi oleh salju dan es. Binatang buas itu mengeluarkan cakar-cakar tajamnya dan tetap berlari tanpa sedikitpun memperlamban.

"Hah!?"

Menyaksikannya membuat Naema kebingungan dan mulai kehilangan fokusnya. Namun tubuh kecilnya kini telah mendekati batu Kebahagiaan, maka dengan panik, ia pun mengetuknya sekencang yang ia bisa. Walau sayangnya, belumlah saatnya bagi batu itu untuk aktif. Sang harimau di sana masih tetap tak tergoyahkan.

"Aduh! Aduh! Aduh! Oh, Roh Beku! Ini tidak baik!"

Lalu tanpa berbasa-basi, sang harimau langsung melompat ke arah Naema.

Namun dengan cepat Fannar pun memantrakan Durisfui (tanduk-tanduk es) di depan Naema, yang menghantam dan melempar sabertooth jauh ke belakang. Bongkahannya yang didatangiannya kini memberikan jarak antara si gadis dan sang harimau.

Akan tetapi, Naema masih belum juga bisa menenangkan dirinya, dan dalam keadaan panik ia terbang tinggi ke Angkasa, berusaha kabur sejauh mungkin dari jangkauan binatang buas itu. Dan sayangnya, ada satu lagi alasan yang belum diberitahukan Fannar kepadanya, tentang mengapa terbang bukanlah cara yang baik untuk menghindari kucing besar Daratan.

Setiap kucing besar di Selebes mempunyai 1 mantra kuat yang membawa elemen mereka dalam energi sihir yang terbentuk darinya.

Ro', auman buas dari mereka membawa efek mutlak dari elemen yang mengalir dalam tubuh mereka. Bakar (Api), racun (Toksin), beku (Es), sembuh (Alam), perisai (Cahaya), kutukan (Kegelapan), dan lumpuh (Bumi). Area yang terkena efek Ro' akan semakin luas ketika jaraknya semakin jauh. Dan untuk sabertooth, mantra ini bernama Winozro'. Mantra yang luar biasa kuat dan tidak bisa dipelajari oleh manusia, setidaknya pada saat itu.

[Sihir Bumi]

[Tingkat Khusus]

"(Auman Es)"

*RAAWRR!*

Sang harimau melantangkan aumannya, udara dan semua yang ada di dalamnya pun seketika membeku. Naema mendadak terdiam bagai patung, tak bisa menggerakkan sesentipun anggota tubuhnya. Dan gravitasi, langsung menariknya jatuh ke bumi.

"Sial! Naema!"

Fannar sesegera mungkin membuatkan portal tepat di bawah putrinya. Di saat yang sama, ia mengarahkan pintu keluarnya ke arah langit untuk melawan percepatan yang diberikan oleh gravitasi. Naema pun tenggelam ke dalam portal itu, berhasil selamat walaupun dalam keadaan beku.

Fannar kemudian turut melompat masuk mengikuti Naema. Sementara sang harimau hanya duduk dengan tatapan yang mengancam, namun tidak mengikuti mereka masuk ke dalam portal. Dia beranggapan bahwa mata air kini sudah aman dari mereka, dan dia bisa kembali beristirahat di singgahsananya.

Dilain sisi, Fannar dan Naema berada pada tempat yang tidak mereka tahu tepatnya berada di mana. Fannar menaruh pintu keluar portal secara acak karena waktu yang ada sangatlah singkat. Fannar pun menaruh tangannya pada bongkahan es Naema, dan melelehkan efek Winozro'.

"Hewan itu... benar-benar gila!"

Dia mengalirkan sihirnya dan mentransfer efek dari Winozro' ke udara di sekitarnya. Efek dari sayangnya Ro' terlampau kuat, menjadikannya butuh waktu yang cukup lama untuk membersihkannya.

Tapi setelah sekian lama, Naema akhirnya bersih sepenuhnya, nafasnya tersengal-sengal dan wajahnya masih tampak terpukul oleh pengalaman yang baru menimpanya.

"Naema!? Kamu gak papa nak?" Nada Fannar terdengar begitu panik.

Naema mengangguk seraya berusaha mengatur pernafasannya.

Namun belum mereka sempat beristirahat, terdengar suara kencang dari arah timur. Naema tampak tidak terlalu senang melihatnya. Apapun itu, ia malas untuk pergi ke sana.

Fannar tidak tahu antara harus senang atau cemas. Kabar baiknya kini mereka tidak tersesat, di sisi lain, desa mereka mungkin sedang dalam bahaya.

"Nak."

Anak itu pun menoleh setelah Fannar memanggilnya. Fannar mengelakkan dagunya ke arah awan biru. Bersama nafas yang tersengal-sengal Naema pun berdiri, dan keduanya berjalan mengikuti awan biru tadi. Lalu setelah sekian lama, mereka pun sampai di depan pintu desa.

"Whoa... apa apaan ini!?" Tubuh Fannar bergetar luar biasa hebat.

"Aku tak pernah melihat sedemikian banyak warna di atas desa kita..." Naema takjub, tapi nalurinya membuatnya takut.

Di hadapan mereka ribuan misil sihir bertebangan di seluruh penjuru desa. Seisi penduduk desa tengah sibuk bertempur melawan para penyihir langit. Rumah-rumah hancur berantakan, api terbakar di mana-mana dan darah merah menggenang di atas putihnya salju.

Dan di tengah itu semua, mata Fannar mengerjap.

"Benar, Eira!"

Kerusuhan ini membuatnya tumbuh cemas, teringat akan sesuatu yang teramat penting. Karenanya, mereka berdua langsung bergegas kembali menuju rumah mereka. Akan tetapi para pengikut Fannar yang melihat kedatangan mereka beramai-ramai mendatangi keduanya, berharap bisa menerima kebijaksanaan dari Fannar.

"Pak Angkasa baru saja menyerang kita melalui awan biru di sana."

"Ya. Ceceunguk lemah itu… akhirnya mereka berani untuk datang kesini." Fannar menampakkan taringnya yang tergertak sembari memandangi awan biru di atas mereka.

"Maaf pak?" Dan setiap orang di sana menatapnya dengan prihatin.

Fannar kemudian menarik bahu pengikutnya itu, dan mengarahkannya pada para penyerang.

"Kamu lihat mereka? Mereka bukanlah bagian dari kita (Ilmuan Langit)."

"Ah iya... mereka adalah anak-anak hasil Lab."

"Kumpulkan semua orang di depan rumahku, aku akan menemui Eira, setelah itu kita sapu bersih mereka." Ia lanjut berjalan bersama Naema melewati para pengikutnya.

"Dimengerti pak!"

Sorakan para penduduk terdengar memanggil rekan-rekannya, satu-persatu dari mereka berkumpul di depan rumah Fannar. Sementara Fannar sendiri segera masuk ke dalam kediamannnya.

Sesampainya di dalam, Fannar langsung menarik Naema masuk dan menutup rapat-rapat pintu rumah mereka. Dia lalu melindungi seluruh sisi rumah mereka dengan perisai es.

*Tap!*

Suara langkah kaki pun memecah suasana, seseorang datang dalam keadaan siaga. Ketegangan langsung menyerang Fannar, dan dari tangannya muncul lingkaran sihir, siap untuk dilontarkan. Dan di sana, munculkah sesosok wanita dengan rambut putih panjang, yang menutupi dada dan perutnya.

Melihatnya, Fannar menghela nafas lega dan memeluk wanita itu, ia tak lain adalah Eira, ibu dari Naema.

"Kamu bikin aku takut saja." Eira berbisik di tengah pelukannya. Fannar pun menarik tubuhnya dengan kedua tangan berpangku pada bahu wanita itu.

"Ya… sekali-kali gantian gapapa lah."

"Heh!?" Jidat Eira mengkerut. "Ngomong-ngomong Naema, kamu tidak apa-apa kan?"

"Sepertinya… begitu." Naema menatapnya bingung.

"Tumben kamu ngawatirin Naema, biasanya kamu yang paling heboh kalo aku ngelarang dia berpetualang ke alam liar." Kata Fannar.

"Demi Roh Beku, pa. Kamu lupa ya kenapa kita sampai mati-matian meninggalkan kehidupan enak kita di Angkasa?" Nadanya terdengar tinggi dan wajahnya mengernyit pada Fannar.

Fannar pun terdiam sejenak.

"Ah… itu… bagaimana aku bisa lupa."

Tiba-tiba sebongkah misil es menembus jendela rumah mereka. Misil itu sangat biru dan berasap, serta di kulitnya terlihat aksara-aksara Temphusara (aksara sihir suku Es dan Api). Misil itu amatlah kuat untuk menembus perisai-perisai sihir yang dipasang oleh Fannar.

"Si keparat itu…," gumam Fannar. "Sepertinya keadaan berubah menjadi sangat berbahaya."

Fannar dan Eira saling memandang satu sama lain, keduanya lalu mengangguk serentak. Eira menarik tangan Naema dan membawanya ke suatu tempat.

"Naema, ikut kami sebentar nak."

Mereka berdua menuntun Naema ke tempat rahasia yang sudah mereka buat semenjak turun ke darat. Begitu sampai, terdengar helaan nafas yang begitu berat, mereka memandangi sebuah pintu kecil terbuat dari kayu yang amat rapuh.

Tempat itu adalah jalan keluar rahasia yang berujung pada tempat yang jauh dari desa suku Es Daratan. Semua yang ada di sana dibuat secara manual agar tidak bisa dilacak oleh kekuatan sihir. Meskipun begitu, material yang digunakan membuat energi sihir di dalamnya tidak dapat keluar.

"Naema, dengar nak, hari yang kita semua nanti-nantikan ternyata datang lebih cepat dari yang diperkirakan… jadi..." tubuh Fannar bermandikan keringat dingin.

"Kami ingin kamu untuk meninggalkan desa ini, untuk mencari sang Ardiansyah." Eira berlutut dan menggenggam kedua tangan Naema.

"Papa sama mama ikut kan?" Tanya Naema, dengan tatapan polosnya.

Eira terdiam, ia kemudian menoleh pada Fannar dengan wajah melasnya. Matanya berkaca-kaca, tapi tak ada satupun air yang turun darinya.

Fannar hanya bisa menggelengkan kepala dengan kedua tangan bersila di dadanya, ia menutupi jemarinya yang tak henti-hentinya gemetar. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, wajahnya melukiskan rasa tak teganya ketika memandang ke arah Naema.

"Papa mama mau ninggalin Naema sendirian di alam bebas? Mencari orang yang Naema bahkan tak tahu di mana? Di dunia yang bahkan kalian tak pernah izinkan Naema untuk saksikan!?" Wajah Naema terlihat begitu kecewa, air mata mulai menetes dari mata siannya.

Eira mengulurkan tangannya, mencoba menghapus air matanya, tetapi Naema menolaknya mentah-mentah.

Gadis itu berlari masuk ke dalam jalan rahasia penuh dengan tangis. Goa di sekitarnya mulai membeku oleh kesedihannya, air matanya yang menetes membentuk duri-duri es di tanah, dan seisi tempat seketika menjadi terang oleh jamur-jamur yang memancarkan cahaya melalui selimutan bongkahan es dari benda-benda yang membeku di dalam tempat itu.

Eira melihat buah hatinya pergi meninggalkannya, dadanya terasa begitu sesak, serasa begitu berat melepaskan putri satu-satunya ke dunia kejam di luar sana.

"Sudahlah dek, sudah saatnya bagi Naema untuk tumbuh dewasa, dia anak yang kuat kok," Fannar meraih bahu Eira, tangan dinginnya memberikan kenyamanan yang menenangkan istrinya. "Naema itu anak yang kuat, kamu percayakan sama Naema?"

Eira mengangguk.

Fannar menggenggam erat tangannya dengan senyuman yang tulus. Eira membalas tersenyum, ia pun berdiri dan merangkul lengan Fannar. Dari sana keduanya lalu berjalan berdampingan keluar rumah. Namun sebelum itu Fannar menghancurkan pintu jalan rahasia, menutupnya agar seakan tampak normal berada di dalam kediaman mereka.

Di depan rumah, para pengikut Fannar sudah berkumpul, masing-masing dari Mereka telah melengkapi dirinya dengan barang-barang sihir yang kuat. Tongkat-tongkat mereka begitu cerah dan dikelilingi oleh mantra-mantra yang menyala-nyala.

"Tuan dan nyonya, maaf sudah membuat kalian menunggu." Fannar berjalan di antara pengikutnya.

Ia berdiri di depan mereka, mengarah kepada para penyerang. Di atas langkahnya, ia membentangkan tangan kanannya, memunculkan cahaya biru yang terserap ke telapak tangannya, lalu dari jubahnya muncul naga es yang kemudian menjalar, melilit tangannya itu.

Sang naga lalu berubah menjadi sebatang tongkat sihir dengan intan sebagai intinya, ia dilapisi oleh kristal-kristal elemen dan dilukis dengan mantra-mantra Profisa (tingkat 9 dari 9) yang diciptakan sendiri oleh Fannar.

Matanya menyala, memancarkan cahaya layaknya rembulan, jubahnya terkibar oleh kuatnya aura sihir yang dipancarkannya, dan siapapun yang berada di dekatnya akan menemukan diri mereka terlumat oleh rasa takut akan kekuatannya.

"Sekarang, mari kita tunjukan pada bocah-bocah keparat ini, rasanya berjalan, di dalam badai es!"