Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 21 - Chapter 16: Lightning Ambush

Chapter 21 - Chapter 16: Lightning Ambush

Amartya lekas menyalakan keterampilan apinya, ujung senapannya pun seketika melebar, menjadikan moncongnya berbentuk angankan kerucut. Cahaya merah pun berputar secara spiral memasuki senapan, dengan 5 titik api muncul mengelilinginya, bagai kunang-kunang yang menyala-nyala.

Di antara seluruh seni api dengan senapan, Dakagentera merupakan yang paling banyak digunakan pada jarak dekat, karena peluru yang keluar darinya akan meledak dan tersebar ke depan. Semakin jauh dari senapan maka areanya akan semakin luas, layaknya shotgun jika kalian pernah mendengarnya.

*Tap*

Dan tiba-tiba saja, datanglah para penyihir melalui teleportasi mereka. Tapi sayangnya, lompatan mereka berujung tepat di depan senjata Amartya, yang pada saat itu telah kian inginnya melepeh api yang berkobar-kobar. Betapa kagetnya si pemantra, dan di balik pupilnya yang menyusut sempit, hadir perasaan panik yang membuat mati setiap gerik ototnya.

"Selamat tinggal..."

Tanpa basa-basi lagi, Amartya pun menembakkan senapannya, memuntahkan ledakan yang luar biasa kuat. Perluru-peluru api meledak pecah dan menyebar menabrak si pemantra. Tubuhnya terhempas jauh, terbakar oleh bara api yang disemburkan senapan Amartya. Badan dan baju penyihir Listrik itu dipenuhi lubang, meluapkan asap dari luka yang ditelannya.

Namun tentunya, ia bukanlah satu-satunya penyihir yang datang berburu, dan tekanan yang mereka rasakan setelah melihat rekan mereka melayang angankan boneka, mencuatkan kegentingan di antara mereka.

Para penyihir melompat menjauh, kian terdorong oleh kepakan sayap mereka. Dan di saat yang sama, tongkat-tongkat mereka menyala bergelimangkan cahaya ungu, penuh akan listrik yang merambat. Dalam sekejap, misil-misil yang berlumurkan petir telah merayap di udara, angankan ular yang hendak mematuk.

Naema menyaksikan bagaimana seisi pandangnya berubah penuh kilat. Maka karena itu, ia pun segera mengangkat mantap tangannya ke depan, menjelmakan hawa dingin berhembus hadapannya.

[Sihir Es]

[Tingkat Tiga]

"(Perisai Es)"

"Iskelung!"

Perisai sihir berwujudkan kristal salju lantas terbentuk dan mengembang di depan tubuh gadis itu. Tiap misil yang tergumpal ke arah mereka, seketika terpatahkan begitu saja. Melihatnya, Amartya bergegas masuk mengikuti arus berjalannya pertarungan dan melompat ke balik perisai itu, menghentikan misil-misil yang terarah kepadanya.

Di saat yang sama, ia tembakkan peluru pada orang-orang bersayap itu, hanya saja keahlian mereka untuk berpindah menggunakan blink membawa mereka mampu untuk menghindari lesat serangannya dengan bergeser secepat kedipan mata.

*Klik*

Tapi belum saja mereka sempat mendarat, suara pelatuk Amartya sudahlah melengking teramat keras, merindingkan bulu kuduk siapapun yang mendengarnya. Bunyi itu menandakan bahwa senapan yang baru saja tertembak kini sudah kembali terkokang. Dalam sekejap, senapan yang menyala-nyala, sudah kembali terarah pada musuh-musuhnya.

*Daar!*

Peluru kembali tertembak, melesat begitu kencang, menembus tubuh rentan penyihir terkiri di antara mereka. Orang-orang Angkasa pun lekas berpencar di atas kilatan petir, demi memperkecil kemungkinan regu mereka untuk tersapu bersih oleh sesuatu yang besar. Dan di saat yang sama pula, dengan membagi posisi mereka, kini tak ada celah untuk kedua bocah itu bersembunyi di balik perisai si gadis.

[Sihir Listrik]

[Tingkat 4]

"(Tombak Petir)"

"Lonjo Pracalita!"

Di atas kilatan listrik, penyihir pertama menerjang cepat ke arah Amartya. Tongkatnya kini dialiri listrik buas yang kian ganas, menjadikannya setangkai tombak petir yang luar biasa menyengat.

*Settt*

Amartya menarik kaki kirinya ke belakang, melempar senapannya berpindah tangan, seraya dengan leluasanya menghindari si penyihir dengan tombak yang hendak menusuknya. Tanpa sempat penombak petir itu sadari, tangan Amartya telah menggenggam dirinya yang kini dalam posisi menusukkan tongkatnya ke depan.

Cincin di tangan kiri Amartya seketika berubah menjadi sebilah santi, dan dengan mantapnya ia menusuk perut penyihir listrik itu, dan menyayatnya dengan pedang api yang panas.

Tapi tanpa basa-basi, penyihir kedua telah melonjakkan dirinya dengan tombak petir yang sama. Meski sayangnya untuknya, Amartya telah sadar akan kehadirannya.

"Gen!" Amartya menjentikkan jarinya, memanggil seni api tingkat 1, yang meledakkan sekepul api.

Penyihir itu pun terpental dari jalur terjangannya.

Amartya tak memberikan sedekitipun celah dan lekas melompat, melempar santinya ke tanah hingga tertancap gagangnya, lalu menggenggam erat kepala penyihir itu dengan tangan kanannya. Dengan penuh kekuatan, Amartya terjun ke bawah, menarik kepala orang itu pada santi yang sudah menunggunya kian terhunus di atas tumpukan salju.

Habislah sudah nyawa pria malang itu.

Namun tak lama, penyihir ketiga pun datang, hanya saja kali ini ia menerjang dari atas bagai meteor berselimut listrik. Amartya terpaksa melontarkan dirinya jauh, demi menghindari ledakan dan sengatan listrik yang menggelegar.

Sang petir sekali lagi memantrakan sihirnya, kilatannya merambat ke mana-mana. Cukup satu kali sodokan saja dan meriam listrik pun tertembak ke arah Amartya. Akan tetapi, sebelum ia bahkan sempat melakukannya, duri-duri es raksasa telah terlebih darhulu muncul di belakangnya.Mau tak mau ia harus melompatkan blink ke depan untuk menghindari serangan Naema.

Sayangnya Amartya tak bertele-tele ketika bertarung. Serentak setelah mendarat seusai blink, kaki pemuda Api itu sudah melayang tinggi di depan wajahnya. Dan dengan dasyat tubuh itu tertendang kembali kepada duri-duri es, menancapkannya pada benda-benda tajam lagi dingin itu.

Sementara untuk penyihir terakhir, ia kini hendak menyerang Naema, akan tetapi sabertooth terlebih dahulu menerkam dan mencabik-cabik tubuhnya.

"Hmm... ada yang aneh dengan penyerang kita, koordinasi mereka luar biasa buruk, mereka bahkan tak berbicara antara satu sama lain." Amartya berusaha menganalisa keadaan.

"Eh... Tuan Penguasa tahu dari mana mereka tak saling berbicara?" Gadis itu sedikit syok melihat Amartya dengan santainya membantai para penyihir, sementara dirinya menggigil tersengal-sengal setelah dilewati begitu banyak kilatan petir.

Pemuda itu bahkan masih terlihat sangat tenang, seakan ia tak memiliki belas kasih.

"Aku bisa melihat panas yang keluar dari mulut mereka, pola energi yang keluar ketika mereka bernafas dan berkata-kata perbedaannya akan terlihat dengan amat jelas."

"Satu-satunya kalimat yang mereka ucapkan sedari tadi hanyalah mantra-mantra sihir."

"A-Ah, begitu..." Kukatakan sekali lagi, Naema masih sedikit syok.

Amartya yang muncul di mimpi-mimpi Naema merupakan pemuda yang hangat dan baik hati, memperlakukan dirinya penuh dengan kasih sayang. Namun prajurit api yang kini berada di depannya sama sekali tak menunjukkan rasa iba pada orang-orang yang telah kehilangan nyawanya.

"Sebaiknya kita pergi sebelum keadaan menjadi semakin buruk." Tegas Amartya.

Naema mengangguk, walau sedikit grogi. Dia berjalan mundur sambil memandang dingin para penyihir yang tergeletak, hati beku suku Esnya sebenarnya juga tidak memiliki rasa kasihan kepada mereka. Akan tetapi melihat bagaimana kejinya Amartya menghabisi lawannya, membuat tubuhnya merinding.

Lalu tiba-tiba saja, salah seorang dari para penyihir mengangkat lemas tongkatnya dan menembakkan cahaya yang sangat terang ke Angkasa. Cabikan sabertooth nampaknya belum cukup untuk membunuh orang itu.

"Ma-maaf Tuan Penguasa, tapi apakah itu yang dimaksud dengan keadaan buruk?" Naema menunjuk kepada cahaya sihir itu.

"Hmm, ah... haha... itu mungkin, bakal jadi masalah yang merepotkan." Amartya terdengar lelah.

"Cepat naik ke tuan Harimau! Kita lari dari sini!"

Dengan tergesa-gesa, mereka pun bergegas melanjutkan langkah mereka menuju Umanacca. Dengan kegentingan ini, sang harimau tak lagi mementingkan kenyamanan Naema dan memfokuskan dirinya pada kecepatan.

Hal ini tentu mengganggu Naema, ditambah lagi dirinya masih terbayang akan pertempuran yang baru terterjadi. Kini gadis itu membekukan tangan dan kakinya pada sang harimau agar tetap tertempel apapun yang terjadi. Dia juga kembali menutup matanya memasrahkan segalanya pada mereka berdua.

Di sisi lain, Amartya berusaha menyamakan kecepatannya dengan sang harimau dan mengawasi bagian belakang mereka.

"Demi Mentari... tidakkah mereka datang terlalu cepat!?"

Dari kejauhan sudah terlihat puluhan pasang sayap berterbangan menuju mereka, begitu cepat dan mungkin akan mengejar Naema dan kucing buas itu.

Sang harimau dan Amartya mulai saling bertatapan, keduanya mengangguk seakan mengerti pikiran satu sama lain.

"Naema, turunlah dari tuan Harimau!" Seru Amartya. "Gantian aku yang akan membawamu." Pemuda itu dengan cepat mengulurkan tangannya.

"HAH?!" Tentu saja Naema kaget dan bingung mendengar tawarannya.

"Sudah tidak ada waktu lagi! Lihat aku dan percayalah!"

Dengan penuh keraguan, Naema mengangguk. Maka sang harimau pun berhenti, dan ia pun melelehkan es pada tangan dan kakinya. Kemudian tanpa buang-buang waktu, Amartya langsung mengangkat Naema dan menggendongnya dengan kedua tangannya.

"Kuharap kau merasa nyaman Tuan Putri, karena kita hendak menari bersama angin." Amartya menggenggam Naema dengan begitu erat. Entah mengapa, merasakan dinginnya udara membuat pemuda kian cemas.

Bahkan di keadaan genting seperti ini, Naema tak kuasa untuk mengatur rona wajahnya. Jantungnya juga berdetak begitu cepat, namun bukan akibat panik para penyihir akan menangkap mereka. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat itu hanya menyembunyikan mukanya di bahu Amartya.

Di sisi lain, Amartya dan sang harimau kembali saling berpandang mata untuk beberapa saat.

"Mohon maaf kawan, tapi memang harus begini jadinya."

Sang harimau seakan paham dengan maksud Amartya lalu berputar menghadap para Ilmuan langit dan memasang kuda-kudanya, sementara Ardiansyah kita memfokuskan tujuannya pada Umanacca dan bersiap untuk berlari.

Udara dan salju pun terhempas dan Amartya bergerak sekencang mungkin. Tapi kecepatan yang begitu ganas membuat Naema mual dan ketakutan. Ia tak kuasa mencengkram Amartya sekuat yang dia bisa, perlahan membekukan tangannya, menempelkannya pada seragam pemuda itu.

Sayangnya badan Amartya terlalu panas hingga es itu terus meleleh. Naema pun tumbuh panik dan frustasi.

"Tenanglah! Semuanya akan baik-baik saja."

Naema tetap merasa takut dan merangkul tubuh Amartya dengan kuat, selagi memejamkan matanya serapat mungkin. Bahkan Amartya sekalipun mulai merasa kedinginan karenanya, daerah di sekitar mereka juga ikut membeku karena gadis itu. Rasa cemasnya kini semakin kuat dan terus mengganggu sekelilingnya.

Dari jauh pun terdengar suara menggelegar dari Winozro, sang harimau sedang bertarung melawan para Ilmuan Langit, tetapi mereka memantrakan jaring-jaring listrik pada sang harimau, menyengat dan melumpuhkan setiap gerakannya. Kini ia tertahan di sana, sementara mereka bergerak mengejar Amartya dan Naema.

'Argh! Perasaan apa ini!? Benar-benar mengganggu! Apakah kehadiran Naema sudah mulai berefek pada kutukan sial ini?' Amartya meronta dalam hatinya, seraya mempercepat kakinya.

Meski kecepatan Amartya begitu luar biasa, terdapat satu hal yang mampu dilakukan penyihir listrik untuk menandingi pergerakannya. Mereka mampu membuat diri mereka bersatu dengan kilat.

Salah satu penyihir itu pun bergerak mengejar Amartya, gerakannya teramat cepat, hingga akhirnya dia mampu berada tepat di belakang Amartya.

"Elah!"

Amartya sadar akan ketelatannya untuk beraksi. Kini yang bisa ia lakukan hanyalah melindungi Naema dengan tubuhnya dan berharap ia masih sanggup melawan setelah menerima serangan si penyihir listrik.

*Shhhht!*

Namun tiba-tiba, penyihir itu terlempar ke belakang dengan darah mengucur dari goresan sebilah belati. Seseorang baru saja melompati Amartya dan menyayat si penyihir dengan santinya. Sosok itu pun lalu berdiri membelakangi Amartya, menghadap kepada para penyhir dengan santi dan salawaku (perisai) di tangannya.

"I Yayat U Santi!" Orang itu berteriak seraya mengangkat kedua senjatanya ke Angkasa.

Terdengarlah suara dari kerumunan di depan Amartya, meneriakkan hal yang sama. Si pemuda pun menoleh ke arah suara itu, dia tahu siapa orang-orang yang meneriakkan kalimat tersebut.

Terlihat dari kejauhan panji-panji api melambangkan dua burung suci Phoenix dan Manguni berkibar tertiup angin. Seragam merah hitam berjejer dengan pedang dan perisai panjang yang terangkat ke atas.

Mereka tak lain ialah Waraney, prajurit-prajurit api perkasa yang telah terlatih sebagai pembunuh dan pelindung kelas kakap. Beberapa dari mereka ditugaskan untuk menjaga perbatasan suku Es di Utara.

Para Waraney membangun dinding yang menjadi pembatas antara Tarauntalo-Mitralhassa dan Tarauntalo-Umanacca, di atasnya berdiri prajurit dengan senapan api yang bertugas melindungi para petarung jarak dekat.

Dengan ini, para Waraney pun mengambil alih jalannya pertempuran. Sementara Amartya dan Naema bisa bebas untuk melarikan diri menuju hutan peri melalui gerbang dinding-dinding tersebut.