Sedikit campur tangan Pohon Kehidupan tentunya memudahkan Amartya untuk menjelaskan sistem elemen Daratan kepada Naema.
"Untuk memberikan pengaruh elemen pada suatu wilayah, kaum dan penyebarnya butuh izin dari Pohon Kehidupan, dan para Ilmuan Langit jelas tidak memiliki izin tersebut."
"Ngomong-ngomong kamu tidak lupa aku punya nama kan? Kakanda Amartya!?" Naema terdengar kesal, ia mulai gusar terus dipanggil Putri Salju dan Tuan Putri.
Tawa pun seketika meledak dari mulut Amartya, "ahahaha, bukan berarti aku tak ingat dengan namamu Naema, hanya saja bagi kami putra-putri suku Api, gelar merupakan suatu kehormatan dan hal yang sangatlah penting." Pemuda itu pun mengelus-elus kepala Naema berniat menenangkan ocehan kecilnya.
"Baiklah… lalu apa mereka selalu memanggilmu, Tuan Pe-Ngu-A-Sa?" Nada Naema terkoar semakin mengancam di atas wajah penuh ronanya.
"Aku? Mereka memanggilku Tuan Muda Amartya, hanya Gabriel yang memanggilku penguasa." Dengan santai Amartya menjawab.
Pipi Naema membengkak, ia membisu dengan wajah cembetut, tangannya keras bersilang di depan badannya, benda-benda di sekitar mereka kemudian menjadi dingin dan membeku. Termasuk pohon yang menyatu dengan rumah, buah dan dedaunannya juga ikut membeku.
Akan tetapi, salah satu buah yang akhirnya sekeras batu pun terjatuh menimpa kepala Naema, hingga menimbulkan suara yang cukup lantang. Dengan segala rasa sakit, ia pun memegangi kepalanya. Air kini beranjak keluar dari mata siannya.
Amartya di sisi lain, berusaha sebisa mungkin menahan tawanya.
"Lalu bagaimana dengan 2 provinsi lainnya?" Tanya Naema seraya mengusap-usap keperihan di atas sana.
"Ratmuju misalnya?"
Mendengar nama itu, keduanya serentak terdiam hening.
"..."
Lalu tiba-tiba saja, tawa pun meledak dari mulut mereka. Pandangan setiap gadis suku Alam di sekitar sana seketika tertuju pada rumah pohon mereka berdua.
"Ahh... anak muda." Sementara di bawah sana, Zoastria menggeleng-geleng kepalanya, tersenyum kecil, memaklumi dua bocah yang kini bermalam di desanya.
Amartya dan Naema tak bisa menahan tawa memikirkan kebodohan orang-orang Langit jika mereka berani menyerang suku Cahaya dan Kegelapan.
"Tidak mungkin, tak mungkin! Ahahaha! Aku akan menari tanpa busana di bawah sinar bulan jika hal itu sampai terjadi." Amartya tak kuasa terbahak-bahak.
"Hihihi, aku berharap hal itu benar-benar jadi sebuah kenyataan."
Lalu mendadak, keduanya pun kembali terhening. Naema mulai sadar tentang kesalahan dari ucapannya.
"Ingatkan aku untuk mengencerkan kepalamu besok pagi." Suara helaan nafas Amartya terdengar begitu lantang dan jelas, membuat seisi tubuh Naema merinding.
"Ah! Bukan! Tidak! Bukan itu maksudku—"
"Cukup!" Tegas si pemuda lantang.
"Buhu…" Si gadis pun menciut karenanya.
"Seperti yang kita berdua tahu, suku Kegelapan sangatlah kuat, menyerang mereka sama saja dengan bunuh diri." Amartya berusaha kembali meluruskan topik.
"Aku dengar suku Cahaya sangat ahli dalam sihir peningkat dan pelindung."
"Sihir? Aku tak tahu apakah musik bisa disebut sihir, tidak ada yang lebih kuat dari musik di Dunia ini."
"Selebihnya, ya… dengan suku Cahaya di belakang suku Kegelapan, Ratmuju menjadi benteng tak bertembok yang setara dengan sarang Tuan Behemoth (makhluk agung penjaga Daratan). Walau sebenarnya mereka punya tembok pembatas, tapi ya kau mengerti maksudku." Lanjut Amartya.
"Berarti yang tersisa tinggal Mitralhassa." Tegas Naema.
"Benar, orang suku Tanah mungkin lebih keras dan lebih sulit untuk di tahlukkan, tetapi provinsinya lebih berbahaya untuk rakyatnya sendiri ketimbang untuk pendatang. Tidak seperti Garabandari."
"Jadi, kemungkinan besar mereka akan menyerang Mitralhassa?"
"Aku tidak begitu yakin Naema, tetapi itu pilihan teraman untuk memulai perang, mengingat banyaknya terjadi perang saudara di sana, mungkin akan mudah menggoyahkan mereka, itu pun kalau Ilmuan Langit tahu cara mengadu domba." Amartya menaruh jemari kirinya, menutupi sisi atas mulutnya.
"Ditambah lagi… letaknya yang berada di tengah Selebes, menjadikannya lokasi strategis untuk menjadi benteng penyerangan apa bila mereka berhasil mengambilnya."
Keduanya pun saling mengangguk sebagai tanda setuju. Amartya lekas mengganti Garabandari dan Ratmuju menjadi api matahari, menyisakan Mitralhassa satu-satunya yang berwarna merah.
"Sebenarnya masih ada kesempatan untuk Maksallatan dan Tarauntalo untuk kembali diserang, tapi keberadaan ayah dan nabi Fannar sudah cukup untuk menjadi alasan tak menyerang mereka, jika mereka belajar dari kesalahan tadi pagi tentunya."
"Jika perang sungguh terjadi, menurutmu, kapankah kemungkinan terdekatnya, Naema?" Tanya Amartya.
"Aku tidak begitu paham soal perang dan waktu strategisnya, tetapi yang aku tahu, Ketua Dewan yang sekarang adalah orang yang sangat mencintai kedamaian." Jawab Naema.
"Ah iya, Raja Falah. Sebenarnya agak sedikit membuatku kecewa dia menyerang suku Api, kukira hubungan kami dengan Angkasa sudah cukup baik."
"Aku juga tak mengerti, tapi dugaanku, anggota dewan lainnyalah yang berada di belakang semua ini, mereka mungkin berhasil merayu Ketua Dewan." Gadis itu terdengar ragu.
"Tujuan mereka adalah memburu kita berdua bukan menyatakan perang pada Daratan, tapi jika itu perang—"
"Pastinya Ketua Dewan tidak akan menyetujuinya." Naema dengan cepat memotong ucapan Amartya.
"Kalau begitu, akankah Ketua Dewan itu digantikan?"
"Tentunya, akan terjadi pergantian Ketua Dewan saat pergantian tahta kerajaan, dengan kata lain, anaknya akan menjadi Ketua Dewan saat Ketua Dewan yang sekarang meninggal atau menyerahkan tahtanya."
"Berarti 7 tahun dari sekarang kemungkinan akan terpilih Ketua Dewan yang menjadi boneka dalam peperangan antara Ilmuan Langit dan Penempa Bumi." Amartya menyimpulkan hasilnya.
"7 tahun? Dari mana tuan Amartya tahu?" Tanya Naema bingung.
"Ah sepertinya hanya orang terdekatnya yang mendengar tentang rahasia terbesarnya."
"Maksud tuan?"
"Seperti yang kita semua tahu, Ketua Dewan yang sekarang merupakan salah satu orang yang tersisa dari generasi pertama."
"Ya, lalu?"
"Raja Falah memiliki banyak ketakutan akan sistem pemerintahan kerajaan dan ingin mati tanpa keturunan agar sistem pemerintahan berubah menjadi republik atau demokrasi."
"Bukankah dia memiliki seorang anak perempuan?"
"Ya, di sanalah letak masalahnya, Sang Pencipta tak mengizinkannya mati hingga memiliki penerus yang sah dan telah dewasa."
"Mengapa?"
"Sepertinya Beliau memiliki rencana untuk dunia ini dan tak ingin Raja Falah mengacaukannya."
"Baiklah, bisa dipahami, lalu?"
"Dengan begitu kemungkinan Raja Falah akan mati di saat putrinya berada pada umur dewasanya yaitu 18 tahun, dan putrinya yaitu Hamsah, merupakan anak yang seumuran denganmu."
"Berarti ia juga berumur 11 tahun."
"Tepat, maka 7 tahun lagi Raja Falah akan mati dan tergantikan oleh Putri Hamsah."
"Bukankah itu waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan sebuah rencana? Kita berdua sudah dewasa pada saat itu." Tanya Naema.
"Tidak, sejujurnya, itu waktu yang sangatlah pas."
"Baiklah... jika tuan Amartya berkata demikian." Naema tampak begitu percaya pada Amartya untuk dua orang yang baru saja bertemu (di alam nyata tentunya).
"Kalau begitu, mungkin ini cukup untuk diskusi kita malam ini."
Dengan ini berakhirlah sudah perbincangan mereka kali itu, Amartya pun mematikan apinya dan membersihkan meja tersebut.
Naema lalu mengambil hidangan yang tadinya telah ia persiapkan. Makanan itu kemudian Amartya hangatkan, sementara Naema mendinginkan minumannya. Keduanya pun memakan santapan mereka, membersihkannya, lalu bergantian mandi dan bersiap untuk tidur.