"Tenang saja nona, sa tak lapar, kemari sudah, kitorang cerita sama-sama." Meski diluputi nada yang lembut, kedua mata Sarah bergema, menyala-nyala.
Sementara Naema sibuk dengan peri lautnya, Amartya menyempatkan dirinya tuk duduk bersila di ujung kapal, bermeditasi. Dia mengatur nafasnya dengan sebaik mungkin, memfokuskan pikirannya dan suhu tubuhnya, tidak ada yang tahu apa yang akan menunggu mereka ketika nanti keluar dari wilayah terlindungi suku Alam.
"Keselamatan Naema dan diriku adalah prioritas utama, jika terdesak, aku harus mengorbankan para manusia pohon dan peri laut, bahkan mungkin juga Ester." Gumam Amartya sebelum memulai meditasinya.
"Entah apa yang akan menyambut kita di luar pelindung Umanacca."
Di lain sisi, Ester tengah mengurusi para awak kapalnya, Koswara. Dia mempersenjatai mereka dengan Tumgkal, tombak-tombak bambu, dan menaruh persediaan untuk mereka disekitar tiang-tiang layar kapal. Para Koswara kecil ini dikenal dengan akurasi mereka dalam melempar tombak, mereka juga bisa bertarung pada jarak dekat dengan tumgkal jika diperlukan.
Seiring berjalannya waktu, kapal mereka semakin dekat dengan daerah perbatasan, Ester kini memasangkan perisai sihir yang akan melindungi kayu-kayu pembentuk kapal, agar tetap utuh jika pertempuran meledak di atas mereka.
*Zlub!*
Tiba-tiba saja para peri laut, termasuk Sarah dan Raina, menyelam, menghilang ke dalam gelapnya laut biru. Naema terkejut dan kebingungan, dirinya kini diselimuti firasat yang tidak nyaman. Gadis resah itu pun berjalan mendekat ke Amartya untuk mencari jawaban, apakah yang sedang terjadi?
"Mereka datang." Ucap Amartya.
Pohon besar yang tumbuh di kapal itu seketika bersinar terang, memancarkan cahaya merah muda yang membungkus para manusia pohon dan melindungi mereka. Mereka mengangkat tumgkal-tumgkal mereka dan berdiri pada tiap sisi dan sudut kapal.
Sang raksasa kayu akhirnya menembus perbatasan, dan mendadak, muncullah sayap-sayap pudar kelabu memenuhi Angkasa! Para penyihir berbondong-bondong melayang mengitari kapal, seraya membacakan mantra-mantra sihir mereka.
Naema yang melihatnya dengan kedua matanya, segera langsung mengambil inisiatif pertamanya. Ia berlari ke tengah kapal dan mengulurkan tangannya seraya menarik dingin dari udara.
"Wahai roh es, penguasa Dataran Utara"
"Dengarlah tangisan bidadari salju, ketika dirinya mengembara"
Lingkaran sihir pun bertaburan di Angkasa, para penyihir kelabu menyalakan dan memperkuat sihir mereka. Lingkaran-lingkaran sihir itu lalu dikerubungi oleh angin-angin yang lapar.
"Kuatkanlah hatinya"
"Jadikan udara yang membeku baginya perisai yang perkasa"
Naema melanjutkan mantranya, dengan tangannya yang kini terangkat, tak kuasa menggigil, ke Angkasa. Cahaya sihir pun mulai berkumpul, layaknya tertarik masuk dan terpikat olehnya.
*Shhhtufff!!!*
Para penyihir menembakkan sihir mereka, dan ribuan misil sihir bermantelkan angin-angin ganas melesat menuju kapal.
[Sihir Es]
[Tingkat 6]
"(Kastil Ratu Es)"
"Fortia Deviisfui!"
Mantra Naema selesai. Kedua tangannya saling menggenggam dan memencarkan kumpulan energi sihir ke seluruh penjuru kapal.
Sesosok wanita es raksasa menampakkan dirinya di atas kapal, mendekatkan tangannya angankan seorang peramal yang hendak memantra bola kristalnya. Bola es raksasa pun melapisi tiap sisi kapal layaknya dinding yang kokoh. Bola itu melindungi mereka dari setiap sihir udara yang berhembus ke sana, dan sang wanita es meluap pudar dari pandangan.
Setelah menerima semua lontaran sihir, bola es itu akhirnya pecah, dan semua penyihir angin berterbangan menerjang kapal mereka. Para koswara melempari mereka dengan tumgkal, kini udara dipenuhi dengan tombak-tombak yang melesat ke atas, sedikit dari mereka tertusuk dan jatuh, tenggelam di dalamnya lautan. Sementara yang lainnya berhasil memasuki daerah kapal, dengan perisai sihir ataupun menghindar dari tombak yang menghujani mereka.
"Ahahaha, kurasa hal ini memang tak lagi terelakkan..."
Pertempuran pun meledak di atas kapal, para penyihir angin menggunakan sihir mereka untuk menghempas Koswara terlempar dari kapal. Namun kebanyakan dari mereka mampu bertahan dan menerjang balik ke arah para penyihir dengan tombak mereka.
Naema melapisi ujung tombak manusia pohon dengan es yang keras dan tajam, serta melindungi mereka dengan zirah es. Sementara Amartya menembaki para penyihir yang sedang menyalakan sihir mereka, mengganggu mereka agar tak melepaskan sihir-sihir tingkat tinggi.
*Fush!*
Dari lautan pun melompat para peri laut mengantar manusia pohon kembali ke kapal, beberapa peri laut yang melompat menyempatkan diri mereka untuk menarik para penyihir masuk ke dalam lautan dan membabi buta mereka di sana.
Manusia pohon yang kembali ke kapal lantas mengambil tombak-tombak yang tadi telah disiapkan oleh Ester dan menerjang masuk kembali ke medan pertempuran.
Kericuhan medan pertempuran akhirnya membantu salah satu penyihir berhasil menyelesaikan mantra sihirnya tanpa terganggu Amartya. Ia mengumpulkan udara dari Angkasa dan menjadikannya 13 anak panah, kini masing-masing dari mereka melesat kencang menuju Amartya.
"Ah itu... sial, andai tanganku sepandai Dinendra dalam menembak."
Amartya menyadari kehadiran ke-13 anak panah tersebut tepat sebelum mereka sempat menerjang wajahnya.
Ia melompat ke kanan, ke kiri, dan menunduk, dengan lihai menghindari setiap anak panah itu. Setelahnya, dengan lega ia pun menghela nafasnya. Namun tanpa sedikitpun basa-basi salah satu anak panah itu tiba-tiba menghantam senapan Amartya dan melontarkannya ke sisi kapal.
"Apa-apaan!?" Amartya spontan menoleh ke belakang dan melihat mereka masih mengejar dirinya.
Naema pun melirikkan pandanganya pada Amartya. Dia melihat pemuda itu dikejar-kejar oleh angin yang ganas, yang tak henti-hentinya membidik dirinya bagai sebuah magnet yang berusaha melekat. Dipandang lah Angkasa olehnya, berusaha mencari penyihir yang memantrakan sihir angin tersebut.
"Ah ketemu..."
Di kejauhan dapat terlihat penyihir dengan janggut kelabu, berdiam diri di antara kerumunan awan, dia menghadap pada Amartya selagi menggerakkan tangan dan tongkatnya ke sana dan kemari layaknya seorang dalang boneka.
[Sihir Es]
[Tingkat 6]
"(Pecahan Es)"
"Cahis Tola…" Naema pun berucap sihir, sembari mengarahkan telapak tangannya pada penyihir di atas.
Lingkaran sihir terbentuk secara singkat di depan telapak tangan Naema. Keluarlah bongkahan es tajam sebesar dirinya, ia pun terpecah menjadi tujuh pecahan, yang melesat bagai peluru ke arah sang penyihir kelabu.
"Es!?"
Pria itu spontan mundur, menghindari tiap serangan Naema. Ia pun menoleh ke arah gadis itu, terlihat dirinya sedang memandang dingin ke arahnya.
Sang penyihir angin membalas sambutan dingin Naema dengan mengirimkannya 3 misil angin. Ketiganya melesat kian cepat, meluncur dari depan, kanan, kiri. Dan dalam waktu singkat, ketiganya bertepatan dengan Naema.
Tanpa sedikitpun menggerakkan tubuhnya, dalam sekejap tiga perisai es muncul mengitari Naema dan menghadang ketiga misil yang datang. Namun dengan tiap tabrakannya, masing-masing perisai hancur bersama penabraknya.
". . ."
Naema kemudian mengepal tangan kanannya ke Angkasa, dan mengarahkan telapaknya pada penyerangnya. Lalu dengan ganas gadis itu mengacungkan jempolnya ke bawah, tanpa sedikitpun rautnya berubah. Aku bisa melihat uap dingin mengepul dari tiap helaian bajunya.
"Anak kecil itu... dia pikir dia siapa!?"
Murka lah sang penyihir kelabu dibuatnya. Ia pun melesat bersama angin, menajamkan sayapnya menerjang ke arah Naema. Di atas sana, ia menyelimuti tongkatnya dengan angin ribut, lalu memegangnya dengan erat, dan menariknya mantap kebelakang.
Angin pun memperkuat sepengunjung tongkat itu. Dan kini, ia berancang-ancang untuk mengayunkannya sekencang mungkin.
Di saat yang sama, Naema merentangkan tangan kanannya dan menarik dingin dari Angkasa. Udara pun membeku menjadi serpihan es yang berkumpul menjadi sebilah pedang panjang.
Tongkat dan pedang pun terayun seirama. Keduanya bertemu dan saling beradu satu sama lain, sementara kedua ahli sihir saling menebar ketakutan melalui tatapan garang mereka. Tolakan sihir pun membelundak, dan terhempas lah mereka bersama semilir angin yang menyebar membawa dinginnya es ke seluruh penjuru kapal.
Sang penyihir kelabu yang terpukul mundur, kini terpaksa bertumpu di atas lututnya.
Sementara Naema, Masih berdiri. Dan ia pun mulai membaca mantra.
"Aku memanggilmu penjaga Utara"
Matanya membiru pekat, aura sihir melambai-lambai bergelombang dari sisi kelopaknya. Tangan kirinya menggenggam tongkat dan tangan kanannya meremas erat kepalannya.
"Bukan atas permintaan, melainkan atas perintah"
Kepalan itu pun ia tarik, bersama tiap hawa dingin yang berhembus di sana.
"Di bawah titah yang kuberikan"
Ratusan kepingan pun es terbentuk, melayang-layang mengitari tubuh gadis itu. Mereka berputar, mengarahkan ujung serpihan mereka kepada punggungnya.
"Lahaplah pria keparat di sana!"
Es-es itu serentak menyatu, mewujudkan sebuah tombak raksasa dengan rahang reptil buas sebagai matanya.
[Sihir Es]
[Tingkat 7]
"(Tombak Naga)"
"ISRAWAJA FUIRUMUKI!"
Naema... meninju udara.
Tombak itu pun melunjur, bagai naga yang lapar menerjang ke arah si penyihir kelabu. Wujud raksasa dan taring-taring beku yang terbentuk di rahangnya, tampil dengan begitu jelas di mata sang penyihir. Ia bisa merasakan ketakutan yang luar biasa merambat ke sekujur tubuhnya.
"I-ini tak baik!" Sang penyihir kelabu mendirikan badannya, bersiap menghadapi tombak yang melesat cepat ke arahnya.
Naga itu menjadi kian dekat, mulutnya sudah hampir bisa menjilat pria kelabu itu.
*Blink!*
Namun sayang, sihir itu tetap tak cukup cepat untuk menggapai penyihir angin dan blink mereka.
Sang penyihir kelabu kini berpindah ke atas tombak naga, berselancar di atas permukaan bekunya, dan berakhir mendarat dengan selamat bersama tongkatnya yang masih tergenggam.
"..." Naema membuka kepalannya dengan lebar.
Dan tombak naga itu pun menabrak dinding kapal, pecah bagai gelas yang terlempar. Akan tetapi seusainya, tiap pecahannya kini melayang, membentuk tombak-tombak kecil yang matanya menatap tajam ke arah tubuh sang penyihir kelabu.
"Matilah..." Naema pun kembali menggengam erat kepalannya.
Tiap tombak kemudian meluncur tanpa si penyihir sadari, dan masing-masing dari mereka menyayat sisi-sisi tubuhnya, merobek mereka, melukiskan seni darah pada lantai geladak kapal.
"Argh!"
Penyihir yang panik melompat tinggi ke udara, tetapi sekujur tubuhnya kini tak lagi terliputi rasa takut, melainkan amarah. Angin-angin tumbuh kian liar, meraka pun berbondong-bondong berkumpul pada tongkat si pria kelabu.
[Sihir Angin]
[Tingkat 6]
"(Hentakan Angin)"
"Alia... HAKE!"
Bagai palu berkecepatan cahaya, pria itu menghempas bebas ke bawah bersama hantaman sekeras kereta yang melintas ganas. Lantai kapal sampai rusak dibuatnya, melayangkan kayu-kayu di sana tinggi ke udara. Tapi sayang...
Palu itu tak mendarat di atas tubuh gadis yang menjadi lawannya. Tongkatnya terhenti tepat di atas perisai es yang telah melebur menjadi bubur. Dan di saat wajah pria itu tertunduk begitu dekat dengan muka Naema, mata gadis itu masih menatapnya dengan begitu dingin, tanpa sedikitpun menggerakkan otot di badannya.
Lalu tiba-tiba, Amartya muncul dari belakang sang penyihir kelabu.
Tanpa memberinya kesempatan menoleh ke belakang, Amartya menginjak betis sang penyihir kuat-kuat hingga melentinglah teriakan dari mulutnya. Pemuda itu pun meninjunya ke atas sampai tubuhnya melayang, lalu berputar di udara dan menendang punggungya hingga terpantul ke lantai kapal.
Dengan ligat ia kemudian memunculkan kembali senapannya di atas tangan kanannya dan mengayunkannya pada perut si penyihir. Ia lalu memutar kuda-kudanya, dan menebas dada lawannya. Dan terakhir, dengan kuat ia menghantam pria angin malang itu ke lantai kapal. Sebuah kombinasi yang menyakitkan jika aku boleh bilang.
Sang penyihir menggigil, kulitnya robek dan tulang belulangnya remuk. Tubuhnya terlalu sakit bahkan untuk bersuara. Sementara itu Amartya berdiri di atasnya, mencondongkan senapan pada wajahnya, kemudian mengantamkan moncongnya hingga menembus gigi-gigi si penyihir.
Pria itu... ia bisa merasakan betapa panasnya moncong senapan di dalam mulutnya.
"Aku yakin kamu setidaknya seumuran ayahku, rambut kelabu suku kalian bikin kalian tampak begitu tua..." Amartya tidak dingin layaknya Naema, namun tatapannya membara bagai gejolak api yang siap memangsa diri lawannya kapan saja.
"Bisa-bisanya dirimu mendekatkan wajah jelek itu pada seorang gadis kecil layaknya Putri Salju, kamu gak takut disangka pedofil apa?"
Cahaya oranye seketika berkilap dengan silaunya, dan Amartya pun meledakkan kepala sang penyihir dengan pelurunya.
Tapi mendadak, terbentuklah sebongkah perisai es di atas kepala Amartya. Perisai itu lalu hancur terhantam bola-bola angin, dan secara reflek Amartya pun menundukkan badannya. Melihat kejadian barusan Amartya melirik ke arah Naema, yang tengah merentangkan tangannya dengan nafas tersengal-sengal.
"..."
Keduanya hanya saling tersenyum satu sama lain, lalu kembali ke masalah yang sedang mereka hadapi saat ini. Akibat Amartya kehilangan pengawasannya, situasi medan tempur berjalan sedikit memburuk. Beberapa penyihir telah berhasil menyelesaikan mantra sihir mereka dan mulai memborbardir tiap sisi-sisi kapal.
"Demi Mentari, mereka benar-benar tak memberi kita waktu istirahat!"