Para penyihir menajamkan angin mereka dan melontarkannya pada peri-peri laut yang berlompatan. Di saat yang sama, Amartya berusaha mengurangi kerugian dari pihaknya dengan menembaki para penyihir sementara Naema kian berkali-kali membentuk perisai es guna menghentikan serangan-serangan mereka.
"Woi Ester! Sekarang bukan waktunya bermalas-malasan!" Seru Amartya dengan lantang.
Mendengarnya Ester berusaha secepat mungkin melesatkan rentetan Cageurparing, yaitu anak-anak panah yang berlumurkan getah kehidupan, guna mengobat peri-peri laut dan manusia pohon yang terluka.
Setiap tembakan, ia pecah menjadi puluhan serpih anak panah. Dan begitu tertancap, kulit yang sobek, darah yang hilang, bagian tubuh yang terlepas, kembali seperti semula angankan mereka tengah dilahirkan kembali. Sihir alam dan getah kehidupan bukanlah kekuatan yang dapat diremehkan bila bicara tentang kemampuan mengobati.
Para penyihir melihat anak panah Ester berterbangan ke mana-mana, merusak tiap usaha yang mereka berikan demi pencapaian misi mereka. Gadis tinggi itu benar-benarlah sebuah ancaman yang teramat besar. Dan demi menghentikannya, kini mereka terpaksa membuat marah udara dan mengacaukan kestabilan angin yang berlalu lalang.
"Hihihi... punten slurrr..."
Sayangnya untuk mereka, Ester telah hidup berdampingan dengan berbagai hembusan angin dari seluruh penjuru Selebes, Zoastria tidak secara acak memilihnya untuk mengawal Amartya dan Naema. Dengan kelincahan dan kemampuannya membaca lika-liku angin, membuatnya mampu bahkan untuk memanah menembus badai sekalipun.
Ah bicara apa aku. Mungkin ini terknenal konyol tapi... satu hal yang perlu kalian tahu soal para gadis Alam...
"Mereka. Tak pernah. Meleset."
"Whoa..." Naema terkesima melihat bagaimana corak-corak merah muda menghias udara, berterbangan di antara tiang-tiang layar, dan mendarat tepat di luka target mereka.
Gadis itu menjadi kian terinspirasi, ia pun turut mempertajam permainannya. Tangannya kemudian menarik serpihan es dari udara, dan menghembuskan mereka ke Angkasa.
"Ismar'!"
Hawa dingin tersebar ke Angkasa, menandai setiap penyihir angin dengan Ismar' atau 'tanda es'.
"Kakanda! Kakanda! Coba lihat ini." Naema seketika memanggil Amartya.
"Ada apa?" Pemuda itu lalu mendatanginya tanpa melepaskan matanya dari para penyihir.
"Aku mempelajari ini dari kakek generasi pertama, dia bilang ada semacam senjata yang menembak secara otomatis di Buana Yang Telah Sirna."
Naema lalu memunculkan 7 lingkaran sihir, yang darinya terbentuk 7 buah kubah es dengan meriam yang siap menembakkan bongkahan es pada siapapun yang memiliki ismar' terpasang pada diri mereka.
Pergerakan penyihir angin yang sangat cepat membuat kubah es itu tidak terlalu berpengaruh, tapi itu cukup mengganggu mereka membaca mantra, ditambah dengan para peri laut yang terus melompat ke arah mereka, memberikan para penyihir situasi di mana menggunakan sihir tingkat tinggi hampir mustahil untuk mereka.
"Wow…" Amartya kagum.
"Mereka menyebutnya Sentri Gun atau semacamnya." Kata Naema.
"Ini... seperti sekumpulan elemental dengan senapan es, hanya saja mereka tak berjalan."
"Ya, bisa dibilang seperti itu."
"Sebenarnya aku cukup bingung mengapa hanya suku Api yang menggunakan tembakan, apakah ada peraturan tidak tertulis di Dunia ini tentang senjata apa saja yang bisa dipakai tiap suku?"
"Kurasa sekarang bukan saatnya mempertanyakan hukum Dunia, kakanda..."
Meski dengan segala kekacauan ini, salah seorang penyihir Manshira (tingkat 7) berhasil memantrakan angin topan pada lautan. Angin itu mengamuk teramat dasyat, melempar para peri laut ke sana kemari dan menyayat kulit mereka. Pusaran itu cukup membuat begitu banyak peri laut terperangkap di dalam keganasannya.
"Ah sial, aku benar-benar gak dibolehin ngelepas fokus ya!?" Amartya menggerutu kesal seraya menghentakkan senapannya.
Sementara di lautan yang kian memerah, air mata mulai menetes dari wajah para peri. Melihat bagaimana saudari mereka diperlakukan sungguh bukan pemandangan yang indah.
Ikan-ikan itu kemudian beramai-ramai menyelam ke lautan dalam, membawa saudari-saudari mereka yang terluka dan meminta kesembuhan dari para dukun, ataupun berlindung di Kuil Samudra. Namun yang terpenting, beberapa dari mereka meminta pertolongan dari kerajaan Utara para duyung.
Jujur aku tak mengerti mengapa mereka tidak meminta Ester saja untuk menyembuhkan para peri itu. Padahal dari tadi mereka terus menyaksikan tubuh mereka diobati oleh getah kehidupan yang terus menancap pada tubuh mereka.
Hehe aku bercanda, tentu saja aku tahu penyebabnya.
"Ester! Mengapa kamu cengo begitu!?" Amartya bertriak pada si gadis tinggi yang mematung di hadapan topan raksasa.
"A-ah... eta—"
"Astaga Ester! Ini bukan saatnya terpesona pada sesosok angin ribut!" Amarah Amartya cukup membuatnya semakin panik.
"..."
"Kakanda, aku tak melihat satupun peri laut di permukaan!" Naema kian melihat-lihat sekeliling dari samping dinding kapal.
"Hah!? Aduh edan... asu..." Raut wajah Ester semakin memburuk, ia kian mengumpat sadar akan sesuatu.
"Ester...?"
Peri laut bukanlah manusia yang menjadi penduduk keluarga-keluarga suku di lautan. Mereka tidak cukup kuat untuk menggerakkan air secara cepat dan menggunakannya untuk melawan musuh-musuh mereka. Tetapi lagu mereka tidak menceritakan hal yang sama. Tentu saja tangis dan pengaduan mereka akan mengundang kehadiran sosok yang berkuasa.
Dewi Rara Kuning, Ratu Utara para duyung (peri laut), kini menampakkan dirinya di permukaan bersama ratusan peri laut lain yang mengawalnya. Para bangsawan duyung merupakan penyanyi ulung yang bergelar Sindhen. Suara mereka merdu mendayu-dayu, begitu halus seakan menhantui udara.
Sang Dewi bersama pengawalnya menggenggam kedua tangan mereka tepat di depan dada, lalu dengan mulusnya mengayunkan mereka bagai gelombang.
Maka berdendanglah melodi samudra, nyanyian para duyung.
Peri laut yang lain ikut memunculkan diri ke permukaan dan menggemakan suara mereka. Kapal kayu ini pun, kini penuh dikelilingi oleh peri-peri laut yang bernyanyi.
"Amartya! Naema! Cepat kumpul di tengah kapal!" Ester menjadi begitu panik, bahasa Penempanya mendadak lancar.
"Ada apa?" Tanya Amartya kebingungan.
"Aduh nya, tue aya waktu ieu! Cepat atuh kadieu!"
Amartya dan Naema tak paham akan kekhawatiran Ester, namun mereka bersicepat menuju gadis itu di tengah kapal. Para manusia pohon turut bergerak dan berkumpul mendekatkan jarak mereka.
"Naema kembali ciptakeun Fortia Devi!" Pinta Ester.
Naema turut mengangguk dan mulai membaca mantranya. Sang wanita es raksasa kembali muncul, dan dalam sekejap seisi dinding kapal kembali tertutup oleh bola es raksasa. Sementara itu Ester menaruh bususrnya di depannnya, melayangkannya, dan memutarnya secara horizontal. Busur itu lalu menggemakan cahaya merah muda di sekelilingnya.
Ester pun memejamkan matanya, menggenggam tangannya di depan dagu dan mulai menebar sihir.
[Sihir Penguat]
[Tingkat 4 Ekstensi]
"(Perkuat Perlindungan)"
"Fortia Enchantra!"
Ribuan partikel merah muda kelas tertembak dari busur Ester. Mereka berterbangan dan berpencar ke seluruh sisi bola, menabrakkan diri mereka, dan melapisi dinding-dinding itu layaknya kepingan puzzle.
Kini kastil ratu es yang sebelumnya berwarna sian, berubah merah selagi berpancarkan cahaya. Bola itu telah diperkuat oleh keeleganan sihir gadis suku Alam.
Di lain sisi, sang Dewi mendekati puncak pertama lagunya, air pun mulai meninggi layaknya akan terbentuk sebuah ombak raksasa. Lalu dengan lantang terdengarlah gemuruh menyelimuti lautan.
[Sihir Duyung]
[Tingkat 9]
"(Gelombang Kolosal)"
"Tsunami!"
Sang Dewi mengangkat kedua tangannya ke udara, dan ombak raksasa pun muncul kian tingginya, angankan awan sekalipun dicakar olehnya.
Melihat betapa megah lagi ngerinya ombak itu, Ester segera kembali memperkuat sihirnya, sementara para penyihir berkumpul dan menyatukan mantra mereka demi membuat perisai angin yang teramat besar.
Dan sebagai mana sudah tak terelakkan, Ombak perkasa itu menerjang Fortia Devi dan perisai angin para penyihir. Keduanya terguncang dasyat kian dan mengalami retakan di tiap sisinya.
Ester berusaha mati-matian untuk menjaga kastil sang ratu tetap utuh, dan di sisi lain para penyihir juga mulai menambah lapisan perisai mereka. Hantaman dari sang Dewi begitu dasyat, membuat kedua belah pihak kewalahan mengahadapinya.
"Apa kita akan baik-baik saja, kak Ester?" Tanya Naema sedikit khawatir.
"He euh... harusna nya..."
Udara seketika melengking semakin bising, terisi suara para peri yang melantangkan lagu mereka. Lautan menjadi semakin ganas, sementara Ester menjadi semakin gelisah, takut dirinya tak kuat menjaga keutuhan kastil sang ratu. Jidatnya tumbuh mengkerut seakan menggambar jelas umur aslinya.
"Kuatkanlah kami... Kalpataru."
Di lain sisi, lapisan perisai para penyihir benar-benar kacau terkikis oleh ombak. Karenanya, para penyihir tingkat atas mulai memantrakan lapisan perisai yang jauh lebih kuat di belakang barisan terdepan. Dengan adanya sistem puisi mantra, perisai itu butuh waktu untuk dapat terbentuk, sementara perisai terdepan sudah hampir tamat riwayatnya.
"Lancangnya!" Umpat sang Dewi yang sadar akan tingkah para penyihir.
Para peri laut pun menanyikan lagu mereka lebih lantang lagi. Kini Ombak kedua datang menerjang, lebih liar dan berkali-kali lipat jauh lebih kuat.
"CELAKA!"
*Klank*
Perisai pertama para penyihir pun pecah, dan penyihir di barisan terdepan habis tersapu bersih oleh ombak. Beruntung di saat yang sama, perisai kedua tekah berhasil terbentuk dan melindungi penyihir yang tersisa.
Namun di sisi lain, kastil sang ratu tumbuh semakin tidak stabil.
[Sihir Penguat]
[Tingkat 4 Ekstensi]
"(Perkuat Es)"
"Froa Enchantra!"
Mau tak mau, Naema harus ikut turun tangan dan sebanyak mungkin ia berusaha melapisi kastil dengan es yang jauh lebih tebal lagi. Naema dan Ester perlahan mulai memperbaiki tiap sisi kastil yang retak, kemudian memperkuat mereka agar mampu melawan ombak selanjutnya.
Sedangkan Amartya, dia tampak tidak begitu peduli.
"Kakanda?" Panggil Naema dengan raut khawatir.
"Ya?"
"Aku kira suku Api takut akan air, tapi kakanda nampak tenang."
"Adinda, katakanlah, apakah kamu merasa kesulitan untuk bernafas?" Tanya Amartya di atas senyumnya.
"Tidak begitu—"
Pertanyaan itu mendadak menyulut pikiran Naema, dan dengan mata terbuka lebar ia pun lekas memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Tiap sisinya begitu penuh dihuni, dan kastil ratu es juga mengunci semua jalur udara, akan tetapi tempatnya berdiri tak terasa pengap sama sekali.
Dirinya mulai tersadar bahwa kastil ini transparan, dan di dalam bersamanya terdapat banyak sekali Koswara, para manusia pohon. Mereka sudah terperangkap di dalam untuk beberapa saat, tetapi tak sedikitpun nafasnya terasa terganggu.
'Mungkinkah mereka? Berfotosintesis?' Tanya Naema dalam hati.
'Jika benar, aku ingin punya satu (manusia pohon) untuk dibawa pulang.'
Mengenyampingkan itu semua, Naema kembali menoleh pada Amartya. Dia masih mempertanyakan apa hubungannya oksigen dengan ketenangan dari kakandanya. Dan sekali lagi, pikiran kembali menyambar benak Naema. Kesadaran itu, seketika mambawa tubuhnya merinding melihat senyuman pemuda di hadapannya.
Tiap rambut di tubuhnya serentak berdiri.
"Tunggu kakanda! Kakanda tak bermaksud—"