Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 35 - Chapter 29: Third Party Dismissed

Chapter 35 - Chapter 29: Third Party Dismissed

"Begitu es ini pecah, bekukan semua yang ada di kapal ini, tanpa terkecuali." Gejolak api terlukis begitu jelas di balik seringaian pemuda itu.

"Setelah itu, pusatkan semua udara ini pada satu bola kecil!"

Apapun yang Amartya rencanakan rasanya terdengar gila. Bahkan dengan segala kepercayaan yang Naema miliki pada dirinya, hatinya tetap tak kuasa terhasut ragu. Tapi ia harus lah yakin, untuk saat ini, dan kedepannya.

Gadis itu pun menoleh ke atas, dan setelah satu helaan berat nafasnya, ia pun mulai memperhatikan tiap perubahan dan retakan pada kastil sang ratu.

"Oh, Embun. Tolong aku."

Di lain pihak, para penyihir sibuk merencanakan serangan balik, dan yang terkuat dari mereka mulai menyalakan mantra terbaiknya. Pria itu tak lain ialah salah satu kepala keluarga suku Angin, seorang Magistra, walaupun potensinya tidak sekuat Naema. Meski begitu tetaplah, siapapun yang mendapat gelar Magistra bernilai lebih berharga dari 100 personel pasukan (Ilmuan Langit). Karena sihir mereka tidak hanya kuat, tapi juga sangatlah stabil.

Dan sementara orang itu menyiapkan senjata pamungkasnya, penyihir yang lain memfokuskan perisai sihir mereka untuk melindunginya, menyisakan dua di antara para mereka untuk memantrakan enchantra layaknya yang dilakukan oleh Ester pada kastil sang ratu.

Enchantra dan enhancra merupakan sihir penguat berasal dari para gadis suku Alam, yang tentu kini telah mendunia di kalangan para penyihir. Enchantra memperkuat keterampilan atau sihir yang dikeluarkan sementara enhancra memperkuat senjata yang digunakan.

*

Sang Dewi mulai bernyanyi di atas nada yang begitu tinggi. Alunannya melengking keras, merdu kian ganas, hingga membayang-bayangi seisi lautan. Cukup dari suaranya saja, kastil ratu es terguncang penuh retak.

Mata Ester tak kuasa melebar dengan pupil yang kian menyusut, tubuhnya kian gemetar dilanda frustasi. Sementara Naema yang seharusnya membantunya, mendadak berhenti memperbaiki kastil ratu es, dan hanya memandangi retakannya. Melihat tingkah gadis itu tentu membuat Ester semakin panik.

Mendengar lancangnya gemuruh ombak dan nyanyian sang Dewi, Amartya mulai berdiri tegak, memasang kuda-kuda, dan mengatur nafasnya. Tangan kanannya mulai mengisi senapannya dengan sebuah peluru yang bercorak luar biasa merah lagi pekat.

"Meluaplah... Mentari..." Bisiknya.

Ombak ketiga pun datang, kini jauh lebih kuat dan besar dibanding dua ombak sebelumnya. Amartya kemudian menutup matanya, berusaha mendengar ombak lebih jelas selagi memanaskan bagian dalam tubuhnya.

Di saat yang sama, seisi kapal perlahan diselimuti oleh hawa dingin. Embun-embun beku turut datang mengisi tiap sisi rakitan kayu raksasa itu. Sayap Naema membalut tubuhnya bagai sebuah kepompong, menyisakan kedua matanya yang bercahaya menatap pada dinding es yang memisahkan mereka dengan bahaya di luar sana.

[Sihir Es]

[Tingkat 6]

"(Kutukan Danau Utara)"

"Isselaga... Paksina..."

Angin dingin berhembus membekukan kapal, juga Ester karena kepanikannya mengganggu konsentrasi Naema. Sementara para manusia pohon dibiarkan tetap tidak membeku demi mengumpulkan sebanyak mungkin oksigen.

*Tash!*

Tak lama hingga ombak berada tepat di atas kedua pelindung. Naema pun membekukan semua orang dan sang Magistra penyihir selesai membaca mantranya. Bagai sebuah kantung, sekujur oksigen lalu dipusatkan pada 1 bola es kecil jauh di atas kapal.

Otak Amartya tidak ikut membeku karena suhunya yang begitu panas, sehingga ia tetap tersadar saat terkena sihir Naema. Dan bersama semua itu, pemuda itu juga turut membaca mantra.

"Melebarlah..."

"Mendidihlah..."

"Dekatkan dirimu pada Mentari"

"Berlindung, dibalik rintihan api"

Ia pun memindahkan semua panas tubuh yang tadi ia siapkan ke permukaan kulitnya, membuat pecah bongkahan es yang menyelimutinya. Bersama ledakan, Amartya mengangkat senapannya dengan tangan kanannya. Cahaya merah pun berkelip ke seisi kapal, dan peluru pekat tertembak pada atapnya.

[Seni Api]

[Tingkat 3 Ekstensi]

"(Besar, Perisai Api)"

"Wakar, Gen Salawaku!"

Api seketika bergejolak di atas kapal, melahap setiap benih oksigen, membawanya melukis langit-langitnya dengan jejak api yang menjalar ke segala penjuru. Dari bahan bakar yang amat terpusat, terciptalah selempeng perisai api raksasa yang begitu panas, hingga menguapkan seluruh air yang menerjang kapal mereka.

Sementara di sisi lain, seluruh perisai sihir runtuh dan sang Magistra menembakkan sihir pamungkasnya kepada para peri laut.

[Sihir Angin]

[Tingkat 8]

"Ali Stambha Sang Bayu Sant!"

Ratusan pilar angin sekonyong-konyong muncul, berlomba-lomba mendatangkan diri mereka dari Angkasa. Keganasan mereka menabrak tubuh-tubuh rentan para peri laut, merusak keutuhan dari nyanyian dan badan mereka.

Sarah yang dilanda ketakutan pun dengan cepat meraih tangan Raina dan memantrakan sihir teleportasi ke bawah kapal demi mencari perlindungan.

"Calati Teleportia!"

Sungguh tiada ampunnya angin-angin itu. Dalam sekejap lautan disulap meledak-ledak, kian kentalnya bercorakkan warna merah. Jasad mereka yang gugur, terapung di permukaan lautan, memberikan pemandangan mengerikan bagi siapapun yang melihatnya.

"Whoa…" Hanya itulah satu-satunya kata yang mampu terucap dari mulut Amartya.

Tak lama Naema pun terbangun dari tubuh bekunya. Di sana ia menemukan Amartya terdiam kaku melihat pembantaian yang baru saja terjadi.

Hari itu, untuk pertama kalinya Naema menyaksikan betapa mengerikannya peperangan. Terkecuali untuk suku Api, generasi ketiga tidaklah hidup di masa perang, Daratan sudah jauh lebih damai ketika mereka terlahir.

Segala kematian ini membuat Naema kehilangan fokus atas sihirnya, sehingga semua yang membeku lantas terlepas dari selimut es mereka.

Sementara itu, Sarah dan Raina tampak keluar dari bawah kapal. Mereka berenang di antara jasad rekan-rekannya, menuju permukaan di sisi kapal Amartya dan Naema. Keduanya hanya bisa mematung, menggigil melihat sekeliling mereka digenangi mayat dan darah yang menggumpal.

"Raina..." Teror terlukis jelas di mata Sarah.

Dari semua peri laut yang mengawal kapal, hanya mereka berdua yang selamat dari sihir sang Magistra angin. Sisanya sudah menyatu dengan lautan dalam, atau mungkin kabur ke kuil Samudra.

Walau keduanya selamat, Naema tidak terlihat senang melihat para peri laut diperlakukan seperti ini. Dirinya mulai diselimuti oleh perasaan aneh, yang membawa naik suhu tubuhnya. Matanya bergema memancarkan cahaya, dan pipinya terhias oleh air mata yang mengkristal. 

Gadis itu terduduk lemas, dengan kaki nya menempel pada galada kapal, membeku bersama tiap lantai di sekitarnya.

Melihat kondisi mental Naema yang semakin memburuk, Amartya merasakan sesuatu menyerang hatinya.

'Naema... Apa dia bersedih lagi?'

'Mengapa tubuh ini terasa begitu tak nyaman melihat dirimu tenggelam dalam kepedihan?'

'Ah, apa ini salah satu efek dari kasih sayang?'

'Ini kah, empati?'

Amartya bisa merasakan kebencian mulai mengalir di sekujur tubuhnya, hawa panas seakan memeluknya, membisikkan perintahnya untuk membinasakan tiap penyihir di sana.

'Ayah bilang kasih sayang membantunya mengekang amarah.'

'Namun saat ini bagiku ialah yang bertindak sebagai katalis...'

Pemuda itu lalu terbangun dari kesibukan benaknya, dan mulai berbicara lantang pada gadis alam yang baru terlepas dari selimut es.

"Ester." Ucap Amartya.

"Nya, Kang?" sahut Ester.

"Tahukah kamu? Naema sudah cukup banyak meneteskan air mata di hari sebelumnya." Uap kian tebalnya mendidih dari sela-sela baju Amartya.

"Jika peri laut yang gugur pada pertempuran ini bertambah, meskipun mereka bukanlah kawanan yang memandu kita, butir-butir kristal itu akan kembali berguguran dari matanya. Kesedihan Putri Salju bukanlah hal yang baik bagi dirinya maupun kita."

Amartya menundukkan pandangannya, perasaannya bercampur antara cemas dan murka.

Ester pun melirik pada Naema yang hanya berdiam diri melihat nasib para peri laut. Hawa yang amat dingin memancar dari si gadis es, membawa rasa pedih di hatinya ke dunia luar. Ester sebenarnya juga tidak suka melihat para peri laut berguguran, kebanyakan dari mereka yang gugur adalah penduduk Umanacca yang berada di bawah asuhan para gadis Alam.

Sementara itu, Amartya mulai merasa sesuatu menendang-nendang di dalam dirinya.

*Klik!*

Sebuah kunci seakan terbuka, kekuatan yang luar biasa mulai memasuki tubuh pemuda itu. Sebagian kecil dari api neraka kini merangkak keluar dari segelnya. Dan bersamanya, amarah pun menyala semakin membara. Amartya perlahan-lahan mulai kehilangan kontrol akan emosinya.

"Terbukalah pintu kedua, dan terbentang darinya api yang menyala-nyala, di sana para pendusta meminta kesempatan kedua, hanya untuk mengulangi kesalahan yang sama, dan langit berpaling dari mereka sebagaimana mereka berpaling dari-Nya."

[Api Neraka]

[Tingkat 2]

"Menyalalah, Ladhoh!"

Uap panas berhembus kencang ke penjuru kapal juga lautan di sekelilingnya. Samudra seakan meluap, memenuhi tempat itu dengan kabut putih yang tak henti-hentinya berjalan mendekati awan.

Rambut dan mata Amartya merekah terang, melepaskan merah sepekat darah, kini menyalalah corak itu menjadi warna jingga yang berseri-seri. Api neraka yang selama ini selalu berada pada tingkat 1 dan membuat rambut serta matanya berwarna merah, kini memasuki tingkat 2. Tubuh Amartya sudah cukup kuat untuk menerima mereka, dan sekarang api yang menyala-nyala itu sudah matang, siap untuk melahap musuh-musuhnya.

"Ester, kamu pernah makan ayam atau unggas gak sebelumnya?" Amartya menatap Ester dengan mata yang menyala-nyala.

"He-henteu… aku mah… cuma ngadahar tanaman, Akang…" Ester menjadi gugup, perubahan pada Amartya mengirimkan rasa takut pada sekujur tubuhnya.

"Sungguh? Amat disayangkan..." Amartya memegang erat senapannya.

"Padahal menu kita untuk malam ini, mungkin akan dilimpahi burung panggang..."

Terlepaslah bendungan pada murkanya, meledakkan api jingga yang kini membakar seisi permukaan kapal. Amartya pun berjalan menuju inti dari arena pertempuran dengan senjata yang mengobarkan api amarah dari sekujur tubuhnya. Sementara pada punggungnya, seakan terpasang jubah api yang berkibar-berkibar.

"Kang Amartya! Tu-tunggu!" Ester kian panik dan cemas.

Mendapati panggilannya, pemuda itu menoleh pada Ester dengan kedua mata jingganya yang membarakan gejolak api. Lalu tanpa sepatah katapun, ia melanjutkan langkahnya.

Di tengah ini semua, Ester bisa merasakan hawa panas merangkak dari belakang. Begitu ia menoleh, ia menyaksikan tiap pohon yang tumbuh pada kapal mendapati dedaunan mereka bewarna sama dengan rambut anak itu.

Ester benar-benar panik tak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menghela nafas lalu mengambil busurnya, meniupkan setiap sihir enchantra yang ia tahu pada anak panahnya, kemudian menarik dan mengarahkannya pada Amartya.

"Ayah selalu bilang bahwa marahnya seorang pengemban api adalah sebuah dosa yang mematikan."

Amartya berdiri tegak di bagian tengah kapal seraya memegang bagian belakang dari senapannya.

Dengan pandangan tertunduk dilemparlah senapan itu berputar ke Angkasa, melebur menjadi logam-logam cair yang berterbangan. Di tengahnya terdapat sebongkah ratna, yang kemudian angankan tersayat angin, terbelah menjadi dua.

"Dan dosa mematikan itu lah yang membuat seorang pengemban elemen kian kuat."

Perlahan keduanya terjatuh mendekati Bumi. Amartya menyilangkan tangannya lalu menangkap keduanya. Kemudian terbentanglah kedua tangannya, dengan telapak yang terbuka lebar ke depan. Kedua pecahan ratna itu pun seketika berputar bagai beliung yang ganas, menyala bersama api merah yang menyelimuti keduanya.

"Amarah ini... HAHAHAHA... Luar biasa!"

Logam-logam yang berterbangan di udara tertarik pada keduanya dan membentuk 2 buah pistol api dengan wajah singa terukir pada moncongnya.

[Seni Api]

[Tingkat 7 Ekstensi]

"(Pusaran Api, Tembaklah, Menarilah)"

"Toragen… Tera… SARIRA!"