"Ngomong-ngomong, Naema. waktu dulu Amartya pernah menggunakan sihir cinta (spiritual) itu pada seluruh gadis suku Alam, jadi jangan heran jika sikap mereka seperti itu terhadap Amartya." Kata Zoastria.
"Tuan menyihir 1000 orang gadis untuk jatuh cinta pada tuan!?" Naema terkejut, memandang pucat pada pemuda di belakangnya.
"Bukan, lebih tepatnya jatuh cinta pada… alam ini." Zoastria meluruskan perkataanya sebelum Naema sempat membombardir bocah malang itu.
"Maksud Ibunda?" Tanya si gadis bingung.
"Persilahkan wanita tua ini untuk bercerita sedikit."
"Bahkan kata tua terlalu muda untukmu, Ibunda..."
"Amartya...!"
Dahulu, gadis suku Alam tidak rajin bekerja layaknya sekarang, mereka selalu bermalas-malasan, main-main, asal-asalan, bahkan sampai kabur dan menggoda lelaki suku Tanah dengan sihir alam dan mematahkan kekangan Pohon Kehidupan. Tetapi untungnya, itu semua berubah semenjak Hakan membawa Amartya untuk datang berkunjung ke sini.
Pada kedatangannya malam itu Zoastria tengah bercerita tentang keluh kesahnya pada Hakan. Ratu tua itu berharap gadis-gadisnya bisa lebih menggemari tugas mereka sebagai pelindung dari alam Sang Pencipta ini. Beruntungnya di saat yang sama sepasang pasutri dari Ratmuju, lelaki kegelapan dan perempuan cahaya, datang ke Umanacca untuk memberi hormat mereka pada Pohon Kehidupan.
Penduduk Ratmuju dikenal dengan kemampuan mereka dalam bermain musik, baik di medan tempur ataupun sekedar kesenangan belaka. Meskipun begitu, gaya bertarung dengan musik inilah yang justru sangat ditakuti oleh seluruh suku di Bumi. Suku Kegelapan dengan alunan nada mereka yang mematikan, maupun suku Cahaya dengan lantunan suara merdu mereka yang menguatkan.
Musik mereka juga memberi efek kuat pada emosi dan mental manusia. Musik cahaya bisa membuat seseorang bahagia, berani, tenang dan hal baik lainnya, sementara musik kegelapan mendatangkan depresi, amarah, kekecewaan dan hal buruk lainnya. Akan tetapi gabungan musik mereka dapat menghasilkan sihir terkuat dan terindah di Dunia baru ini, cinta.
*
Amartya dengan polos dan lucunya dia, mendatangi pasutri tersebut. Dengan mata besar yang berbinar-binar, dia meminta mereka untuk memainkan musik yang indah untuknya, layaknya seekor anak anjing meminta untuk diberi makan.
Kedua pribadi dewasa lagi tua itu tak kuasa ditaklukan oleh tatapannya. Mereka tak mampu menolak permintaan anak manis itu. Lagi pula tidak ada ruginya mereka menyetujui keinginannya. Akhir kata, sang pasutri mengabulkan permintaan Amartya.
Puas dengan jawaban tersebut, bocah itu segera mendatangi Zoastria dan memintanya untuk mengumpulkan seluruh gadis suku Alam di Barat Umanacca, tempat yang tak lain hanyalah padang lapang berisikan rerumputan putih, tak terhiasi apa-apa selainnya.
Zoastria bingung lalu memandang ke arah Hakan, tetapi Hakan hanya tersenyum seakan meminta Wanita itu untuk mengikuti keinginannya.
Dengan helaan nafas dalam, ia pun mengumpulkan seluruh putrinya menuju tempat yang diinginkan. Dan tentu saja mereka semua terlihat malas dan enggan menuju ke sana. Pandangan mereka bergerak tanpa arah seakan memikirkan hal lain yang tak ada hubungannya dengan semua ini.
"Gen!"
Namun Amartya dengan bangganya berjalan ke depan mereka, lantas meledakkan Angkasa untuk menarik setiap perhatian di sana. Kini pandangan mereka tertuju pada bocah kecil yang seorang diri berdiri di hadapan mereka, dengan wajah matang terangnya, yang tersinari cahaya api di bawah naungan malam, kian cerah dan hangat.
"Hai kakak-kakak semua!" Anak itu melambai-lambaikan tangan dengan senyuman lebar, menyambut para gadis yang berberat tangan bersama mata besarnya yang kini melukiskan tiap gemerlap.
Amartya yang pada saat itu masih amatlah manis dan lucu berhasil membuat mereka tertarik dan mendapatkan perhatian mereka. Beberapa dari gadis-gadis itu bahkan terlihat begitu gemas seperti ingin meremas pipi gembungnya. Tentu ini sedikit membuat Amartya merinding, tapi ia berusaha untuk tidak menghiraukannya.
"Kali ini aku akan mengadakan sedikit pertunjukan untuk kalian, lihat dengan seksama ya… selamat menikmati!" Dengan itu Amartya pun membungkukkan badannya, memberikan penghormatan.
Disampaikannyalah sinyal pada sang pasutri dari Ratmuju untuk mulai melantunkan nada.
Dari jentikan nada, instrumen musik pun dikeluarkan oleh keduanya. Wanita cahaya mengeluarkan harpa anggunnya, sedangkan pria kegelapan dengan cello gagahnya. Keduanya mulai melantunkan alunan nada pelan, manis, dan tentu saja, harmonis.
Amartya kemudian mundur sekian langkah ke belakang. Ia mengepal tangannya dan membentuk butiran api di dalam kepalan itu. Butiran api pun ia jatuhkan ke tanah, benih demi benih, yang kini mulai menyatu dengan bumi.
Lantunan merdu pun kian bernyanyi dengan irama yang menyepat secara bertahap.
Bersamanya, bocah itu menari, memainkan tangannya ke sana kemari dengan jejak api menyala melukis udara dari sela-sela jemarinya. Lalu di belakangnya, tumbuhlah serabut-serabut api yang saling melilit, hingga terbentuk satu batang pohon raksasa.
Alunan cello membimbing alur hidup sang api, dan dari pohon tersebut tumbuhlah cabang-cabang yang dari tiapnya berkecambah ranting-ranting dengan dedaunan api menghiasi setiap penghujungnya.
Pohon itu begitu besar, hingga kepalanya lebar mengatap, meneduhi para gadis. Dari sana, Amartya pun meminta mereka untuk mengitari pohon api tersebut.
*tap tap tap tap*
Lalu setelah mereka semua berkumpul di sekeliling pohon, buah-buah api mulai bermunculan di setiap petikan nada dari sang harpa. Mereka sebesar apel yang matang dan memancarkan cahaya merona kian merah mempesona.
Sang cello mendadak menyentakkan nadanya dengan cepat, dan buah-buah itu pun berjatuhan bersama tiap gesekan kecil dari bownya, lalu turunlah buah-buah itu perlahan kian apik, mengikuti iringan nada dari sang harpa. Namun, di samping cerahnya nyala mereka, tak ada api yang membakar darinya.
Yang ada hanya kehangatan yang menenangkan hati.
Begitu mencapai tanah, buah-buah pun bersinar layaknya kilauan bintang, berubah menjadi makhluk-makhluk mungil yang menggemaskan, layaknya tupai, kucing, kura-kura dan beberapa hewan lainnya.
Para gadis suku Alam tergoda akan pesona dan keanggunan gerak-gerik mereka. Walau dengan sedikit rasa takut terbakar, mereka pun mengelus para hewan api itu. Dan betapa kagetnya mereka, menemukan apa yang terasa hanyalah ketentraman di saat jemari mereka tepat bersentuhan dengan makhluk-makhluk api itu.
Tapi tentu saja, Amartya masih jauh dari selesai.
Ia menghempaskan tangannya ke Angkasa, mengayunkannya seraya menghiasi udara dengan peri-peri api. Musik beranjak meriah, kian bergelora, mengikuti bimbingan tangan bocah itu. Pohon api pun menumbuhkan tujuh cabang, yang masing-masingnya membentuk sebuah pintu api setinggi manusia dewasa.
Darinya keluar hewan-hewan yang jauh lebih besar dari sebelumnya, layaknya domba, rusa, harimau, dan hewan-hewan api yang sebaya.
Sang cello kemudian menyanyikan puluhan nada dari satu langkahnya, dan pintu-pintu itu pun lantas berubah menjadi gajah dan badak api. Mereka menari bersama dengan Amartya, bersama-sama menerangi Umanacca dengan api-api cinta yang terasa begitu hangat bagi mereka yang melihat dan menyentuhnya.
Lalu...
Musik pun melambat, melembut secara bertahap, pohon api kini ditumbuhi oleh bunga-bunga kecil di sela-sela dedaunannya. Mereka berlepas diri, berguguran, menghiasi Daratan dengan kecantikan mereka. Dan, tumbuhlah ribuan bunga api dari tempat mereka berbaring.
Namun dalam sekejap, musik hening terhenti untuk sejenak.
"Dari Mentari, dengan cinta…"
Mendadak nada-nada pun meledak! Kian megah dan gagahnya. Dedaunan api berterbangan ke Angkasa, berubah menjadi burung-burung dengan selimut mereka yang anggun nan membahana.
Sang wanita cahaya lantas menyuarakan Surga dari mulutnya, memimpin para burung mengicaukan syair-syair merdu nan agung. Terbanglah mereka, mengitari para gadis yang terperangkap di dalam gelora, bermandikan berkas dan benih cahaya, dengan sayap-sayap yang terbentang lebar, mentenggerkan karisma api di hati mereka.
Hingga...
Perlahan lantunan melodi pun mulai melembut, para flora dan fauna api berlangkah memadam dan menghilang di tengah gelapnya malam. Kini yang tersisa hanyalah sunyi dan belaian angin yang berhembus dingin.
Para gadis suku Alam terlihat murung, mereka masih menginginkan kehangatan dari para makhluk api.
"Menyenangkan bukan dikelilingi oleh mereka yang mencintaimu, namun saat mereka pergi, yang tersisa hanyalah duka belaka."
Mereka semua termenung, mereka tak mengerti ucapan Amartya namun nada yang keluar dari mulutnya seakan menusuk hati mereka. Perlahan gadis-gadis itu tersadar akan hal-hal yang selama ini telah terlewatkan karena keegoisan mereka.
"Tersenyumlah! Karena mereka akan selalu bersinar, walau bila rumah yang tersisa hanyalah hati dari gadis yang duduk di atas Paru-paru Bumi."
Dari kegelapan, peri-peri alam berbondong-bondong terbang di bawah sayap-sayap mungil mereka, melayang-layang dan menerangi muramnya malam dengan sinar mereka. Pohon Kehidupan kemudian menumbuhkan berbagai macam tumbuhan di sekitar gadis-gadisnya, berpancarona, dengan semerbak harum penuh nostalgia.
Tempat itu mendadak disulap menjadi sebuah taman berisikan ribuan bunga yang menghiasi setiap sisinya. Dan di tengahnya, tumbuh setangkai bunga matahari, dengan kelopak berwarnakan merah membara.
Air pun menetes dari mata mereka, kata maaf lantas tercurah pada Pohon Kehidupan dan Ibunda Zoastria. Dari mulut-mulut lembab mereka terucaplah janji suci untuk merawat indahnya alam sepanjang mereka masih bernafas.
Semenjak saat itu, tempat itu dinamakan sebagai Taman Matahari. Sementara para gadis suku Alam berkerja, merawat Umanacca dan alam ini, dengan senyum terpapar di wajah mereka, bersama kebahagiaan yang terlukis tebal di hati.
"Woaah… benar-benar tak disangka, kakanda." Naema kian takjub bertepuk tangan dengan meriah.
"Nampaknya kamu benar-benar sangat menikmati memanggilku kakanda, adinda." Amartya tak tahan menggoda gadis malang itu.
"Di-diam!" Ucap si gadis gagap.
"Aku berlatih tujuh tahun untuk ini..." Gumamnya pelan.
"Tapi, Naema. Ada satu hal yang tidak menyenangkan bagi si pemantra sihir ini." Sela Zoastria.
"Mereka… kebal akan sihirnya." Lanjut Amartya.
"Dan tak bisa merasakan cinta, itu sebabnya aku sebut ini sihir cinta." Lanjut Zoastria.
"Lalu? Kakanda!?" Naema terkejut.
"Kamu ingat ucapan Tiara tentang aku tidak bisa jatuh cinta? Dia tidak sedang menggodaku." Amartya.
Gadis itu tampak murung dan kecewa mendengarnya.
"Tapi entah kenapa, kamu nampaknya bisa menembus kutukan ini Naema." Lanjut Amartya.
"Hm!?" Naema menoleh.
"Mungkin kamu obat yang selama ini aku cari-cari." Amartya dengan santainya merangkul Naema. Pemuda itu bisa merasakan dirinya terefek dari hal ini, setiap kepingan puzzle perlahan mulai tertata rapi, menjawab semua pertanyaannya.
Di sisi lain Naema berusaha keras menyembunyikan wajah merahnya. Namun pikirannya kini mempertanyakan perasaan Amartya, sedangkan hatinya berusaha keras untuk percaya padanya.
"Walau sejujurnya, aku yakin kutukan ini tak ada hubungannya dengan sihir spiritual, mungkin hanyalah cara Sang Pencipta mengendalikanku bagai boneka." Gumam Amartya. "Toh! Si Tiara aman-aman aja!" Ia kemudian menunjuk dengan tajam.
"!?" Si gadis alam yang dimaksudpun melengking di balik selulingnya.
"K-Kakanda...?" Sementara itu tubuh Naema menjadi begitu panas akibat rangkulan pemuda itu.
"Baiklah! kami akan berangkat sekarang Ibunda, terima kasih atas segalanya." Amartya akhirnya melepas rangkulan itu dan Naema pun bisa kembali bernafas.
"Hati-hati di jalan ya~" Ucap Zoastria.
"Oh, dan sampaikan salamku untuk kepala suku Toksin, Viper!"
"Oke!"
"Sampai jumpa lagi, Ibunda." Naema merunduk memberi penghormatan.
"Daaah!"
Amartya dan Naema melambaikan tangan mereka.
"Daaah…" Zoastria membalas melambai.
Amartya dan Naema pun berjalan ke atas kapal dengan mata berbinar-binar.
Di belakang mereka Ester berjalan mengikuti, hendak menjalankan amanahnya. Dan di sana, gadis itu berbisik:
"Demi Kalpataru (Pohon Kehidupan)"
"Demi… Stigra Tala (Penempa Bumi)"