"Apa Tuan akan memakai panggilan itu mulai sekarang?" Naema masih tersipu malu dibuatnya.
"Kenapa tidak? Kamu yang mulai kan?" Namun Amartya membalas dengan begitu santai.
Gadis itu hanya bisa terdiam, wajahnya semakin mirip apel manguni.
Setelah sekian lama berbincang di jalan, mereka akhirnya sampai pada Pohon Kehidupan. Di sana, seperti biasanya, sang ratu, Ibunda Zoastria duduk dengan manis di atas singgahsananya.
"Wah… memang ya, jika es dekat-dekat dengan api, hasilnya akan meleleh." Zoastria tertawa kecil menggoda Naema.
Naema membalas menatap tajam, matanya berkaca-kaca seperti ingin menangis, wajahnya seakan ingin meledak, layaknya ingin berkata, "DIAM!".
Zoastria hanya bisa cekikikan.
"Ngomong-ngomong, Amartya. Aku sudah meminta gadis-gadisku untuk berkumpul seperti yang kamu minta." Ucapnya.
"Sebentar lagi kamu bisa mulai berbicara."
"Ah, terima kasih Ibunda." Balas Amartya.
*
Seperti yang dikatakan Ibunda Zoastria, para gadis suku Alam mulai berkumpul di depan Pohon Kehidupan. Tidak perlu memakan waktu banyak bagi tempat itu untuk akhirnya dipenuhi 1000 gadis. Lalu setelah semuanya hadir, Ibunda pun membuka pembicaraan.
"Terima kasih sudah datang putri-putriku sayang." Ucap Zoastria.
"Hari ini, dua tamu kecil kita, ingin mengucapkan suatu hal yang amatlah menarik untuk kalian semua."
"Hee... apa tu Ibunda?" Salah seorang gadis suku Alam menyahut penuh senda gurau dari kerumunan.
"Sabar, putriku, sebelumnya ada satu hal yang harus aku katakan pada kalian." Jawab Zoastria.
"Saudara kalian, Amartya, dan gadis yang berada disebelahnya, tak lain ialah dua orang yang dimaksud Gabriel pada pesannya."
"Whoooaaa…" Gadis-gadis suku Alam serentak menggelegarkan nada kagum. Jujur terkadang buah-buah ini bersikap layaknya bocah sekolah dasar, aku bahkan yakin mereka tak pernah diberikan sekolah sebelumnya.
"Kalau begitu haruskah kita memanggilmu Tuan Penguasa mulai sekarang, Amartya?" Sahut Ester dari kerumunan.
"Mengapa begitu?" Tanya Amartya.
"Karena kamu telah menguasai hati kami." Lanjut Ester.
"Kyaaaa!!!" para gadis melengking bersamaan.
"Apa-apaan!?" Amartya terkejut di antara kebingungan.
Demi Berlian Suci aku meringis mendengarnya. Dan mengapa Ester tiba-tiba bisa berbahasa fasih?
Sementara itu Naema kecil kian manyun dibelakang, dengan tangan bersilang di dadanya. Jidatnya mengkerut, pipinya menggembung, ia menatap cemburu tertuju tepat pada Amartya.
"Ehm! Tumbuh-tumbuhan gila!" Amartya mengembalikan fokus pembicaraan.
"Jadi, seperti yang dikatakan Ibunda ratu, aku ada permintaan khusus untuk kalian semua."
"Bilang aja atuh keinginanmu, Tuan Penguasa." Kata salah satu gadis suku Alam.
Amartya berusaha keras menahan amarahnya.
"Baiklah, layaknya yang kita semua telah ketahui (atau mungkin makhluk-makhluk sial ini tidak tahu apa-apa), Ilmuan Langit telah melakukan penyerangan pada suku Api dan suku Es."
"Oleh sebab itu, kami menghawatirkan bahwa akan terjadi perang antara Penempa Bumi dan Ilmuan Langit pada masa mendatang." Lanjutnya.
"Turut berduka cita atas kehilangan kalian berdua." Ucap gadis-gadis itu.
"Tah, ayeuna naon teh kang Amartya...?" gumam Ester.
"Aku ingin kalian membentuk pasukan khusus berjumlah sekitar 1000 orang, yang ahli dalam serangan jarak jauh." Kata Amartya.
"Naon eta teh… akang mau seisi suku Alam maju ka medan tempur?" Tanya salah satu dari mereka.
"Tidak, aku hanya butuh sekitar 16 gadis suku alam untuk bertarung di sisiku, lagi pula kalian kan tak bisa melukai manusia, benar-benar sangat menyedihkan." Amartya menggeleng-geleng kepalanya.
"Lalu, darimana akang bade ambil eta 1000 orang?"
"Di sanalah letak tugas kalian." Jawab Amartya.
"Menurut prediksi yang telah aku rundingkan dengan Naema— gadis di sebelahku, perang ini masih baru akan terjadi kurang lebih 7 tahun dari sekarang, aku yakin pohon kehidupan mampu membuat mereka setidaknya berbadan 14 tahun walau mental mereka masih bocah."
"Dan dalam kurun waktu itu aku ingin kalian membesarkan 1000 orang anak yang ahli dalam senjata jarak jauh." Lanjut Amartya.
"Tapi kang, urang teh mana bisa atuh ngelahirin anak suku Alam, dan misalpun urang melahirkan anak suku Api teh nya, tah, mana urang tahu mah cara manggunakeun senapan api." Ucap salah satu dari mereka.
"Kalian melupakan satu lagi suku yang ahli dalam senjata jarak jauh, dan lebih penting lagi, memanah."
"Suku Toksin!?" Para gadis tampak terkejut.
"Tepat sekali."
"Salah satu dari kalian akan mengantar Amartya dan Naema ke sana, serta memberikan mereka perlindungan dari bahaya di Garabandari." Ucap Zoastria.
"Dan untuk itu, aku menunjukmu, Ester! Sebagai pelindung mereka."
"Suatu kehormatan bagiku, Ibunda." Gadis tinggi itu pun membungkukkan pandangannya.
"Kalau begitu, persiapkanlah perahu menuju Garabandari, dan mintakanlah bantuan pada para manusia ikan untuk memandu mereka." Titah Zoastria.
Mendengarnya, gadis-gadis suku alam segera bergerak, berlarian berlompatan, demi menjalankan titah tersebut. Beberapa dari mereka ada yang memanggil para manusia ikan, beberapa menyiapkan kapal, dan sisanya menyiapkan persediaan yang akan diperlukan semasa perjalanan nanti.
Beberapa gadis yang bertugas menyiapkan kapal kemudian berdiri mengitari pantai seraya menghadapkan badannya ke lautan. Di sana mereka menggerakkan tangan-tangan mereka secara bersamaan sembari menyanyikan sebuah mantra.
Dari tangan mereka lalu terpancar cahaya merah muda, diiringi oleh kelopak-kelopak bunga yang berguguran ke tanah. Dari titik tempat mereka jatuh, kemudian muncul batang-batang pohon yang merambat ke lautan, beramai-ramai bersatu dengan batang pohon lainnya.
Mereka pun saling melilit dan membentuk sebuah bahtera besar yang ditumbuhi pepohonan dengan buah-buah yang matang. Kapal itu tampil begitu kuat dan gagah, layaknya siap menerjang samudra dan segala rintangannya.
Di bawahnya kemudian berkumpul para peri laut (manusia ikan) yang siap untuk mengantar mereka menuju provinsi Garabandari. Mereka adalah gadis yang cantik nan anggun, namun kuat dan ganas dalam menghadapi musuh dan mangsanya.
Tubuh atas mereka berbentuk manusia dengan rambut yang panjang berhiaskan kerang, tanaman dan bintang laut, sementara tubuh bawah mereka panjang mengekor layaknya ikan.
Lalu setelah semua jadi, terbentuklah sebuah jalan untuk Amartya dan Naema naik ke atas kapal. Jalan itu terbuat dari batang yang kokoh demi memastikan mereka tidak terjatuh ketika berjalan di atasnya.
"Sebelum pergi, bolehkah Naema bertanya sesuatu, Ibunda Zoastria." Si gadis melangkah mendatangi Ibunda.
"Boleh, sayang. Tanyakan padaku apa saja, mengenai masalah cinta juga boleh."
Gadis itu berusaha menghiraukan kalimat terakhirnya.
"Menurut Ibunda, elemen atau sihir apakah yang paling kuat di Dunia baru ini?" Naema melontarkan pertanyaannya.
"Cinta." Jawab Zoastria.
"Naema serius…" gerutunya dingin.
"Aku juga, cinta yang aku maksud adalah jenis sihir, bukan emosi."
Mendengarnya Naema pun memiringkan kepala ke kiri, tanda tidak mengerti.
"Yah sebenarnya aku tidak bisa dengan pasti mengatakan bahwa kekuatan ini bisa di sebut sihir atau bukan." Lanjut Zoastria.
Kepala gadis itu lalu termiring ke kiri.
"Aku bahkan tidak yakin kekuatan ini bernama cinta atau bukan." Ibunda tampak berputar-putar dalam pikirannya.
"…" Naema masih terdiam.
"Intinya target dari kekuatan ini bukanlah tubuh dari sasarannya, melainkan jiwa atau hati mereka."
"Terdengar mengerikan."
"Mengerikan? Tidak-tidak, kekuatan ini bukan untuk menyerang orang, sayangku cintaku manisku."
"Lalu? Bagaimana bisa dia menjadi kekuatan yang paling kuat jika dia bahkan tidak bisa menyerang?"
"Hmm... sepertinya kamu masih butuh belajar banyak soal pertempuran untuk bisa mengerti maksudku, Naema." Wanita itu tersenyum.
Naema tak menjawab, memang jika dibandingkan dengan Zoastria yang bahkan sudah hidup di dunia ini ribuan tahun sebelum generasi pertama lainnya menginjakkan kaki mereka di Selebes, ilmu Naema tak lah seberapa.
"Kekuatan yang aku sebut cinta ini punya kemampuan khusus untuk mengutuhkan hati atau jiwa seseorang." Jelas Zoastria.
"Ia menambal luka yang ada pada hati targetnya, atau mengisi bagian yang kosong dengan keberadaan si pemantranya."
"Seperti penyembuhan spiritual?" Tanya Naema.
"Bisa dibilang seperti itu, tapi karena hal ini, antara si pemantra dan yang dimantra akan terbentuk sebuah ikatan sebagai efek samping dari kekuatan ini."
"Kenapa aku tidak pernah melihat atau mendengar hal seperti ini?" Naema bingung.
"Sungguh? Mengingat kamu bersama dengan Amartya, aku terkejut kamu belum pernah melihat sihir ini."
Naema menunjuk ke arah Amartya dengan ribuan pertanyaan tertulis di wajahnya.
"Ohh... jadi kamu tidak tahu ya? Amartya merupakan salah satu orang yang bisa menggunakan sihir ini, yang lainnya adalah para penghuni Ratmuju dan Tiara yang memegang seluling bambu di sana." Zoastria mengarahkan jemarinya ke gadis dengan seluling bambu.
"Ratmuju dan seluling bambu? Apakah ini ada sangkut pautnya dengan musik?" Naema kembali bertanya.
"Tidak, ada dua cara yang menurutku bisa digunakan untuk mendapatkan sihir cinta." Ucap Zoastria.
"Bakat(?), dan menggabungkan 2 kekuatan yang saling berlawanan."
"Cahaya dan kegelapan… oh—"
Naema mengangkat jari telunjuknya dengan mulut terbuka lebar layaknya ingin lanjut berkata-kata.
"Tidak, api akan selalu menang melawan es, es menang lawan air, dan air menang melawan api," Wanita itu mensela ucapannya, sebelum ia sempat kembali bersuara.
"Ada kekuatan ke tiga di antara kalian."
Naema mengangguk tiga kali sebagai tanda mengerti. Meski wajahnya kini berlumur rasa kecewa.
"Kupu-kupu api yang kamu lihat itu adalah salah satu dari sihir yang Ibunda maksud." Amartya mendadak datang nimbrung ke pembicaraan mereka.
"Eh!? Hah!? Ahh, aku mengerti sekarang…" Gadis itu tersadar akan kehangatan yang ia rasakan saat itu.
"Tapi tidakkah sihir ini hanyalah bagian dari sihir Api?" Tanya Amartya.
"Sihir api?" Zoastria nampak bingung
"Api asmara misalnya."
"Ah kamu ini Amartya, tahu apa kamu tentang asmara?"
"Oh? Bukankah lucu mendengarnya dari seorang perawan tua yang sudah ribuan tahun lamanya."
"Heh! Aku ini tak selalu suci seperti ini asal kamu tahu, anak muda!" Itu pertama kalinya aku melihat Ibunda Zoastria naik pitam.
"Kehidupan dunia ini dan sebelumnya jangan disamakan!" Meski begitu Amartya tetap tidak berhenti mengoloknya.
Katakan saja keduanya punya hubungan yang... cukup dekat.