Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 24 - Chapter 19: Seal of Tears

Chapter 24 - Chapter 19: Seal of Tears

Ah betapa indahnya pagi ini, mentari terang menyinari Umanacca, langit cerah dihiasi awan-awan kebiruan, angin berhembus membawa kesejukkan, dan burung-burung bernyanyi dengan kicauan merdu mereka.

"Esteeer!" Amartya berteriak dari kejauhan,melambai-lambaikan tangannya, sementara Naema berjalan dengan gugup di sebelahnya.

"Pertunjukanna mantap kang Amartya."

Seorang gadis Alam yang bertubuh jauh lebih tinggi dari mereka berdua, menampakkan diri di depan gerbang desa. Wajahnya bermatakan merah muda benderang bagai kelopak ceri yang mekar, dan rambutnya seputih melati di kala semi. Sementara kulitnya putih kemerahan terkena cerahnya hari, bagai buah persik yang matang.

"Ngomong-ngomong teh, kang Amartya tumbuh enggal juga nya."

"Kalian yang tumbuh begitu lama." kata Amartya.

"Aku senang atuh ngeliat kang Amartya hehe... eta neng lucu teh saha kang?" Ester menundukkan badannya berusaha melihat Naema lebih dekat. Badan Ester yang sangat tinggi membuat Naema merasa takut dan spontan bersembunyi di belakang Amartya.

"Sial Ester! Mengapa cara bicara kalian masih saja berantakan..."

Gadis alam itu tertawa kecil.

"Hmm... bagaimana menjelaskannya ya..." Amartya menoleh ke atas dan menyilangkan tangannya.

"Anggap saja dia... kekasihku."

"Kekasih!?" Ester tersentak kaget.

"Atau mungkin, calon...? setidaknya itulah yang dikatakan Gabriel." Amartya menggaruk kepalanya.

"Ngomong-ngomong kami datang untuk mencari Ibunda Ratu."

"Ibunda Zoastria? Mangga atuh masuk, beliau teh nampakna sudah menantikan kedatangan kalian."

Ester lalu membukakan gerbang kayu dari tembok yang melindungi desa suku alam dan Pohon Kehidupan.

Setelah gerbang terbuka dapat terlihat batang raksasa dari Pohon Kehidupan yang begitu tebal dan besar, bersama rumah-rumah tempat para gadis suku Alam tinggal. Amartya dan Naema berjalan mengikuti Ester, mata gadis kecil itu menjadi liar melihat-lihat sekitar, segala hal yang ada di sana terlihat begitu baru dan indah baginya.

Di dalam desa suku Alam terdapat banyak pohon-pohon besar yang tumbuh, dan di batangnya menempel rumah-rumah pohon serta tangga yang berliku-liku, terutama pada Pohon Kehidupan. Di tanahnya akar-akar dari Pohon Kehidupan menjalar keluar masuk, mereka bahkan lebih lebar dari rumah milik suku Alam.

Gadis-gadis Alam selalu bekerja di antara rumah dan pepohonan, di antara mereka ada yang bertugas merawat tanaman, memantrakan sihir kepada mereka, memandikan hewan, membawa bahan pangan dan lain-lain, tak ada satupun dari mereka yang berdiam diri, semuanya sibuk dengan tugasnya.

"Kita sudah sampai." Ucap Ester.

"Misalna teh kalian butuh aku, aku ka depan gerbang dulu, arek main sami para bayi binatang, Daaah." Ia pun pergi sambil melambaikan tangannya.

Amartya dan Naema pun membalas melambai

"Lebih baik tak membuat Ibunda menunggu." Ucap Amartya pada Naema.

Keduanya pun berjalan ke dalam Pohon Kehidupan.

Di dalamnya terdapat seorang wanita, duduk dengan anggunnya, di atas singgahsananya. Tubuhnya tersambung dengan akar-akar dari Pohon Kehidupan, seakan ia menyatu dengannya. Keduanya pun berjalan mendekatinya.

"Senang bisa bertemu denganmu lagi Amartya." kata Zoastria.

"Suatu kehormatan bagi kami bertemu dengan anda, Ibunda." Amartya membungkukkan badannya, memberi penghormatan, Naemapun mengikuti.

"Kudengar Sang Pencipta menunjukmu menjadi penguasa Daratan, Amartya."

"Ya... nampaknya itulah yang terjadi."

"Kalau begitu, apakah nona muda disebelahmu ini Gadis yang Meninggalkan Langit?" Zoastria bertanya.

"Iya, ini Naema, Putri Salju dari Dataran Beku." Pemuda itu mengarahkan tangannya pada Naema.

"Kamu putri dari nabi Fannar? Wah, suatu kehormatan bagiku untuk bisa bertemu denganmu nona muda." Wanita itu dengan wajah lembutnya memandang ke arah Naema.

Gadis kecil kita tersentak kaget, dia memutar-memutar matanya mencari-cari ucapan yang pas, hingga akhirnya dia hanya memasang senyum manis pada Zoastria karena tak tahu harus bicara apa. Zoastria membalas tersenyum melihat tingkahnya.

"Ngomong-ngomong Ibunda ratu, bolehkah kami tinggal di sini untuk beberapa hari?" tanya Amartya.

"Tentu saja, kalian boleh tinggal selama yang kalian mau." Zoastria menepuk tangannya dua kali, dari atas tiba-tiba muncul seorang gadis menghadap pada dirinya.

"Tolong antarkan dua tamu manis kita ini ke kamarnya."

"Dengan senang hati Ibunda," kata gadis tersebut.

"Mangga atuh, liwat dieu tuan dan nona." Ia mengarahkan tangannya pada jalan keluar.

"Kamu duluan saja, masih ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan dengan Ibunda Zoastria." ucap Amartya pada Naema.

Naema mengangguk dan mengikuti gadis tadi. Setelah mereka berdua keluar dari Pohon Kehidupan, Amartya dan Zoastria pun memulai pembicaraan mereka.

"Aku tak mengerti Ibunda Ratu... dirimu yang membawa bahasamu pada gadis-gadis Alam, tapi mengapa hanya Ibunda saja yang bisa berbicara bahasa Bumi dengan benar?"

Zoastria tertawa mendengarnya.

"Ngomong-ngomong Amartya, sekarang setelah kamu bertemu dengan gadis yang ditakdirkan Sang Pencipta untukmu, apakah kamu sudah berhasil mendapatkan apa yang kamu mau?" Tanya Zoastria.

"Apa yang aku mau? Entahlah..."

"Tapi mengapa?"

"Mengapa apanya?"

"Kamu kan prajurit terlatih untuk berperang, banyak orang yang berkecimpung di bidang ini menginginkan rasa kasih sayang mereka untuk sirna, mengapa kamu justru malah menginginkannya?"

Pertanyaan Zoastria cukup sulit hingga Amartya termenung untuk beberapa saat.

"Aku malu..." Suara Amartya merendah.

"Malu?"

"Ya, aku malu menjadi satu-satunya anak yang tak mampu menyayangi kedua orangtuanya, padahal ikatan kekeluargaan begitu penting bagi suku Api."

"Aku malu pada prajuritku yang gugur, keluarga mereka menangisi kepergian mereka, sementara aku hanya mampu memberikan penghormatan akan jasa-jasa mereka, tanpa sedikit rasa sedih pada jasad yang terbaring di depanku."

"Jika saja aku punya rasa kasih sayang, orang-orang itu tak akan mati bagai pion yang kukorbankan demi kemenangan suku."

"Mereka terlahir sebagai prajurit Amartya, mereka sudah bersiap menerima kematian mereka di medan perang, mereka tahu apa yang akan mereka hadapi semenjak menginjakkan kaki di dunia militer." Zoastria berusaha menenangkan bocah di depannya.

"Dan aku iri..."

"Oh?"

"Aku iri melihat Dinendra begitu bahagia ketika menghabiskan waktunya dengan Nitara, tentu aku memiliki banyak teman, tapi aku tak pernah terlihat secerah mereka berdua."

"Tapi sekarang Naema ada di sisimu, kamu bisa mulai merasakan perasaan kedua anak itu."

"Itu... ya, mungkin itu ada benarnya..." Amartya tertunduk, wajahnya kian muram.

"Hanya saja aku tak yakin Ibunda, apakah rasa kasih sayang yang mungkin aku dapatkan ini hanya berlaku pada Naema, ataukah aku sudah memilikinya secara sempurna."

"Maksdumu nak?"

"Aku sudah bertemu dengan Ester, dirimu, dan beberapa gadis Alam serta Waraney, namun tak ada yang memberikanku perasaan aneh layaknya yang diberikan oleh Naema."

"Hmm kalau begitu..." Tiap akar-akar yang tersambung pada tubuh Zoastria seketika melepaskan dirinya, Wanita itu kemudian berdiri, menampakkan betapa tingginya tubuhnya.

"Mungkin kita bisa lakukan sedikit tes."

"Tes?" Tanya Amartya bingung.

"Diam di sana Amartya."

"Dimengerti..."

Zoastria pun berjalan ke arah Amartya, kemudian ia bertumpu pada lututnya di hadapan anak itu, dan tanpa aba-aba, mulai memeluknya hingga kepala merah itu terlelap pada dadanya.

Tiba-tiba air mengalir dari mata Amartya, kian basahnya, hingga Zoastria bisa merasakannya menembus pakaiannya.

"Bagamana? Ini adalah rasa kasih sayangku padamu."

Amartya tak menjawab, ia terjebak merasakan tangisan pertamanya semenjak ia terlahir ke Dunia ini.

"Kamu anak yang malang Amartya, mengemban begitu banyak tanggung jawab sejak dini, namun tak mampu bahkan untuk mengasihani dirimu sendiri..." Wanita itu mengelus-elus kepala anak kecil yang kini terbaring di pelukannya.

Suara tangis Amartya bisa terdengar dari sesaknya nafas yang ia hembuskan, hidungnya sibuk berusaha menarik kembali cairan yang keluar dari wajahnya. Badannya terasa begitu lemas, ia terlena bingung akan perasaan aneh yang tiba-tiba meliputi seisi tubuhnya.

Mereka berdua tetap pada posisi itu untuk waktu yang lama, hingga Amartya bisa kembali menenangkan dirinya.

"Merasa baikkan?"

Amartya mengangguk.

"Tangisanmu menandakan sekarang sudah terdapat kasih sayang pada dirimu Amartya, aku yakin sudah banyak orang yang memelukmu mengingat tubuhmu begitu hangat dan nyaman, aku tahu karena aku salah satu dari mereka, tapi ini pertama kalinya kamu merasa seperti ini bukan?"

"Ya... kurasa ini pertama kalinya..." Anak itu masih tak paham apa yang baru saja dialaminya.

"Lalu? Bagaimana? Kamu menikmati kasih sayang, Amartya?"

"Lumayan... rasanya begitu... tenang..."

Zoastria tersenyum bangga melihat perkembangan bocah kecil di hadapannya.

"Baiklah, aku yakin ada alasan lain mengapa kamu tetap tinggal di sini sementara Naema pergi mencari kamarnya." Wanita itu kembali memfokuskan topik mereka.

"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan tuan Penguasa?"

"Ah benar..." Dalam sekejap, Amartya mengembalikan fokusnya, kurasa naluri militer Amartya membuat dirinya begitu disiplin ketika membahas mengenai hal penting.

"Ibunda, apakah dirimu sudah dengar tentang penyerangan Ilmuan Langit kepada suku Api dan Es?" Raut wajah serius mereka kini memasuki pembicaraan.