Setiap tempat pasti memiliki hal-hal yang bisa kita katakan… berbahaya. Tetapi bagaimana jika tempat itu hanya diisi oleh sumber bahaya itu sendiri? Hmm, mungkin aku terlalu melebih-lebihkan.
Daratan Tenggara bukanlah daerah yang bisa dimasuki seenak hati. Bahkan jika seseorang memiliki izin untuk masuk ke sana, dia harus tetap berpikir dua kali untuk mendatangi tempat itu. Sejauh mata memandang yang bisa dilihat hanya kawah-kawah hijau muda yang memancarkan cahaya dan gas beracun. Cukup sekali hirup saja dan hanya Tuhan yang mampu menyelamatkan nyawa kita.
Sudah cukup buruk? Kita bahkan belum mulai membicarakan soal radiasi.
Radiasi yang terpancar di sana sudah langsung terbawa oleh pengaruh toksik yang disebarkan suku Toksik, dengan kata lain, setiap daerah yang menjadi bagian dari provinsi Garabandari adalah ladang radiasi tingkat tinggi yang akan membunuh pendatang tercemar secara perlahan.
Meskipun begitu, kematian bukanlah hal terburuk disini. Ada begitu banyak hal yang mampu membuat tubuh seseorang bermutasi, mulai dari tumbuhnya penyakit, cacad tubuh ataupun anggota tubuh mengalami perubahan fungsi. Jangan pernah mengharapkan hal-hal baik dari zat-zat mutagenik ini.
Sejauh ini, hanya ada satu suku asing yang bisa tahan dari daerah mematikan Garabandari. Meraka tak lain ialah gadis-gadis dengan getah Pohon Kehidupan mengalir di darahnya. Atau mungkin, getah itu sendirilah yang menjadi darah mereka…
*
"Hmm... rumah dengan pintu merah biru katanya," Amartya berjalan di antara pemukiman suku Alam sehabis ia berbincang dengan Zoastria.
"Ah, itu dia."
Sampailah anak itu di rumah pohon yang telah disediakan untuk dirinya dan Naema. Dari dalamnya tampak berpancar berkas-berkas cahaya, menandakan adanya aktifitas di dalam rumah. Dan kini setelah yakin, ia pun berjalan ke arahnya dan hendak memasukinya lewat pintu depan.
"Aku... aku pulang? Kurasa..." Raut wajahnya berubah bingung.
"Ah, selamat datang." Sahut Naema menyambutnya.
Si gadis es pun keluar dari sebuah ruangan dengan pakaian yang telah terganti, tubuhnya terbungkus celemek dengan spatula tergenggam pada tangannya. Seisi rumah sudah bersih dan tertata rapih, terlebih lagi, terasa amat nyaman dan sejuk. Amartya terhening sejenak, ia memuyu-muyu matanya lalu melihat ke arah Naema untuk memastikan kebenaran dari apa yang ia lihat.
"Sepertinya aku terlalu lelah hingga melihat hal-hal aneh." Anak tersesat itu memegangi kepalanya.
"Kalau begitu berbaringlah aku sudah menyiapkan kasur untukmu tidur." Naema pun kembali ke ruang tadi untuk melanjutkan aktifitasnya.
"Tu-tunggu sebentar, nona muda!" Panggil Amartya, suaranya hampir meledak.
"Hmm?" Saut Naema.
"Pakaian itu, dari mana dikau dapatkan?"
"Ini? aku selalu membawanya kemana-mana."
"Sejak kapan!? Terakhir aku lihat satu-satunya barang yang kau bawa hanyalah gaun yang sudah tak lagi membungkus tubuhmu."
"Sejak aku bisa membuat dimensiku sendiri." Naema pun dengan santainya menjentikkan jemarinya, dan terbukalah sebuah portal tempat dia menyimpan barang-barangnya.
"Kira-kira... saat berumur 8 tahun." Lanjutnya.
Amartya kembali terdiam, bingung dan iri pada saat yang bersamaan. Ia mengangkat telunjuknya seakan ingin mengucapkan sesuatu, tapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dia lalu menghela berat nafasnya.
"Ah, sepertinya aku belum bercerita padamu, tetapi aku tahu hari ini akan datang dari semenjak masih kecil..." Naema lanjut berbicara. "Ya... jauh lebih kecil dari sekarang."
"Maksudmu bahwa suatu hari kita akan tamasya di sebuah rumah pohon suku Alam? Kamu bahkan tak tahu seperti apa provinsi ini."
Naema mematung, ia terlihat seakan-akan ingin menepuk jidatnya.
"O… ke…, lebih tepatnya kalau kita akan tinggal di bawah atap yang sama." Jawab Naema.
"Aku tahu bahwa kita— aku dan Tuan Amartya, kelak akan… bersama suatu saat nanti."
Amartya pun menyilangkan tangan, "Salah satu wahyu dari nabi Fannar?"
"Iya." Angguk Naema dua kali.
"Sejak saat itu mama mulai mengajariku banyak hal agar bisa menjadi yang terbaik untuk... Sang Penguasa." Pipi gadis itu perlahan memerah, ia sadar betapa memalukannya berkata demikian.
"Oh, Gabriel juga kadang datang ke mimpiku bersama bayangan dirimu."
"Aku tak mengerti lagi apa yang direncanakan Sang Pencipta untukku, untuk kita." Amartya menggeleng-geleng kepalanya.
"Setidaknya aku harus bersyukur dia menganugrahkan dirimu padaku."
Naema seakan ingin melepuh mendenganrnya. Segera ia alihkan pandangannya, seraya bermain-main dengan rambut siannya. Meskipun sudah bertemu dengan Amartya beberapa kali di mimpinya, dia masih belum mampu terbiasa dengan sikapnya yang selalu semaunya sendiri.
"Ngomong-ngomong ada sesuatu yang ingin aku bicarakan." Nada bicara yang Amartya keluarkan, seketika mengubah atmosfir ruangan menjadi serius.
Naema tersentak panik. Ia pun dengan keras menepuk pipi dengan kedua tangannya, berusaha untuk fokus dan bersiap mendengarkan apa yang akan diucapkan Amartya.
"Sebelumnya... ehm!" Amartya dibuat bingung tingkah lakunya. " Sebelumnya apa kamu mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia Ilmuan Langit?"
"Dalam hal?" balas Naema.
"Semuanya..."
"Hmm, bisa dibilang begitu"
"Baiklah kalau begitu."
Amartya lalu membuat papan yang terbuat dari api dan melayangkannya di atas meja makan, kemudian di atasnya terbentuk pulau selebes dari api semerah mawar.
Naema terlihat tidak nyaman dengan kehadiran papan api di tengah-tengah mereka, dia mulai menghembuskan angin dingin ke sekujur tubuhnya karena takut terbakar.
"Oh apakah ini menganggumu? Tenang aku bisa mengatasinya."
Dengan menggunakan seni api, Amartya lekas menurunkan suhu api tersebut. Kini api itu menjadi cukup dingin bahkan untuk disentuh, walau ia tetap memancarkan sinar yang cukup terang. Naema mulai tenang karenanya lalu berjalan mendekati papan api. Walaupun wujud apinya masih membuatnya sedikit takut.
"Baiklah aku ingin kamu membekukan bagian sini dan sini." Amartya menunjuk Maksallatan (provinsi Api) dan Tarauntalo (provinsi Es).
Naema lalu menggantikan api dari daerah yang dimaksud dengan es. Setelah itu Amartya mengubah api pada Umanacca dengan api matahari yang berwarna kekuningan.
"Seperti yang kita tahu, daerah yang kamu bekukan adalah provinsi yang sudah mendapat serangan dari pasukan Ilmuan Langit, dan jika firasatku benar, mereka kalah telak di keduanya," jelas Amartya.
"Aku mungkin belum memberitahumu bahwa suku Api telah diserang, tapi aku yakin kamu cukup pintar untuk menyadarinya."
Naema mengangguk menanggapinya.
"Lalu daerah yang berwarna kuning adalah provinsi yang tidak mungkin diserang oleh Ilmuan Langit." Lanjut Amartya akan penjelasannya.
"Umanacca dilindungi oleh perjanjian Pohon Kehidupan, benar begitu?" Tanya Naema.
"Ya, dan sekarang, kita akan menentukan daerah mana yang akan mereka serang jika terjadi peperangan."
Naema pun memperhatikan sisa daerah yang masih terlukis dengan api merah, ketiganya memiliki keunggulan masing-masing dan merupakan daerah yang jauh lebih sulit diruntuhkan dibanding Tarauntalo dan Maksallatan.
"Suku Toksin di Garabandari… suku Cahaya dan Kegelapan di Ratmuju… dan suku Tanah di Mitralhassa." Gumam Naema.
"Tepat!" Sahut Amartya.
"Kita mulai dari suku Toksin, bagaimana pendapatmu?"
"Hmm, menurutku kemungkinannya akan sangat kecil."
"Jika aku boleh tahu, adakah alasan untukmu berpendapat demikian, Tuan Putri?" Nada bicara yang dilantunkan Amartya seakan-akan menguji pemahaman Naema.
"Garabandari, daerah tersebut terlalu berbahaya bagi orang-orang Ilmuan Langit, Tuan Amartya pahamkan apa yang aku maksud?" Gadis itu menatap pada Amartya.
"Tentu saja."
"Tapi… bisakah mereka menyebarkan pengaruh elemen langit untuk menetralkan racun disana?" Tanya Naema, dan jujur itu pertanyaan yang cukup bagus.
Beruntungnya Pohon Kehidupan mendengar pertanyaan Naema. Beliau lalu menjalarkan akarnya ke rumah pohon mereka, dan melilit pada kaki meja yang sedang mereka gunakan.
Seketika muncullah kunang-kunang yang berlimang cahaya di atas miniatur selebes tersebut, masing-masing daerah kini terhiasi warna dari elemen mereka. Melihatnya, Amartya pun tersenyum puas.
"Seperti apa yang Kalpataru tunjukkan, jawabannya adalah tidak, Tuan Putri." Jawab Amartya.