Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 20 - Chapter 15: The Start of Our Journey

Chapter 20 - Chapter 15: The Start of Our Journey

Naema menggelengkan kepalanya, mulutnya terbuka lebar, sudah tidak ada lagi kata yang tersisa untuknya ucapkan. Yang tertinggal hanyalah rasa kagum dan bingung akan segala hal yang terjadi, ditambah… sedikit takut karena hewan yang sama baru saja mengejarnya kemarin hari.

"Kamu nunggu apa lagi? Ayo-ayo! Cepat naik!" Suara Amartya menyentak Naema bangun dari dunia kecilnya.

Mau bagaimanapun, si gadis tak kuasa ciut di hadapan sabertooth. Namun dengan langkah-langkah ngerinya, Naema tetap memaksakan dirinya, tak mau mengecewakan sang penguasa yang telah jauh-jauh datang kemari. Tubuhnya tak kuasa gemetar menghadapi ketakutannya. Siapa sangka ia harus menaiki hewan yang baru saja hampir merenggut nyawanya.

Ada dua kemungkinan mengapa sabertooth bersikap baik kepada Amartya. Pertama, karena dia satu kaum dengan mereka yang menjaga mata air Wasal, yaitu prajurit suku Api yang mengawasi perbatasan antara Tarauntalo dengan provinsi lainnya—para Waraney yang telah diberi tugas khusus oleh Hakan. Sementara yang kedua... kurasa kalian akan lebih memahaminya seiring kisah ini berjalan.

Butuh waktu sedikit lama bagi sang harimau untuk mengetahui bahwa Amartya berasal dari suku api, karena warna matanya yang berwarna merah, sementara saudara-saudarinya bercorakkan kuning oranye.

Untuk memudahkan dirinya, Naema membentuk anak-anak tangga terbuat dari bongkahan es. Karena sayangnya, punggung kucing besar itu terlalu tinggi untuk dinaikinya.

Alternatif lainnya ialah dengan mengepakkan sayapnya. Akan terbang ke atasnya lebih memakan energi sihir ketimbang sekedar membuat tangga.

"Merasa nyaman di atas sana, Tuan Putri?" Jidat Amartya mengkerut memperhatikan posisi duduk si gadis yang tampak teramat canggung.

Naema mengangguk dua kali. Namun gemetar di bibirnya cukup menjelaskan segala kecemasannya. Terlebih, dia terpaksa harus duduk miring karena rok yang ia kenakan.

Amartya tersenyum sendiri melihat bagaimana Naema berusaha menunggangi sang harimau, ada perasaan bangga dari melihat gadis itu berusaha menghadapi rasa takutnya, atau mungkin ia hanya menikmati kejahilannya… ya, kurasa yang terakhir lebih tepat.

Kini setelah semua aman, bocah itu pun mendekati wajah sabertooth dan mengelus lembut lehernya berambut lebatnya. Ia lalu menatap mata hewan buas itu seraya pelan berkata:

"Berjanjilah padaku, kalau kau akan menjaganya dengan nyawamu."

Sang harimau pun membalas tatapannya.

"Aku tahu, aku mulai bisa merasakannya. Gadis ini… iya, pasti dia. Pasti dia adalah kunci dari segala permasalahan di jiwaku." Amartya meraba dada, merasakan debar jantungnya yang perlahan menyepat.

Sabertooth pun mendekatkan, mengusapkan kepalanya seraya mendengkur layaknya kucing jinak. Amartya membiarkannya tanpa mengerti apa yang tengah dilakukannya. Tapi ia yakin, ini bukan hal buruk.

Amartya lalu memberi isyarat kepada sang harimau untuk segera bersiap-siap, sudah saatnya mereka berangkat. Di saat yang sama, ia mulai menaikkan suhu tubuhnya yang kini telah berasap, mengepul dari sela-sela bajunya. Salju tempat dia berpijak bahkan turut mencair, dapat terlihat udara disekitarnya bersatu bersama uap panas yang menyelimutinya.

"Sudah siap, Tuan Putri?" Tanya Amartya, memastikan.

Gadis itu mengangguk, walau kegelisahan di wajahnya nampak begitu jelas.

"Baiklah, sekarang pegang erat-erat teman besarmu. Soalnya perjalanan kita kalian ini akan… sedikit berbatu, hehe. Jika kamu paham maksudku."

Seketika angin berganti haluan, dan butir-butiran embun pun seakan berhenti, kini melayang-layang. Amartya seketika melesat alangkah peluru, mengubah udara di sekitarnya menjadi uap yang amat panas. Di belakangnya berterbangan cahaya-cahaya merah kecil, dengan tujuan memberikan jejak untuk diikuti sang harimau.

Naema tak kuasa terkejut. Kecepatan Amartya membuat atmosfer di sekitarnya mengganas. Kewas-wasan yang luar biasa langsung menariknya memeluk leher sang harimau dengan amat erat. Akan tetapi, pada saat itu pula, hewan buas itu ikut berlari megejar Amartya dengan kecepatan penuh.

Sungguh cepat, sungguh mengerikan. Si gadis tak kuasa menutup erat matanya, berharap semuanya akan berjalan baik-baik saja. Pengalaman-pengalaman baru ini membuatnya takut, tubuhnya tiada hentinya bergetar, dan suara-suara kecil pun bermunculan dari mulutnya, seakan berdoa untuk keselamatan.

Namun di tengah suasana pikirannya yang kacau, tanpa ia sadari mereka sudah berjalan selama kurang lebih 20 menit. Sang harimau nampaknya juga sudah bisa mengatur gerakkan tubuhnya agar memberi kenyamanan pada Naema, walau ia masih termakan rasa takut dan menutup erat matanya.

Lalu, "Hei, buka matamu, Putri Salju." Terdengarlah secercah suara berhembus tulus dari arah samping.

Ada sesuatu yang terasa begitu tenang dari untaian kata itu, yang mendorongnya memberanikan diri untuk melihat sosok yang kini berada di dekatnya. Tampaklah di sana Amartya yang tengah berlari menyamai kecepatan sang harimau. Tubuhnya tampak begitu santai, meski bergerak lebih cepat dari angin yang bertiup kencang. Pemuda itu menyapakan senyum hangat, berharap mampu menenangkan si Putri Salju.

Naema yang bingung akan kehadirannya pun melihat ke arah depan. Di sana terpampang jelas semua cahaya merah tadi telah membentuk jalur yang jelas menuju ke Umanacca. Gadis itu lalu memutarkan pandangannya ke belakang, dan butir-butir cahaya itu hilang setelah melewati mereka.

"Sekarang teman besar kita hanya perlu mengikuti jejak yang kutinggalkan." Jelas Amartya. "Oh, iya. Aku agak khawatir dengan keadaanmu jadi aku kembali ke sini."

Diliputi malu bercampur takut, Naema pun memalingkan diri demi menyembunyikan wajah merahnya. Meski telah lama bermimpi, ia masih belom bisa terbiasa dengan Amartya di dunia nyata. Selama ini yang dia pelajari hanya agar bisa menjadi yang terbaik untuk sang Penguasa, melihat afeksi yang diberikan pemuda itu terhadap dirinya memberikan kehangatan aneh yang mulai melelehkan bongkahan es kecil di dalam hatinya. Amartya dengan kecacatan yang dideritanya tentu sedikit bingung melihat sikap aneh Naema. Namun satu hal yang ia tahu, ia menikmati apa yang ia lihat.

*Grab*

Tiba-tiba saja, dengan kasar dan mendadak, Amartya menahan gerak sang harimau. Akibatnya, Naema dan kucing itu pun tersungkal di atas tumpukan salju. Lalu, seketika jatuh sebongkah meteor listrik dari langit mendarat tepat di depan mereka.

"Celaka! Akan amat berbahaya bila kita tetap di sini, Tuan Putri!" Amartya segera membantu Naema bangun dan menuntunnya pergi dari sana.

Tak lama kemudian, terlihatlah dari kejauhan pasang-pasang sayap yang kian terbentang di Angkasa. Dan masing-masing dari mereka membawa tongkat sihir sepanjang tombak.

Keadaan ini tak baik bagi mereka bertiga. Instingnya membuat sang harimau mengarahkan badannya pada para Ilmuan Langit, ia menarik nafas dalam-dalam dan mengaum sekencang mungkin. Winozro' pun menggelegar dan mengenai para penyihir. Akan tetapi beberapa dari mereka berhasil menghindar dengan bantuan dari blink.

"Ah... ini bisa jadi merepotkan."

Blink adalah sihir langit untuk berpindah tempat secara instan, secepat kedipan mata. Meskipun merupakan sihir tingkat 4, seorang penyihir setidaknya harus mencapai tingkat Wizzura (tingkat 5) untuk bisa mempelajari sihir ini, tetapi biasanya pada tingkat Shamna (tingkat 6) baru seorang penyihir berhasil menguasainya dengan baik.

Menyadari beberapa penyihir menggunakan blink, di tengah pelariannya Naema dapat menduga bahwa mereka setidaknya penyihir menengah ke atas. Lalu masih dengan kakinya bergerak, gadis itu pun mengayunkan tangan kanannya ke kanan, membuka telapak tangannya dan mengucapkan sebuah mantra.

Tangannya pun bergetar hebat, dan darinya muncul cahaya sian yang menyerap dingin di sekitarnya. Seketika muncullah tongkat es miliknya, ia pun meraihnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Biarlah udara, memeluk dingin"

"Di pangkuan pemilik saju, dengan hembusan kekuatan"

"Kokoh dan perkasa, layaknya dinding-dinding nan suci"

"Tegakkan dirimu, benteng pencakar Angkasa!"

[Sihir Es]

[Tingkat 5]

"(Benteng Salju)"

"Fortia Warrisfui!"

Suara Naema bergema, dan tongkatnya pun menghentak bumi. Kakinya berhenti belari, dan udara di sekitar para penyihir pun mulai membeku dan dipenuhi kabut.

Salju yang berjatuhan seketika begantian membentuk kristal, saling menumpuk pada satu sama lain. Dinding es pun muncul dari hawa dingin, mengepung para penyihir dengan melingkar. Dinding itu amatlah tinggi dan tebal, menjadi penghalang di antara mereka dan Naema.

"Woah! Tak kusangka dirimu akan memantrakan sebuah sihir, tapi saat ini kita harus kembali berlari!"

Mendengar Amartya, si gadis pun mengangguk dan turut mengikuti.

Di tengah kesempatan ini mereka bertiga berupaya kabur dari penyihir-penyihir yang datang mengerjar.

Bentar deh, mau tahu gak? Aku tuh sempat membaca soal kemampuan 'blink' di fantasi dunia kalian. Tapi tidak, sihir blink di dunia baru ini tidak memiliki kemampuan untuk menembus suatu halangan, namun lebih seperti melangkah secepat kedipan mata.

Para penyihir di dalam dinding segera berusaha terbang ke atas untuk melewati apa yang menghalangi mereka. Akan tetapi ketika salah seorang dari mereka memunculkan kepalanya, mengintip dari puncak, saat itu juga ia terjatuh ke dasar dinding.

Sebuah peluru api menembus dahinya, meninggalkan lubang luka bakar yang begitu panas.

Di tengah pelariannya bersama Naema dan sabertooth, Amartya terus membidik ke arah Fortia Warr, memastikan para penyihir tidak keluar dengan selamat, atau setidaknya mereka tidak akan mengejar mereka bertiga.

Fortia Warr tidaklah hanya terdiri dari dinding salju yang tebal, tetapi juga perisai sihir dengan ketahanan teramat tinggi, para penyihir mengetahui ini dan mencari cara yang lebih cepat ketimbang berusaha menghancurkannya.

[Sihir Langit]

[Tingkat 4 Ekstensi]

"(Sihir Teleportasi)"

"Calati Teleportia..."

Salah seorang dari mereka mulai memantrakan sihir teleportasi, dan rekan-rekannya turut mendekatkan diri ke atap dinding untuk bersiap menerjang keluar sesaat penyihir teleport itu menarik perhatian Amartya. Dan setelah sekian detik, para penyihir itu akan mulai berpindah.

Saat teleportasi sedang dimantrakan, efek cahaya dari sihir tersebut terlihat keluar dari dinding es. Amartya melihatnya dengan jelas tapi dia tidak tahu itu apa.

"Maaf Tuan Putri, kamu tahu tidak itu cahaya apa?" Amartya bertanya seraya mengangkat pinggang Naema dengan tangan kirinya, memberikan gadis itu penglihatan ke belakang, atas alasan agar grup mereka tak kehilangan momentumnya.

Walau teramat kaget, Naema mengikuti pertanyaannya dan menaruh matanya pada Fortia Warr untuk melihat cahaya yang dimaksud oleh Amartya.

"Itu... mantra teleportasi." Ucap Naema seraya berusaha menahan perasaan malu yang dihadapinya.

Bagi Amartya yang merupakan seorang Penempa Bumi yang memiliki kekuatan fisik luar biasa, mengangkat gadis Ilmuan Langit ringan seperti Naema dengan satu tangan bisa dibilang semudah membalikkan tangan.

"Aku tidak tahu ke mana tujuan mereka, tetapi ada baiknya kita beranggapan bahwa mereka akan datang ke sini." Lanjut Naema.

"Kalau begitu mungkin mereka ke… sini!" Amartya pun berhenti bergerak, menaruh Naema berdiri di atas tumpukan salju di sisi kanannya. Lalu dengan mantap, ia arahkan senapan di tangan kanannya ke sisi yang sebelah kiri.

[Seni Api]

[Tingkat 5]

"(Ledakan Api)"

"Dakagentera..."