Meski bukan ahli menyelinap, pengaruh es di provinsi Tarauntalo sudah sangatlah tinggi. Keberadaan Naema dan Fannar bahkan bisa dengan mudah disamarkan pada alam dan atmofir di sana. Sehingga bukanlah hal yang mustahil bagi mereka untuk menyelinap melewati sabertooth itu. Walaupun tetap, sekali saja terlihat, tak ada yang bisa lepas dari tatapan liar seekor harimau.
Daerah Mata air Wasal merupakan taman yang dipenuhi tumbuh-tumbuhan dan terpusat pada mata air tersebut. Taman ini dikelilingi oleh bebatuan besar, yang bisa membantu mereka untuk bersembunyi dari mata sabertooth. Walau begitu, sekali saja terlihat bisa berakibat fatal. Menggunakan sihir untuk menciptakan benda baru yang akan menutupi mereka, juga bukanlah pilihan. Sabertooth tidaklah bodoh, ia hafal mengenai apa yang ada di daerahnya.
"Gimana? Mau tetap ambil?" Tanya Fannar pada Naema.
"Mau, pa. Bisa kok kita, Naema yakin." Mata gadis itu membara akan determinasi.
"Ok kalau kamu yakin, papa juga yakin."
Naema dan Fannar pun berjalan dengan hati-hati menuju bebatuan terdekat, selagi berusaha untuk tidak menarik perhatian hewan lainnya yang memiliki kemungkinan untuk menaikkan kecurigaan sang harimau.
Mata air Wasal adalah mata air suci para perajurit suku Api yang menjaga perbatasan antara Tarauntalo dengan provinsi lainnya. Dahulu mata air ini merupakan salah satu tempat turunnya generasi pertama suku Api ke dunia baru, namun mereka berakhir memilih pindah ke daerah Selatan yang lebih panas. Akan tetapi kehangatan yang orang-orang itu tinggalkan, menjaga tempat ini tetap menggenang meski udara yang amat dingin.
Mata air ini dijaga oleh 4 ayam jantan yang di mana mereka konon katanya adalah sisa-sisa dari arwah generasi pertama. Manusia di dunia baru mempercayai kehidupan setelah kematian, jadi teori ini sebenarnya agak aneh untuk mereka.
Di sekeliling taman, di antara bebatuan, terdapat 4 batu besar yang berbeda warna, dibuat untuk memperingati jasa-jasa mereka. Masing-masing darinya akan memberikan efek yang berbeda-beda jika diketuk.
Di Selatan ada batu Kecepatan yang berwarna hijau, batu ini akan menambah kecepatan bergerak semua manusia di sekitar mata air. Di timur terdapat batu Kehangatan yang berwarna kuning, batu ini akan membuat semua hewan yang ada di sekitar mata air merasa nyaman dan menghilangkan kewaspadaan mereka. Di barat terdapat batu Amarah yang berwarna merah, batu ini akan membuat takut semua hewan, dan menjauhkan mereka dari depan setiap batu.
Batu-batu ini tentunya punya jeda waktu tiap kali pemakaian, para Waraney mendesain mereka sebagai sarana untuk melatih kebijakan mereka dalam mengambil desisi.
Terakhir, batu di Utara adalah batu Penghormatan yang berwarna ungu, batu ini akan membuat siapapun yang mengetuknya dihormati oleh semua hewan di sekitar mata air. Apabila batu itu diketuk menggunakan sihir—misalnya bongkahan es—maka bongkahan es itulah yang akan mendapat penghormatan dari margasatwa di sana. Oleh sebab itu, jika ingin dihormati, haruslah mengetuk menggunakan salah satu bagian dari badan sendiri.
Sayangnya, batu tersebut disinggahi oleh sabertooth, mengetuk batu itu tentunya akan menjadi cobaan yang teramat sulit. Tetapi mau tak mau mereka harus bisa melewati tantangan latihan Waraney ini untuk bisa mendapatkan bahan mereka, karena pohon yang mati itu berada di antara para hewan, dan lebih buruknya, di bawah pandangan sabertooth.
Tak ada pilihan lain selain mengetuk batu Penghormatan dan mendapatkan pengakuan dari seluruh penghuni mata air Wasal, lalu dengan aman berjalan menuju jamur reishi yang diinginkan, dan mengambilnya. Bagian belakang batu Penghormatan merupakan ladang terbuka dan terdapat penghalang sihir di sekitarnya, akan sedikit mustahil untuk mengetuknya dari sana.
Kunci dari tantangan ini adalah kerjasama. Seseorang harus ada yang menyelinap untuk mengetuk batu Kehormatan, sementara rekannya mengetuk 3 batu lainnya. Orang yang mengetuk 3 batu harus mampu memastikan si penyelinap bisa bebas dari para hewan dan sabertooth.
Seperti yang kukatakan sebelumnya tempat ini dipakai Waraney untuk menguji strategi dan kebijakan mereka.
"Karena Naema lebih kecil dan lebih pandai berjalan, Naema yang akan nyelinap." Naema mengutarakan strateginya.
"Baiklah, kalau begitu karena papa lebih bijak, papa yang akan memilih timingnya."
Naema termenung sejenak, entah mengapa kata-kata ayahnya sedikit membuatnya jengkel.
"Kenapa nak?" Pria itu seakan tersenyum menggodanya.
"Enggak pa, gak papa." Mulut gadis itu sedikit termanyun ke depan.
Operasi pun dimulai, Naema dan Fannar mulai fokus pada tugasnya masing-masing. Setiap batu kecuali batu Penghormatan dapat diketuk dengan benda apapun, jadi Fannar tidak perlu bergerak dari tempatnya dan bisa tetap memantau Naema tanpa dicurigai oleh hewan-hewan. Sementara itu Naema bisa memberikan kode untuk meminta Fannar mengetuk batu yang dibutuhkannya.
"Hmm... kiri kayaknya pilihan yang baik."
Naema memutuskan untuk bergerak menuju arah barat karena adanya batu Amarah, tetapi batu Amarah hanya berfungsi secara strategis bila Naema berada tepat dibelakang sebuah batu. Karena jika terlihat oleh hewan ketika mereka sedang terkena efek batu Amarah, mereka akan tetap menunjukkan kecurigaan mereka pada Naema setelah efek batunya habis.
"Sekarang..."
Naema mulai bergerak, perlahan-lahan menuju batu Amarah sembari berusaha untuk tidak terdeteksi. Walaupun begitu, karena kurangnya pengalaman anak itu menyelinap, beberapa hewan mulai menaruh mata mereka ke arah dirinya.
'Ketauan? Secepat itu?' Ucapnya dalam hati.
Naema yang gugup karenanya, memberikan kode untuk mengetuk batu Kehangatan, tetapi Fannar menggelengkan kepalanya dan tetap meminta Naema untuk maju.
Naema pun berusaha percaya pada keputusan Fannar dan tetap menyelinap menuju batu Amarah. Sementara itu, beberapa hewan mulai berjarak sangat dekat dengan Naema. Hal ini membuatnya mulai dihantui oleh segilintir rasa takut, tapi ia harus memaksakan dirinya untuk tetap fokus pada tujuannya.
Seiring berjalannya waktu, salah satu hewan pun akhirnya berada pada jarak yang kritis dengan Naema. Hewan itu sudah hampir melompat, memaksa si gadis mendiamkan tubuhnya kaku. Ia spontan menelan ludahnya, dan tak kuasa memejamkan matanya.
*tok*
Fannar pun mengetuk batu Kehangatan, hewan itu pergi dan Naema bisa kembali menghela nafas. Fannar kemudian memberikan isyarat agar Naema lari dengan cepat selagi batu Kehangatan sedang dalam efeknya.
Naema yang melihatnya mengangguk paham.
Tanpa basa-basi, ia lantas berlari sekencang mungkin ke arah batu Amarah, dan di saat yang sama, Fannar mengetuk batu Kecepatan. Begitu sampai, dengan cepat Naema langsung menyembunyikan dirinya di balik batu besar yang ditujunya. Di saat yang sama, semua hewan masih dalam keadaan tenang.
*Baduum!*
Akan tetapi tiba-tiba saja, terdengarlah suara yang menggelegar luar biasa kencangnya. Tertampaklah dari kejauhan, langit di atas desa suku Es mendadak dipayungi awan yang kian gelap dan biru, seakan-akan ada hujan es terjadi di dalamnya.
"Whoa..."
Mereka berdua melihat awan itu dengan pandangan yang berbeda. Mata Naema berbinar-binar karena fenomena awan tersebut terlihat begitu menarik baginya, sementara Fannar cemas karena dia tahu apa dan siapa yang dibawa awan gelap itu.
"Ini tak bagus, kita harus membatalkan pencarian reishi untuk sekarang."
Fannar memberi isyarat agar Naema menelantarkan jamur itu dan pergi dari sana. Akan tetapi gadis kecil yang masih naif itu, tetap menginginkan jamurnya, dan tiba-tiba sebuah ide gila muncul di benaknya.
"Pa kita ambil jalan pintas." Ucapnya dalam bentuk kode yang mengarah pada titik tengah mata air.
"Hah? Naema!?"
Dengan gegabah Naema mengetuk batu Amarah. Semua hewan pun berlari menjauhi setiap bagian depan dari keempat batu, menyisakan bagian kosong berbentuk '+' (plus) ditengah-tengah.
"Oh Roh Beku, tolong selamatkan anak itu!"
Fannar sesegera mungkin, langsung membuat 2 dinding es yang menyambungkan sisi kanan dan kiri dari batu Amarah dengan batu Kehangatan. Mendapatinya, Naema pun lekas mengembangkan sayapnya dan terbang di antara dua dinding es tersebut. Lalu dari udara, ia segera mengambil jamur reishi dengan tangannya.
Namun tentu saja semua ini tak akan semudah itu bukan? Tanpa terduga olehnya, sang harimau melompat ke atas dinding es tersebut. Nampaknya batu amarah tak berefek kepadanya. Dan dari sana, ia melihat Naema dan langsung mengejarnya dengan kecepatan penuh.
"Hah? Bukannya batu Amarah masih berefek!?"
Gadis kecil yang terkejut menjadi panik saat melihat sang harimau berlari ke arahnya. Ia pun mulai membacakan syair kisahnya, seraya terus terbang menjauhi sabertooth.
"Di atas panggung beku Daratan"
"Sang angin menari dengan kaki kecilnya"
"Malangnya si nona ceroboh, kini ia tersandung manja"
"Merahlah sudah pipi putihnya, dan tanah pun kian berkata"
Naema berbisik, seraya terbang merendah dan menggores tanah dengan jemarinya.
[Sihir Es]
[Tingkat 6]
"(Lantai Es)"
"Isbhuutala..."
Angin dingin berhembus lembut, membelai tanah yang ia sentuh. Daratan pun berubah menjadi bongkahan es, licin dan dingin. Hewan-hewan mulai terpeleset jatuh, sementara Fannar menaikkan dirinya ke atas batu kecepatan.