Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 12 - Side Story: The Eyes of Manguni Sees Everything (Part 2)

Chapter 12 - Side Story: The Eyes of Manguni Sees Everything (Part 2)

Dinandra terus terdiam dan tak mau berbicara, aku mulai merasa mungkin ada baiknya jika aku tak menganggunya, jadi aku berjalan pergi meninggalkan Manguni kecil yang bimbang itu.

Setelah suara langkah kakiku tak lagi terdengar dia mulai duduk di bawah pohon favoritnya, termenung, disinari sang Mentari.

Tak lama kemudian, sebatang kayu panjang tiba-tiba terlempar ke pangkuannya. Dinendra yang kaget pun menundukkan kepalanya untuk melihat benda yang ada di atas betisnya, ia tak lain adalah sebuah Istinggar, senapan yang digunakan para penembak jitu. Ia lalu menoleh sayu ke atas, dan di sana Tuan Muda Amartya tengah berdiri, menatapnya begitu kecewa.

"Tuama… nyaku tuama, sebuah kata-kata indah yang kita ucapkan di hari pertama bersumpah sebagai putra-putra suku Api, 'laki-laki… saya laki-laki'."

Mata Dinandra perlahan terbuka, begitu redup menatap tuanku.

"Jadilah lelaki sejati Dinendra, dan jangan biarkan gadis itu kecewa melihatmu begitu hancur."

Dinandra tetap terdiam tanpa berkata-kata.

"Perlu kamu tahu, ada satu hal yang tak bisa aku rasakan atau mungkin tak akan pernah bisa aku rasakan, tapi apa berhenti berharap dan menyerah akan menyelesaikan masalahku? Tentu tidak."

"Setiap hari aku akan membaca buku tentangnya, mendatangi sepasang kekasih dan bertanya bagaimana rasanya, berusaha memahami mereka yang menyayangiku, merayu, menggoda, memeluk, berkata-kata manis pada perempuan yang aku temui, walau aku yakin aku tak melakukannya dengan benar semenjak aku masih seorang bocah yang seharusnya hanya sibuk bermain kejar-kejaran, dan banyak hal lainnya..."

"Sayangnya aku tetap tak mampu merasakannya."

"Namun kamu, kamu berbeda, kamu tak dikutuk untuk tak bisa melakukannya, kamu hanya perlu berusaha!"

Tuan muda Amartya menarik Dinandra hingga ia berdiri di atas kedua kakinya.

"Kamu hanya perlu lebih fokus!"

"Jika kamu tak bisa melakukannya sekali, kamu hanya perlu melakukannya sepuluh kali lagi, jika belum bisa, naikkan menjadi seratus, lalu seribu dan seterusnya, bakat bukanlah segalanya, namun hasil akan selalu jadi penentunya."

Tuanku menggenggam bahu Dinandra dengan kedua tangannya, memaksa mereka saling menatap.

"Terkadang, aku iri melihat kalian yang bisa merasakan kasih sayang atau pun mengekspersikannya."

"Terkadang aku terbingung, bagaimana aku bisa tetap bersama kedua orangtuaku hanya dengan persaan hormat dan hutang budi saja… dan terkadang, aku lega aku tak mampu merasakan perasaan yang membuat manusia menjadi seorang manusia."

"Aku yakin kau bertanya-tanya Dinendra, mengapa lega tak bisa merasakan kasih sayang? Apakah karena aku tak bisa patah hati? Mungkin…"

"Namun alasan terbesarnya, ialah kehilangan… aku melihat beberapa Waraney kembali dari pertempuran, hanya jasad, nyawanya telah lama pergi… dan di sana, istri dan adik-adiknya terduduk mendekatkan wajah mereka padanya, bergelimpangan air mata."

"Ketika seseorang mencintaimu, terlahirlah sebuah kewajiban untuk menjaga senyum mereka, dan kamu harus tetap hidup untuk bisa melihat keindahannya… namun kita adalah prajurit Dinendra, nyawa kita terancam tiap detiknya."

"Dan kesempatakan terbesar kita untuk menghindarinya ialah untuk tetap selamat di medan perang, dari situ muncullah pertanyaanya besarnya, bagaimana melakukannya Dinendra?"

Tuan muda Amartya menarik tangan Dinendra dan menaruhnya pada Istinggar yang ia berikan.

"Tentunya dengan menjadi prajurit yang hebat, bunuh musuhmu sebelum mereka bisa membunuhmu, dan kamu akan dapatkan dirimu kembali dengan selamat dari medan perang."

"Tak ada yang mudah di hidup ini Dinendra, dan mereka yang berbakat tak akan selalu mendapatkan segalanya… mereka yang berusahalah yang nantinya akan berakhir sebagai pemenang, merekalah yang akan tetap selamat ketika seisi dunia mulai kehilangan kewarasannya."

"Aku bisa melihat dirimu menjadi penembak jitu yang hebat di masa mendatang, walau jujur aku bingung mengapa keluarga Serenada tak bisa merasakan masa depan layaknya keluarga utama, bukankah seharusnya kalian mendapatkan setiap berkah dari kesembilan Manguni?"

"E—entahlah Tuan, mungkin Tetua Manguni menganggap kalian lebih pantas untuk merasakannya…"

Dinendra akhirnya mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Tuan muda Amartya pun tersenyum lega mendengarnya.

"Baiklah! Sekarang aku ingin kau menjawab panggilanku dan ucapkan ikrarmu sebagai seorang lelaki."

Hihihihi, mengingat kembali saat itu mereka hanya berusia 7 tahunan, mungkin aku akan menganggap perbincangan mereka menggemaskan jika aku melihatnya dengan umurku sekarang.

Tuan muda Amartya kemudian mundur dan mengangkat tangannya.

"I Yayat U Santi!"

"Tapi… aku sedang tidak memegang santi, Tuanku." Jawab Dinandra.

"Santi bukanlah sekedar pedang, ia adalah senjata yang menunjukkan jati dirimu Dinendra, bukankah kamu sedang memegangnya? Sekarang kembali jawab aku!"

"I Yayat U Santi!" Ucap Tuanku.

"Tuama… Nyaku Tuama…" Jawab Dinandra dengan suara yang kian lemas.

"Lebih keras Dinendra!" Suara tuanku seakan membakar seisi udara.

"I Yayat U Santi!"

"Tuama… Nyaku Tuama." Dinandra mulai menggengam erat Istinggarnya, menaikkan suaranya.

"Dengan segenap jiwamu jawab aku!" Tuan Muda Amartya menghantam bumi dengan kakinya, tempat itu angankan berguncang, dengan tiap bebatuan melayang di sekitar mereka.

"I Yayat U Santi!"

"Tuama! Nyaku Tuama!" Dinandra mengangkat Istinggarnya ke atas dan berteriak dengan suara lantang yang menghempas tiap bebatuan di sekelilingnya.

"Sekarang jadilah prajurit yang hebat dan jangan buat Nitara kecewa terhadapmu, malaikat mengutuk langkah mereka yang membuat perempuan menangis."

Tuanku terkadang mengucapkan kata-kata yang luar biasa bahkan sejak usia dini.

Setelahnya, Tuan muda Amartya pun pergi meninggalkan Dinendra. Melihatnya berjalan menjauh, Dinendra lalu bergegas mengambil sebuah target dari lapangan pelatihan Waraney dan membawanya ke padang rumput di samping gubuk kecil yang ayahnya bangun di luar kota Afaarit.

Sore itu, ia mulai berlatih menembak target hingga larut malam. Suara senapannya bisa terdengar jelas dari tembok ketiga, bahkan gemerlap cahayanya mampu terlihat berkedip di tengah gelapnya malam. Sayangnya, ia terpaksa pergi tidur tanpa meninggalkan satupun bekas pada target itu.

Keesokan harinya ia kembali berlatih menembak target sepulang dari Papendangan, hingga ia sampai di saat peluru yang ia punya kini telah habis. Ia tak memiliki uang untuk membelinya, ia juga terlalu malu untuk meminta pada orangtuanya, jadi ia pergi menambang, mengumpulkan bahan, dan membuat pelurunya sendiri.

Hari berikut ia kembali berlatih menembak dengan peluru baru ia yang buat. Pelurunya begitu jelek, dan membuatnya meleset jauh lebih parah dari sebelumnya. Dan ketika mereka habis, ia akan kembali menambang dan membuat peluru baru. Semakin sering ia membuat peluru, semakin ia paham permasalahannya dan menghasilkan peluru yang lebih baik.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan ia terus melakukan ini. Aku sedikit khawatir dengan kesehatannya, jadi setiap ia tertidur aku akan menyelinap ke gubuk kecilnya, membersihkannya, mengganti sprei dan memperbaharui pakaiannya, menyelimutinya, lalu meninggalkan makanan dengan tulisan kecil untuk menyemangatinya.

Aku tak yakin apakah ia tahu aku yang melakukannya, aku hanya berharap dia bisa mencapai mimpinya dan tetap sehat untuk hidup lebih lama ketika meraihnya. Tetapi yang jelas, ia selalu membawa kotak makanan yang aku berikan ke Papendangan, dan tentu, melihatnya membuatku bahagia.

Setelah sekian lama ia mulai membuat begitu banyak bekas pada Target dan membuatnya rusak. Karenanya, ia pun pergi menebang pohon dan membuat beberapa target baru untuknya berlatih, dan semakin lama, target yang ia buat terletak semakin jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun juga mulai memodifikasi istinggarnya dan membuat banyak hal lainnya.

Satu hal yang istimewa dari istinggar ialah untuk menembak, kita perlu meletupkan peluru yang berada di dalamnya dengan seni Api. Hal ini membuat kecepatan dan kekuatan tembakannya berbeda-beda bagi tiap orang yang menggunakannya.

Dinendra menjadi begitu ahli hingga aku tak lagi mampu melihat jeda antara ia menembak dan mengisi peluru. Latihannya juga membuatnya mampu menembak senapan berat itu dengan satu tangan. Sampai satu hari ketika aku melihat dari kejauhan, tembakannya tak mengenai satu pun target.

Di masa-masa itu aku sudah sangat yakin ia tak mungkin lagi meleset saat menembak. Aku menjadi teramat penasaran, dan mengikuti jejak tembakan yang ia keluarkan. Setelah sekian lama berjalan jauh, aku berhasil menemukannya, sebuah apel tergeletak di tanah, tengahnya tertembus peluru, dan di sekitarnya tersebar sisa-sisa sayap seekor lalat yang telah hinggap.

Manguni kecilku, tumbuh menjadi penembak jitu yang begitu ahli, juga seorang penempa terbaik yang pernah dimiliki suku Api. Dia sebenarnya selalu menjadi yang paling berbakat di antara Waraney, hanya saja dia butuh lebih fokus dan serius pada apa yang ia mau.

Aku ingat suatu hari Dinendra pernah berkata kepadaku.

"Hey Nitara... mungkin... jika Tuan Muda Amartya akan tumbuh sebagai pemimpin terbaik yang pernah ada, maka ketika hari itu tiba, akan kupastikan diriku, berdiri di sampingnya... sebagai prajurit terbaik yang pernah ada."