11.21 AM,
AT THE DUCHESS CAFE.
.
.
.
.
.
Jam menunjukkan pukul 11.21 siang. Mentari tentu saja sudah nampak begitu terang dan menyengat. Menembus pelapis bening kaca masuk ke dalam ruangan ber-AC yang menyejukkan ini. Memberikan pencahayaan yang sangat terang dan indah diwaktu yang bersamaan.
Menampakkan pemandangan orang-orang yang berlalu-lalang melewati jendela café yang sangat lebar disisi dinding cafe. Sehingga tidak perlu menyalakan lampu café yang berada disetiap sudut ruangan. Sehingga dapat cukup berhemat untuk pengeluaran listrik bulan ini.
Jo baru saja keluar dari ruangannya. Berjalan melewati pintu antar dapur pastry yang langsung saja berhadapan dengan mesin kasir.
Memperhatikan satu-persatu keadaan café yang terbilang cukup ramai namun tidak menyulitkan. Mengabsen satu-persatu karyawannya yang berada disana. Melakukan tugas mereka masing-masing yang sudah ditentukan sebelumnya.
Mata Jo menangkap Alana yang sedang mengepel lantai sepanjang jalan pintu menuju kasir. Dan tanpa basa-basi, dia menghampirinya.
"Alana?" panggilnya membuat sang pemilik nama menoleh ke arahnya.
"Ya pak manager?" tanyanya sambil menghentikan aktivitasnya.
"Apa kau melihat Emily? Aku belum melihat dia daritadi..." ucap Jo mengungkapkan rasa penasarannya. Dan memang benar, sejak kedatangannya ia belum melihat perempuan cebol itu daritadi.
"Ah iya... tadi dia menitipkan surat ijin padaku kalau dia ingin mengambil cutinya selama satu Minggu. Surat itu ada dilokerku. Tadinya bakalan ku kasih saat pak manager datang, tapi aku malah dipangil orang pastry untuk membeli beberapa bahan kue yang sudah mulai habis. Jadi aku baru datang beberapa saat lalu dan langsung dihadapkan dengan tugas ini..." jelasnya panjang lebar.
"Kau taukan pak manager, kalau dia pasti akan mengambil izin cuti disetiap bulannya. Dan tumben sekali selama beberapa bulan kemarin dia tidak mengambilnya. Mungkin dia mengumpulkannya untuk hari ini ...." Ucap Alana sambil mengira-ngira. Berkacak pinggang sambil menggenggam tongkat kain pel disebelah kanan tangannya. Jo menghela nafas berat.
Memang dia biasa memberikan pada Emily segala apapun bantuan sesuai kebutuhannya. Karena awal pertemuannyalah dia bisa bekerja disini dan mendapatkan kesempatan seperti itu. Pertemuannya yang hampir saja ja ia bertemu dengan malaikat pencabut nyawa kalau saja tidak ada Emily disana. Ya, dulu Emily pernah menyelamatkan dia saat Jo mengalami kecelakaan.
Satu tahun yang lalu, Jo sedang berlibur ke desa untuk mengunjungi rumah kedua orangtuanya disana. Menggunakan motor sport-nya yang ia beli beberapa bulan lalu. Suatu ketika, ia sedang melewati sebuah jalan beraspal yang cukup sepi dan sedikit berliku.
Melihat kesempatan itu, Jo melajukan motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi diatas rata-rata. 120 km/jam. Yap, cukup untuk membuat jalanan aspal berliku itu berubah menjadi arena balapan Moto-GP dadakan. Namun naas, suatu kesialan tiba-tiba saja menimpanya.
CIITTT!!! BRAAKK!!!
Sebuah truk besar muncul secara tiba-tiba dari tikungan yang cukup tajam. Jo yang tidak sempat menghindar sontak saja membanting kemudinya dan membuatnya terlempar ke sisi jalan yang berupa jurang pepohonan.
Tubuhnya terguling terus-menerus yang membuatnya penuh luka lebam dan goresan kecil akibat benturan hebat dan juga beberapa sayatan dalam dikedua tangannya. Helm yang berada di kepalanya sudah terbelah setengahnya. Hanya dapat melindungi sebagian kepala kanannya. Kedua tangannya yang terlihat mengenaskan, sudah tidak bisa diandalkan lagi karena dia merasakan sakit yang amat dilengan kanannya yang sepertinya ada patah tulang disana. Bajunya yang cukup tebal dan mahal tidak dapat melindungi tubuh di dalamnya dengan baik. Bahkan motornya sudah terlempar jauh memasuki jurang yang sama tapi entah kemana.
BRUKK! BRAKK! DUK! SYATT!
"ARGHH!!!!" jeritnya saat sebuah akar tajam menusuk tepat paha kanannya. Membuatnya semakin berguling dan terus menuruni jurang itu tidak terkendali.
Badan Jo berkali-kali menabrak akar pohon yang tidak kunjung membuatnya tersangkut. Kepalanya yang terus-terusan terbentur membuat pandangannya mengabur dan telinganya yang berdengung sakit.
Sudah dipastikan darah mengalir darisana. Bahkan hampir sekujur tubuhnya diselimuti darah. Jo hampir kehilangan kesadarannya jika saja sebuah tangan tidak menariknya agar berhenti berguling. Membuatnya menggantung disebuah tebing yang menjorok jauh ke dasarnya.
Ya, sebuah tangan putih kecil dan lentik menggapainya dan memegangnya erat menahan bobot tubuhnya yang hampir saja jatuh kedalam lubang bebatuan dibawah sana. 5 meter dibawahnya berisikan bebatuan yang besar dan juga tidak tajam. Namun cukup untuk membunuh seseorang hanya dengan terjun darisana.
Jo dongakkan kepalanya yang sudah terasa pusing dan berdengung sakit itu. Menangkap sepasang mata abu-abu cerah yang juga membalas menatapnya. Mengerutkan keningnya tanda dia sedang berusaha keras menarik sebelah tanganku.
"Come on! Give me your hand!" teriaknya yang membuat Jo berusaha perlahan memberikan tangan kirinya yang tadinya menggantung disisi badan ambruknya. Menangkap telapak tangannya dan membantunya menarik tubuhnya yang mati rasa. Hanya dipenuhi rasa sakit dan juga denyut nyeri.
Perlahan kedua siku Jo mendapatkan tumpuan. Salah satu tangan gadis itu yang menarik tangan Jo dengan cepat dilepaskannya dan menyeret bahu Jo yang mulai tergapai tangannya. Kaki Jo semakin berdenyut saat ranting yang menancap dipahami kanannya bergesekan dengan tumpuan Yamaha itu. Tapi dengan sekuat tenaga ia menahannya dan terus mpberusaha menarik diri agar tubuhnya tidak menggantung seperti tadi.
Semakin menarik tubuh Jo yang akhirnya tubuh Jo terselamatkan dengan penuh perjuangan. Berakhir dengan tubuh Jo yang terbaring berada diatasnya. Nafas mereka tersenggal-senggal. Mencoba mengatur nafas masing-masing yang memburu dan saling bersautan. Karena tenaga yang mereka kerahkan untuk menyelamatkan salah satu diantara mereka. Hingga akhirnya, Batuk Jo menyudahi acara menetralan nafas itu. Dan lebih mengejutkannya lagi, batuk Jo mengeluarkan darah.
Dia yang panik melihatnya, spontan menyingkirkan perlahan tubuh Jo dari atasnya dan mencoba merangkulnya agar dia bisa bangkit dan segera dilarikan ke rumah sakit. Mata gadis itu membelalak saat Jo meringis kesakitan saat tangannya ditarik. Darah Jo yang mengalir dari pahanya semakin deras. Bahkan sebuah ranting tajam menembus paha Jo hingga ke paha belakangnya.
Tubuhnya bergetar panik saat tubuh Jo benar-benar penuh luka bahkan banyak parah. Dia pada akhirnya membaringkan tubuh lemas Jo dan memberikan penanganan pertama untuk Jo. Memanggil ambulan yang sudah diberikan pada mereka titik koordinat lokasinya. Jo yang hampir pingsan itu mendengar suara gadis itu yang terus memanggil namanya. Hingga sebuah helikopter mendekat ke arah mereka dan menemukan mereka.
Dengan segera mereka membawa Jo ke rumah sakit terdekat. Memberikan penanganan pertama yang sangat membantu dan juga aksinya yang bisa membuat Jo tetap tersadar olehnya. Merawat laki-laki itu selama di rumah sakit karena keadaan kedua orangtua Jo yang tidak bisa hadir dihambat usia renta.
Dan dari semua itulah kejadian awal pertemuannya dengan seorang gadis kecil misterius. Hingga akhirnya berakhir dengan bekerja di café miliknya dengan syarat memberikan cuti perbulannya. Dan tentu hal itu tidak memberatkan Jo sama sekali. Bahkan Jo masih ingin memberikan keringanan padanya karena sudah berjasa dengan menyelamatkan nyawanya.
Itulah mengapa ia mengkhawatirkan gadis itu sekarang. Dengan syaratnya yang terbilang cukup aneh dan juga segala hal janggal yang diketahuinya, malah membuat Jo semakin cemas dengan segala rahasia yang dimilikinya. Seperti saat ini.
Emily tidak pernah mengatakan satupun alasannya untuk pergi. Tanpa pamit atau bertatap muka langsung dengannya. Hanya menitipkan pesan yang sudah menjadi kebiasaannya yang tentu dimaklumi Jo. Lalu pergi begitu saja dan kembali dengan sama halnya ia pergi. Selalu tampak ceria dan lugu seperti biasanya. Tapi entah kenapa, aku selalu merasa bahwa semakin ia sering pergi, semakin pula terlihat perubahan yang disembunyikannya. Bahkan seringkali tertampan jelas dimata Jo akan keanehan tersebut.
Jo kembali menghembuskan nafas berat. Memandang ke arah cahaya matahari luar cafenya dengan tatapan yang menyiratkan dengan jelas kecemasan.
Pikirannya melayang kepada satu gadis yang beberapa waktu ini sering mengganggu keheningannya. Dan hanya karena hal sepele seperti ini, dia bahkan terlalu larut memikirkannya. Yang padahal, pasti Emily akan kembali kesini dengan keadaan yang sama. Tidak terluka atau tidak berubah sedikitpun.
Firasat buruk dan tidak enak merayap didasar Jo. Membuatnya semakin ragu akan tindakannya yang dinilai aneh baginya. Mencemaskan seseorang selain kedua orang tuanya adalah hal yang baru bagi Jo. Bahkan dia ragu apakah tindakannya ini benar atau tidak.
'Semoga saja kau baik-baik saja Em. Dimanapun kau berada. Ya, semoga saja...'.
••••••
LAST NIGHT, SOMEWHERE IN A APARTEMEN.
NEW YORK, UNITED STATE OF AMERIKA.
.
.
.
.
.
"Masuk". Suara tegasnya menggema saat sebuah ketukan pintu menyadarkan lamunannya.
Mendengar suara ketukan sepatu dengan langkah teratur yang mendekat ke arahnya. Hingga seseorang itu berdiri disampingnya. Menghadap serong ke arahnya yang masih memajukan tatapannya pada pemandangan malam kota New York yang terasa sangat indah malam ini.
"Semuanya sesuai dengan apa yang kita rencanakan Tuan. Kitalah yang memegang kendali kali ini... dalam beberapa jam lagi, kemenangan akan menjadi milikmu Tuan...". Sebuah punggung terbungkuk kecil kepada orang besar yang menjadi Tuannya itu.
Dengan berlatarkan pemandangan malam kota New York yang indah semakin indah saat informasi tersebut masuk kedalam indra pendengarannya. Senyum seringai terukir diwajahnya. Bahkan dengusan kecil terdengar berasal dari wajah tampan Tuannya.
"Dia sudah memberi kabar?" tanya sang Tuan yang masih menatap kerlap-kerlip malam kota New York yang indah.
"Ya, dan semuanya sesuai perkiraan tuan. Bahkan saya ada file yang dapat membuktikan bahwa ia menjalankan misinya dengan baik...". Senyum jahat itu semakin lebar kala mendengar kabar yang menyenangkan itu.
"Apakah tidak ada yang mencurigainya sama sekali?" tanyanya sekali lagi memastikan bahwa semuanya benar-benar sempurna tidak ada yang gagal.
"Tidak tuan" jawabnya sigap.
"Baiklah, jangan lupa periksa lagi segalanya dan pastikan bahwa kita tidak memberikan satu celahpun pada tikus-tikus merepotkan itu. Aku tidak ingin ada satu kesalahan kecil pun kecuali kau ingin salah satu anak buahmu menjadi percobaan mainan terbaruku. Mengerti?" tegas sang Tuan yang menjadi sebuah perintah mutlak yang tidak bisa dibantah.
"Mengerti dengan sangat tuan..." jawabnya lalu masih terdiam disisi sang tuan karena tuannya itu belum mempersilahkannya pergi.
Masih menunggu instruksi selanjutnya dari majikannya itu. Selama beberapa menit, keheningan masih melingkupi keduanya. Hingga sebuah denting antara gelas yang digenggaman tangan tuannya dan botol yang berada diatas nakas yang berada disamping kanannya.
"Tuan---".
"Charlie...". Panggilannya terpotong oleh ucapan tuannya yang hampir saja bersamaan. Sesaat dia terdiam.
"Ya tuan?" jawabnya masih diposisi yang sama seperti 10 menit yang lalu. Sedikit menyerong ke arah tuannya tanda membalas hormat panggilan tuannya. Dan tuannya kembali terdiam. Memutar kembali gelas yang berisi wine itu seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.
"Apa yang mengganggu pikiran anda Tuan?" tanya Charlie yang sedari tadi memperhatikan setiap gerak-gerik tuannya.
"Tunda semua rencana hari ini" ucapnya tiba-tiba yang spontan saja membuat sang bawahan yang berada disampingnya terkejut dibuatnya. Memang kaget bukan main. Setelah semua persiapan yang bisa dibilang matang 94%... Tiba-tiba saja tertunda begitu saja? Ada apa dengan tuannya?.
"A-apa ada sesuatu yang salah Tuan?" tanyanya yang meragukan pendengarannya.
"Tidak ada apa-apa Char... hanya saja, aku ingin menunggu sedikit lebih lama lagi. Kita buat rencana kita matang sempurna 100% tanpa celah sedikitpun. Tapi tenang saja, saat ini kita akan tetap menyapa mereka disana. Tidak perlu sedih begitu, ini bukan akhir dunia Char..." ucap santai Tuannya.
Sambil menuangkan kembali anggur merahnya ke dalam gelas kosongnya. Sedikit menyesapnya lalu memutar-mutar cairan ungu pekat itu perlahan.
"Tapi keputusan Tuan terdengar seperti tanda kiamat akan datang Tuan..." balasnya dengan sedikit humor.
"Yahh... kau tau itu" balasnya yang membuat keheningan kembali merangsek masuk diantara mereka. Masih dengan ketidakpercayaannya, Charlie menatap terdiam ke arah tuannya. Mencoba meyakinkan kembali tuannya dengan memberi sedikit waktu berharap dia bisa mendengar tuannya menarik perintahnya yang tadi. Tapi tetap saja, setiap perintahnya adalah suatu hal yang mutlak.
"T-tapi Tuan, apakah tuan----".
"Enjoy the process Charlie. Patient is the key for perfection. Just wait a little bit longer and everything would return to their place by themself".
Dan ucapan itu menjadi keputusan akhir yang tidak bisa diganggu gugat olehnya. Bahkan oleh siapapun. Membuat sang tangan kanan hanya berdiam diri takjub dan mencerna setiap perkataan tuannya. Yang pasti, setiap perkataan dan perbuatannya... pasti ada maksud tersembunyi. Itulah salah satu sifat tuannya.
"Saya mengerti Tuan..." jawab Charlie agar dia bisa menghentikan semua rencana tuannya sebelum semuanya terlambat.
"Baiklah, kau boleh pergi". Mendengar perijinan sang tuan, Charlie membungkukkan badannya.
"Saya pergi tuan" pamitnya yang disusul dengan langkah seribunya memburu ke arah pintu didepannya.
"Ah dan satu lagi Charlie...". Suara sang Tuan menghentikan langkahnya.
Membuat tangannya terhenti memutar kenop pintu. Membalikkan tubuhnya dan menunduk kecil menunggu perintah. Melihat tangan tuannya sedikit terangkat menandakan interupsi yang hampir saja ia lewatkan.
"Jangan sampai ia lecet oleh tangan-tangan kotor anak buahmu. Ini hanya sebuah pertemuan. Jangan berlebihan. Atau tangan-tangan itu akan ku bakar beserta tubuh pemiliknya. Aku mengandalkanmu Charlie" ucapnya dengan nada datar yang benar-benar membuat bulu kuduk orang itu meremang. Karena yang diketahuinya, ucapan tuannya tak pernah main-main.
Dengan senyum tulus, ia merasa senang. Tuannya masih membutuhkannya dan masih mempercayainya secara penuh. Dan ia merasa sangat bangga akan pretasi itu. Penuturan tuannya sangat membuat hatinya terasa bahagia. Mendengar tuannya mengancam seperti itu bukan masalah untuknya dan juga bukan untuknya, tapi untuk para bawahannya. Bahkan ia merasa bahagia dan tersanjung bukan main.
"Dengan senang hati, Tuanku".
••••••