Chereads / EMILY. / Chapter 4 - | Chapter.3 || Something Familiar |

Chapter 4 - | Chapter.3 || Something Familiar |

07.25, Emily's Apartement.

.

.

.

.

.

Mataku memejam sesaat setelah ku membuka mata. Menyesuaikan dengan cahaya yang mengganggu dengan kurang ajarnya. Mengerjap-ngerjap lalu sesekali memfokuskan pandangan.

Hingga sebuah langit-langit ruangan biru yang pertama kali tertangkap oleh mata. Membuat keningku mengernyit bertanya-tanya. Bahkan setelah seluruh ruangan kamar yang ia punya dan temannya miliki, inilah yang paling asing. Membuatku tak sabar dengan segera bangkit dari tidurku. Hingga pandangannya menyisir sekitar. Dan menyadari sesuatu. Ini adalah kamarnya!. Astaga! Apa gadis itu membawaku pulang?.

Kamarnya cukup luas. Bernuansa biru langit yang lembut. Kamar yang bernuansa ceria dan lembut seperti anak kecil. Mataku menyisir hingga terhenti karena mataku menangkap sesuatu. Ada sebuah foto berfigura coklat yang usang. Sudah tua dan bahkan warnanya mulai samar. Mataku membelalak melebar. Itu... foto itu---.

"Ah! Kau sudah bangun" ucap seseorang yang baru saja masuk dengan mengejutkannya. Membawa sebuah nampan yang ku percaya berisikan sarapan. Ya, dikamar ini ada jam dinding. Yang baru saja menunjukkan pukul 7 pagi. Jadi aku tak bodoh untuk menanyakan padanya pukul berapa sekarang.

Ia mendekat dengan tersenyum. Sembari memegang nampan dikedua tangannya. Menghampiriku yang entah kenapa dibalas dengan respon aneh dari tubuhku. Membuat jantungku berdegup cepat dengan anehnya. Hanya dengan senyuman dan mata indah itu?!.

Setelah sekian lama aku melihatnya dari kejauhan dan hanya bermodalkan anak-anak buahku untuk membuntutinya---atau lebih tepatnya menjaganya---kini dia berada dihadapanku. Sungguh nyata. Saking nyatanya, sampai-sampai aku mengira ini mimpi jika saja suaranya kembali menarik kesadaranku. Bahkan terkadang aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.

Apa istimewanya gadis ini?. Bahkan aku sering melihat dan berkencan dengan gadis yang sangat cantik dan seksi lebih-lebih daripada dia. Lalu ada apa denganku?. Apakah hanya karena ucapan janji masa lalu membuatku selalu terjerat dan terkurung dengan perasaan yang menyiksa ini?. Jantung sialan! Berhenti berdegup!. Shit!. Aku kehilangan kendali diriku sendiri. Apa yang terjadi denganku?. Saking kesal dan menyebalkan wajahnya, ku palingkan wajahku darinya.

"Ini sarapanmu. Makanlah... lalu setelah kau makan, akan ku ganti perban lukamu itu. Ssstt! Kau punya tubuh yang kuat ya... luka sebanyak itu kau tahan dan tidak kau obati sedikitpun. Apa kau baru saja mengalami kecelakaan?" tanyanya setelah meringis kuat.

Ku terdiam. Menatapnya yang memberikan sederet pertanyaan yang sangat tidak perlu dan tidak mungkin ku jawab. Sarapannya yang ia taruh disisiku. Bubur dan buah-buahan? Ia pikir aku sakit demam sampai diberi bubur dan buah-buahan?!.

Pandanganku mengarah tepat pada matanya. Ku tatap tajam matanya. Yang ia balas dengan mata yang penuh tanya dan bingung. Sangat polos sampai-sampai aku terkejut dibuatnya. Dan itulah yang ku anehkan padanya. Ia tak pernah takut memandangku sekalipun. Bahkan sejak dulu.

Dia yang melihat tatapanku yang menatap tajam dirinya dan tak berubah sejak 5 menit yang lalu, mengedikkan bahu lalu mengalihkan pandangan menyisir pandangan matanya ke langit-langit ruangan.. Matanya masih sama seperti dulu. Abu yang sangat indah dan mempesona yang bahkan aku sendiri jatuh dalam pesona itu. Pesona yang mematikan.

Dia yang baru saja mengakhiri acara saling memandang itu membuatku menoleh kesal. Sialan!. Bahkan aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri saat menatap matanya. Dapat kurasakan tubuhku yang panas dingin hanya dengan menatap matanya. Shit!. Kenapa fantasi-fantasi liar itu datang disaat yang tidak tepat?.

"Ah iya aku lupa... tanganmu juga terluka". Lalu ia melangkah mendekat dan mengambil alih senampan sarapan yang ada disisiku.

Tiba-tiba saja dia menyodorkan sesendok bubur ke arah mulutku. Aku yang menatapnya datar, memperhatikan tingkahnya. Apa dia pikir aku tidak bisa melakukannya dengan kedua tanganku sendiri?.

"Ayo. Buka mulutmu" ucapnya sambil kembali menyodorkan. Matanya tetap memperhatikanku. Aku masih bergeming memperhatikannya. Aku terlalu menikmati disetiap detik menatap wajahnya. Hingga wajahnya berkerut tanya karena mataku terlalu terpaku menatap wajahnya.

"Ada apa denganmu? Ayo buka mulutmu. Akan ku suapi. Lalu ada apa dengan tatapanmu itu? Apa ada sesuatu diwajahku?" . Tanyanya beruntun. Aku masih bergeming memperhatikannya. Hingga ia menghela nafas berat. Sepertinya ia jengah dengan ekspresiku. Dia memutar bola matanya dan menurunkan kembali sendok yang disodornya. Dan menatap malas ke arahku.

"Kau pikir aku tidak mampu melakukannya?" ucapku tajam karena masih kesal dengan tingkahnya yang berlagak akan menyuapiku.

Wajahnya terlihat dengan jelas kesal dengan pipi yang sedikit menggembung menggemaskan. Mencebikkan bibirnya tanda ia tidak suka dengan balasanku. Bahkan hanya dengan wajahnya seperti itu membuat hatiku terasa aneh dan juga sedikit... senang. Sedikit banyak aku suka dengan tingkahnya. Tapi sedikit banyak juga aku merasa terhina disaat yang bersamaan.

"Aku yakin kau mampu melakukannya. Kau sangat kuat. Aku tahu itu. Bahkan kau dapat menahan semua luka itu sendirian hingga kau... ehm---pingsan. Tapi aku hanya tidak ingin kau terluka lagi dan mengeluarkan darah. Kau tau, menggantikan perban dipunggungmu itu sedikit sulit saat kau tertidur. Dan diperutmu juga. Tapi sepertinya melihatmu yang sedari tadi menatap sinis ke arahku, sepertinya menandakan bahwa kau baik-baik saja..." ucapnya panjang. Sambil kembali mengangkat mangkuk yang berisi bubur itu dan sendok yang ada didalamnya.

"Kau mengejekku? Apa kau tau, perkataanmu membuatku tersinggung?" tanyaku dengan bola mata yang mengibarkan bendera kemarahan. Apa-apaan perkataannya itu?! Pingsan?! Aku hanya sedikit kehilangan kesadaran!. Dan lagi pula, aku tidak sadar hanya beberapa jam. Dan dia berkata itu seperti ingin... menertawakanku?.

"Ahahahaha... sudahlah, buka saja mulutmu. Atau acara sarapan ini akan berlangsung hingga malam hari" ucapnya kembali menyodorkan sendok itu. Aku semakin mengerutkan dahi tak suka. Menaikkan alisku sebelah sambil menatapnya remeh.

"Kau mengancamku?". Kembali ia memutar bola matanya.

"Jika benar, kau sepertinya tau bahwa aku bukanlah orang baik-baik dan tidak akan segan-segan----".

"Just open your mouth please... we're wasting our time" ucapnya jengah.

Ku menghela nafas berat dan terpaksa, membuka mulutku perlahan padanya. Membuatnya memasukkan makanan itu kala mulutku sudah cukup lebar untuk sendok itu. Hingga terpaksa kembali ku kunyah dan menelan makanan hambar itu. Sekalian menelan bulat-bulat rasa amarah dan kesal yang mendesak ditenggorokkanku. Baru kali ini ada yang berani memotong ucapanku bahkan mengancam ku. Dan aku tidak suka itu.

Entah mulut yang salah atau memang makanannya yang tidak memiliki rasa sedikitpun. Atau mungkin juga karena rasa kesalku membuat makanannya tidak terasa apapun.

Tapi entah kenapa aku tidak keberatan dengan hal itu. Bahkan aku menikmatinya. Sedikit fakta bahwa aku cukup terhibur dengan kehadirannya dan ocehan cerewetnya seperti tadi.

Keheningan menyambut kala ia menyuapiku. Membungkam mulut masing-masing mungkin yang dipenuhi dengan banyaknya pertanyaan. Memutar otaknya yang saat ini tengah menatapku. Aku tau, pasti banyak hal yang ingin ia tanyakan padaku. Hingga tak terasa, sarapan yang ia berikan sudah tak bersisa disana. Dan sudah masuk tercerna olehku.

"Sudah. Sekarang kau harus berbalik karena aku akan menggantikan perbanmu" ucapnya seraya bangkit mengambil kotak P3K yang berada tergantung disamping pintu. Yang entah kenapa ku turuti saja apa perkataannya tanpa ku pikir ulang.

Membalikkan tubuhku dan menghadapkan punggungku padanya. Apalagi yang salah denganku?!. Bahkan jantungku berdetak kencang kala membayangkan tubuhnya merapat dibelakangku.

Perlahan ia buka perban yang melilit sebagian tubuh atasku dan menampakkan sebuah luka yang dalam dan panjang seperti sebuah sayatan. Sayatan yang tajam dan menyakitkan yang pasti bukanlah dengan senjata kecil-kecilan. Sepertinya ia akan menanyakan itu.

"Hei... ini akan sedikit sakit. Jadi kau harus menahan ya... lukamu cukup besar" cemasnya yang sepertinya dia juga ngeri melihat lukaku.

"Hmm". Ku jawab seraya menganggukkan kepala samar dan gumaman singkat. Saking samarnya aku percaya ia takkan melihatnya.

Ku rasakan sebuah benda dingin ia oleskan ke sumber rasa perihku. Perlahan jari lentiknya mengobati lukaku. Hingga tak sengaja ia sedikit menekan luka yang sedari tadi cukup berdenyut nyeri. Dan membuatku refleks meringis tertahan mengingat perkataannya tadi.

"Tahan sedikit lagi ya..." ucapnya mencoba menenangkanku. Ku terdiam. Membuatnya melanjutkan kembali mengobati lukaku dan membalutnya kembali dengan perban. Yang membuat perban itu menutupi sebagian dada dan perutku.

Ia kembali ke hadapanku saat dirasanya ia sudah menyelesaikan tugasnya mengobati lukaku. Menatap wajahku yang masih memasang ekspresi datarnya. Matanya menatap wajahku cemas. Ku tersenyum. Bukan diwajahku. Tapi dalam batinku. Ternyata, ia tidak berubah. Masih seperti dulu.

"Sekarang waktunya kau mendongakkan wajahmu. Aku akan mengobati luka yang ada diwajahmu" ucapnya sambil memperhatikan satu persatu luka yang ada diwajahku.

Dari mulai sudut mata, sudut bibir, tulang pipi dan beberapa lebam disana... dan juga pelipis. Yah, pasti kalian dapat memprediksi penyebab dari luka-lukaku ini.

Perlahan ia olesi luka tersebut satu persatu. Membuatnya memajukan wajahnya sedikit agar lebih leluasa mengobati wajahku. Yang membuat mataku terpaku pada satu hal. Wajahnya. Bahkan tidak berubah sama sekali. Rasanya aku sangat senang dan sangat beruntung bertemu dengannya lagi. Tapi tiba-tiba saja ia otakku memutar berpikir.

"Hei..." panggilku padanya. Yang ia jawab dengan deheman karena masih berkutat pada luka yang ada di pelipisku.

"Apa kau tidak takut denganku?" tanyaku dengan nada yang sangat datar. Tiba-tiba saja tangannya yang sudah berpindah mengobati luka yang ada disudut mataku terhenti. Entah kenapa ia terkejut aku mengatakan itu. Lalu setelah beberapa detik ia terdiam, tangannya kembali bekerja. Mungkin aku baru saja mengingatkannya bahwa aku ini orang asing.

"Apa kau ingin menjahatiku? Sepertinya kau melupakan perkataanku tadi malam. Atau kau lupa seluruh kejadian tadi malam?" tanyanya kembali dan tidak menjawab pertanyaanku. Membuatku mendengus sebal karena terasa seperti terabaikan.

"Aku orang asing" tajamku padanya. Menekankan kembali hal yang sebenarnya ku pertanyakan sejak tadi malam. Ia menghela nafas ringan. Seraya tersenyum. Menundukkan matanya dan menatap mataku lembut. Dan sialnya! Jantungku berdegup cepat karena hal itu. Ia menepuk pelan luka yang berada disudut mataku.

"Dan sialnya aku, entah kenapa aku merasa bahwa kau bukanlah orang asing. Jadi, aku tidak menaruh rasa curigaku padamu. Tapi karena kau mengingatkanku akan hal itu, sepertinya aku harus berterima kasih..." . ku tertegun akan jawabannya.

Hingga mata itu menatapku lekat. Nafasku hampir saja memburu saat aku tidak dapat mengendalikan tubuhku sendiri. Untungnya itu tidak terjadi.

Matanya memakukan pandanganku. Membuatku kembali tenggelam dalam matanya seperti 7 tahun lalu. Dia tidak berubah. Perempuanku tidak berubah. Akhirnya aku bisa meyakinkan diriku. Ia benar milikku. Milikku yang dulu pernah hilang. Akhirnya telah kembali. Dan aku takkan pernah membiarkan kau menghilang dan pergi untuk kedua kalinya. Tidak akan.

TING! TONG!

Suara bel berbunyi yang sialnya memutus pandangan kami yang terpaku beberapa saat lalu. Membuatku mengerutkan dahi tak suka pada pengganggu yang datang itu. Shit! Aku semakin tidak terkendali saat berada disampingnya. Kenapa ia selalu membuatku seperti penjahat jika berada didekatnya?!. Sialan!.

"Tunggu sebentar..." ucapnya seraya berbalik meninggalkanku.

Ingat saja Em, kau tidak akan pernah pergi atau lari lagi dariku. Tidak akan pernah. Dan jika kaulah yang ingin pergi dariku, maka kematianlah yang akan menjemputmu untukku.

••••••

CEKLEK!

"Hai Em..." sapa seseorang setelah ku bukakan pintu apartemenku untuknya. Seseorang yang baru saja tadi malam rela menolongku tanpa susah payah. Ya, dia Jo.

"Hai too Jo..." jawabku sambil membukakan pintu apartemen dan membiarkannya masuk.

"Bagaimana keadaannya?" tanyanya setelah dia masuk dan melangkah menuju ruang tamu. Ku menghela nafas ringan.

"Dia baik-baik saja... bahkan sepertinya dia sudah sadar" ucapku berhenti beberapa meter dihadapannya setelah ia duduk nyaman disalah satu sofaku.

"Ah maaf... tadi malam aku sedikit mabuk dan sedikit lupa dengan apa yang terjadi tadi malam. Kalau boleh tau, sebenarnya... apa yang terjadi?" tanyanya menatap ragu ke arahku. Seraya mengusap tengkuknya dan sesekali mengalihkan pandangannya dariku. Ku terdiam dengan pertanyaannya.

"Ah! Tidak ada apa-apa. Dia hanya salah satu teman tetanggaku yang mabuk juga sepertimu. Tidak usah khawatir" ucapku santai yang ia balas dengan anggukan beberapa kali.

"Jo, ku tinggal sebentar tidak apa-apa ya. Aku ingin ke kamarku terlebih dahulu..." ucapku tanpa basa-basi langsung pergi ke kamar. Dijawabnya dengan anggukan lalu bersandar disandarkan sofa empukku.

'Ya tuhan! Aku lupa dengan luka yang ada dibagian perutnya!' . Dan karena alasan itulah aku sedikit terburu-buru menuju kamarku. Bermaksud untuk segera mengobati perutnya itu sehingga selesai sudah tugas mengobati luka-lukanya. Tapi sepertinya itu tidak perlu.

CEKLEK!

Saat ku buka pintu kamarku, aku terkejut.

Keadaan kamarku rapi. Tidak berserakan atau bahkan berantakan seperti tadi. Bahkan kapas-kapas bekas aku mengobatinya dan darahnya yang sedikit berceceran kemarin malam pun hilang entah kemana. Sangat-sangat rapi hingga seperti tidak pernah terjadi apa-apa dikamar ini. Dan ini semua pastinya karena ia.

Seseorang yang 10 menit yang lalu berada dikamar ini dan kini sudah menghilang bak ditelan bumi. Bahkan dia tau dimana aku menyimpan barang-barangnya tanpa bertanya terlebih dahulu. Membuatku entah kenapa tidak merasa aneh atau takut. Malah aku merasa sedikit sedih dan kecewa karena kepergiannya. Dia hanya orang asing Emily, yang sayangnya terluka dan jatuh dihadapanmu tadi malam.

Ada apa denganku?. Apa aku mengidap Stockholm Sindrome? Tapi bukannya itu adalah kisah cinta antara seorang penculik dan korbannya?. Lalu yang ku rasakan, sindrom apa?.

Aku tidak bodoh untuk menanyakan tentang luka yang didapatkannya. Bahkan semua orang bisa mengetahuinya bahwa luka dalam seperti itu tidak mungkin karena sebuah kecelakaan. Luka sayatan tajam melintang dari bahu hingga punggung belakangnya. Tusukkan yang cukup dalam dibagikan perutnya namun untungnya tidak terlalu parah. Memar diwajahnya dan juga retak tulang hidung, sudah bisa dipastikan bahwa semua jika itu tidak lain karena sebuah perkelahian.

Melihatnya dengan kuat menahan semua luka yang bahkan jika orang lain mengalaminya pasti akan pingsan atau meninggal ditempat. Tentu melihat hal itu menandakan bahwa ia bukanlah orang biasa. Apalagi melihat tubuhnya yang atletis dan juga banyak bekas luka yang hampir sama sebabnya. Pasti dia sudah biasa mendapatkan hal semacam ini. Tapi kenapa aku masih mengkhawatirkannya?.

Aku yang sedari tadi bergelut dengan pikiran ku akhirnya menghela nafas pasrah. Berusaha tidak berharap atau bahkan menginginkan sesuatu yang lebih. Dengan sedikit menyimpan sedikit ingatan tentang wajah dan raganya, sepertinya cukup. Apalagi, masih ada satu hal lagi yang ingin ku tanyakan.

Kenapa dia seterkejut itu melihat foto masa kecilku?. Ya aku tau ini mungkin hanya perasaanku saja. Tapi aku tidak salah saat melihat matanya yang sedikit membelalak saat menemukan foto yang ku letakkan di meja belajarku ini. Apa ia mengetahui sesuatu tentang hal ini?.

Ku kembali menghela nafas lelah dan kesal. Sepertinya aku memang hanyalah suatu kebetulan yang menjadi keberuntungannya.

Saat ku akan menutup pintu kamar, tak sengaja mataku menangkap sesuatu. Sesuatu kecil yang tergantung dilampu tidur kamar yang berada diatas nakas. Sebuah kertas. Hingga langkahku perlahan membawaku mendekatinya. Ku lihat kertas itu dengan seksama dan mengambilnya perlahan.

'Terima kasih. Jangan pernah kau membawa orang asing selain aku. Cukup aku saja. Aku pergi.... -C'

Tulisannya membuat mataku melebar. Kata-katanya entah kenapa seperti menyiratkan kalau dia mengkhawatirkanku. Mungkin memang aku yang terlalu percaya diri. Tapi aku tidak keberatan kalaupun tidak.

Dan juga... entah kenapa jantungku berdegup kencang sama seperti saat mataku tak sengaja bertabrakan dengan tatapan matanya waktu ku mengobati luka yang berada disudut matanya.

Tatapannya... Persis seperti anak itu. Anak yang selalu ku ingat dan selalu muncul dalam mimpiku. Bahkan aku masih menunggunya seperti yang ia suruh. Memegang janjinya berharap suatu saat nanti dia akan datang dan menepatinya. Menunggu dengan bodohnya yang sampai sekarang saja aku tidak bisa mengingat wajahnya. Dan kedatangan laki-laki itu cukup mengejutkannya. Memang sedikit menyeramkan jika dibayangkan. Tapi anehnya aku sangat senang karena ia akan kembali.

Ku perlahan menggelengkan kepalaku. Mencoba menghilangkan bayang-bayang itu yang menghantuiku selama 12 tahun ini. Berhenti berharap dan berkhayal bahwa laki-laki itu adalah anak yang selama ini ku cari. Ku menatap tempat tidurku. Terdiam lama. Hingga tak sadar, senyum yang lama telah hilang... tanpa sadar perlahan hadir kembali.

••••••