07:10 AM, at Duchess Cafe.
.
.
.
.
KLING!!
"Pagi Em!". Sapaan menghampiriku sesaat bel pintu cafe berbunyi. Menandakan bahwa baru saja ada orang yang memasuki cafe tempat ku bekerja saat ini. Membuatku menoleh dan membalas senyum manisnya.
"Pagi Jo! Tidak biasanya kau terlambat Jo. Ada apa?" tanyaku setelah membersihkan beberapa meja terakhir. Bersiap menghampiri pintu cafe untuk memasang tanda buka. Sebenarnya bukan terlambat, cuma biasanya ia pasti datang lebih dulu daripada aku. Bahkan cafe ini belum buka sama sekali. Jadi, dia tidak terlambat.
"Ahaha... aku mabuk kemarin malam karena merayakan sepupuku yang akan tunangan lusa nanti... Ah! Em... aku diundang ke sana. Dan tidak ada pasangan. Kau mau ikut?" tawarnya seraya menghampiriku yang sudah membalikkan tanda tutup menjadi tanda buka. Membuatku membalikkan badan dan menghadap ke arahnya. Ia masih berdiri dihadapanku. Tersenyum manis mencoba membujukku.
"Oh ayolah Jo! Kau tau aku tak suka pesta... kalau kau mengajakku ke hutan dan berpetualang... aku takkan berpikir dua kali..." ujarku melaluinya dan menuju kasir. Mempersiapkan semuanya takut ada yang terlupa.
"Ayolah... hanya untuk sekali ini saja. Dan aku akan mengabulkan 1 permintaanmu. Berminat?" tawarnya yang membuatku langsung menghadap senang ke arahnya.
"Apapun?" ucapku memastikan.
"Asal kau masih meminta sesuatu yang wajar, ya... akan ku pertimbangkan" ucapnya sambil mengedikkan kedua bahunya. Membuat wajah senangku berubah langsung menyebal. Huh... tau seperti ini aku tak perlu berharap. Padahal aku ingin sekali memintanya memakai bikini nanti saat aku datang ke pestanya. Dan beruntungnya, ia sangat tau sifatku.
"Hahaha... baiklah baiklah. Apapun yang kau inginkan asal masih masuk ke dalam ranah dompetku akan ku belikan..." ucapnya sambil mengacak-acak rambutku.
"Janji?" . ku sodorkan kelingking jari kananku ke arahnya.
"Janji". Dan kelingking kami bertautan. Menerbitkan senyum manis yang sempat ku hilangkan tadi. Ku lihat wajahnya terdiam menatapku yang ku balas dengan kekehan.
"Hihihi... apa wajahku secantik itu dimatamu sampai kau tidak berkutik seperti itu?" ucapku sambil melipat kedua tangan diatas dada setelah melepaskan tautan jari tadi. Membuatnya tersadar dan seketika langsung memalingkan wajahnya yang memerah. Membuatku rasanya semakin ingin menjahilinya.
"Ya.. ya aku akan berbohong jika bilang kau jelek. Tapi kau itu tidak secantik yang terlihat. Dan lihat saja... bahkan dadamu yang tidak ada apa-apanya seperti itu. Dan itu sama sekali bukan tipe yang ku inginkan. Jadi... jika kau menyukaiku, maaf aku akan menolakmu" ucapnya dengan percaya diri sambil berlalu masuk ke dapur. Melambaikan tangannya seperti mengusirku. Membuat kedua tanganku terkepal kesal disamping tubuhku.
"What the... Hei! Dasar manajer sin---".
KLING!!
"Ah maaf... apa cafe ini sudah buka?" tanya seorang pelanggan yang baru saja membuka pintu cafe. Membuatnya memotong ucapanku dan membuat manager gila itu meloloskan diri. Ku tatap pelanggan itu dengan malu dan tersenyum kikuk kepadanya. Ya, aku sangat malu akan teriakanku tadi yang sepertinya ia dengar. Dan sialnya, pipiku mudah sekali memerah. Bahkan hanya karena malu seperti ini?! Astaga.
"I-iya... sudah buka. Silahkan masuk!" ucapku mempersilahkan. Membuat seseorang yang baru saja memasuki dapur tertawa keras karena merasa menang melawanku. Tapi lihat saja, aku pasti akan membalasnya.
"Aku pesan 1 Frappucino dan 3 Croissant...".
"Semuanya jadi 10 dolar... Terimakasih".
••••••
"Em! Buatkan 5 Espresso dan juga 2 Coffe Latte atas nama Sally. Jangan lupa seluruhnya Less Sugar!" teriak Alana saat ia sedang menggantungkan kertas pesanan ke hadapan Emily, diliriknya juga Jo yang sedang melayani kasir karena penuhnya pelanggan.
Karena kemarin ada seorang Food Vlogger terkenal datang mengunjungi cafe mereka dan review-nya bagus, itulah sebabnya hari ini cafe kami benar-benar dipenuhi dengan pelanggan. Bahkan ada yang sampai rela mengantri karena saking penuhnya. Antara senang dan kelelahan, ku sisir pandangan ke sekitar. Ahh.. sudah lama sekali cafe ini bisa penuh pelanggan seperti ini. Dan itu adalah kabar yang sangat bagus. Bisa-bisa akan ada acara makan malam setelah ini.
"5 Espresso dan 2 Coffe Latte atas nama Sally!" seruku memanggil pelanggan yang memesan itu. Hingga datang sepasang remaja yang masih memakai seragam SHS mereka.
"Terima kasih!" ucapnya seraya berlalu. Ku tersenyum menghela nafas. Lalu kembali melarikan diri ke tempat ku bekerja tadi.
Setelah 4 jam lamanya kami bekerja, akhirnya tiba juga saatnya cafe tutup. Menyisakan aku, Jo, Alana dan Michael yang terduduk kelelahan setelah berlarian mengantar pesanan. Yap, Alana dan Michael adalah seorang pelayan dicafe ini. Dan aku sendiri sudah pasti kalian bisa menebaknya.
Ya, seorang barista. Sebenarnya masih ada satu barista lagi yang mendampingiku. Tapi ia cuti karena istrinya melahirkan. Yah kau taulah, kalau istri kalian itu melahirkan... kalian harus siap siaga selama 24 jam. Dan itu lebih melelahkan daripada bekerja tanpa henti seperti tadi. Benarkan?.
"Huft... hari ini sangat melelahkan" ucap Alana setelah ia menjatuhkan diri di salah satu kursi terdekat. Menyandarkan dirinya dengan wajah penuh keringat kelelahan.
"Kerja bagus teman-teman... karena hari ini peningkatan pelanggan yang membeludak, dan juga kerja keras kalian yang sangat membuahkan hasil... Lusa malam nanti kita akan mengadakan pesta daging dirumahku... mau?" tawar Jo yang baru saja keluar dari dapur belakang. Menyingsingkan tangan kemejanya yang sedari tadi sedikit menyusahkannya. Dan sontak saja, semua mata pegawainya itu berbinar-binar. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran seperti itu?.
"Gratis?" sahut Michael. Yang dijawab dengan anggukan sang manajer.
Sorak riuh memenuhi ruangan. Membuat atmosfer cafe tersebut kembali cerah kala ia sedikit suram tadinya. Menerbitkan senyum di masing-masing wajah yang tidak peduli dengan peluh lelahnya. Ya, cafe ini sangat menjunjung tinggi kekeluargaan. Dan untungnya... kita semua setuju akan hal itu.
"Siapa yang punya alat memanggang?" tanya Jo.
"Aku ada!". Ku acungkan tanganku. Membuat semuanya semakin melebarkan senyumannya.
"Baiklah... tidak ada yang diperlukan lagi. Jika kalian sudah tidak ada kerjaan. Kalian boleh pulang" ucap Jo lalu ia pergi masuk ke dalam dapur. Membuka sebuah pintu yang langsung berhadapan dengan sebuah kantor. Ya, kantor manajer berada didalam dapur. Lebih tepatnya disamping dapur.
Setelah mendengar itu, semuanya beranjak dari duduknya. Menyelesaikan pekerjaan mereka cepat-cepat lalu pergi pulang ke rumah mereka. Yang tinggal menyisakan aku dan Jo.
"Em... aku duluan ya! Jangan lupa berikan kunci pintu belakang pada Pak Manager okey! Bye!". Ia melambai ke arahku lalu pergi dengan senyuman diwajahnya. Membuatku ikut turut membalas senyumnya.
"Ya! Hati-hati Al!" seruku dan ia mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi. Ku sampirkan tas selempang hitamku lalu melangkah ke ruangan Jo.
"Jo... aku akan pulang. Mau pulang bersama?" tawarku.
"Ah tidak... kau duluan saja. Aku masih ada kerjaan" ucapnya sambil kembali memperhatikan layar monitor dihadapannya.
"Kerjaan? Memangnya ada masalah apa?" tanyaku sambil mendekat ke arahnya.
"Ah tidak ada apa-apa. Hanya saja, ada kolega bisnis yang tiba-tiba saja ingin menyewa cafe ini selama beberapa jam untuk sebuah pertemuan. Pertemuan privasi katanya. Makanya mereka memilih cafe kita yang berada diujung jalan ini" ujarnya tersenyum.
"Ah baiklah... aku duluan ya" ucapku pamit. Iapun melambaikan tangannya lalu ku balas dengan hal yang sama. Yang selalu saja mengingatkanku untuk berhati-hati sampai-sampai aku menghafal kebiasaannya diluar kepalaku.
Ku membuka pintu cafe dan berjalan menuju halte bus terdekat. Halte busnya cukup dekat. Hanya perlu menyeberangi satu persimpangan lagi. Dan halte bus tepat didepan mata.
Sekarang jam 9 malam. Dan bisa dipastikan dihari kerja seperti ini, jalanan sudah cukup sepi. Hanya ada segelintir kendaraan yang masih berlalu lalang di jalanan ini. Langkahku berhenti. Ku duduk dikursi halte sambil menunggu bus terakhir yang akan datang beberapa menit lagi. Ku buka ponselku dan membuka beberapa pesan yang masuk didalamnya. Ku balas satu persatu hingga ku menoleh ke sampingku.
Merasakan adanya pergerakan memang benar adanya seseorang yang ikut duduk disampingku. Berpakaian hitam-hitam bahkan sampai memakai masker dan topi yang dibalut hoodie hitamnya. Disandarkan kepalanya ke tembok halte. Ku menatapnya dengan raut bingung dan juga cemas. Karena melihat wajahnya yang menampakkan beberapa lebam di bagian pelipis dan pipi atasnya, dan juga luka disudut matanya yang masih mengeluarkan darah.
"Um... permisi" ucapku membangunkannya. Ia yang tadinya memejamkan mata, langsung saja membuka dan menatapku tajam.
Ya tuhan, matanya biru sekali!. Rasanya aku tertarik kedalam mata birunya yang sangat jernih itu. Aku yang melihat tatapan itu langsung saja mengerjap beberapa kali untuk menyadarkan. Hingga tatapannya yang masih menatapku sangat tajampun mendelik. Jika saja tatapan itu adalah pisau, maka sudah dipastikan aku akan pulang dengan tinggal nama.
"Ka-kau baik-baik saja?" tanyaku mencemaskan. Ia kembali menatapku tajam. Aku yang melihatnya tidak menjawab sama sekali melainkan menatap wajahku dengan tatapannya yang masih sama. Mungkin bibirnya juga terluka.
Ku angkat tanganku untuk menggapai wajahnya. Mencoba untuk membuka maskernya dan memeriksa luka-luka yang ada diwajahnya. Bahkan sarung tangannya sedikit berbau amis dan lengket.
Apa ini darah?. Benar-benar darah?. Separah itukah ia terluka?. Apakah ditubuhnya juga masih ada luka lain yang lebih parah dari ini?. Apa dia habis bertengkar?. Atau habis berburu?. Tapi mana hasil buruannya?. Atau jangan-jangan dia habis diserang hewan liar?!. Apa dia baik-baik saja?. Karena memang setahuku disini ada hutan terdekat yang dihuni beberapa hewan liar. Kalau begitu dia harusnya cepat-cepat diobati!. Bukannya malah tertidur ditempat seperti ini!.
Aku yang melihat tangannya yang menutupi bagian perutnya terkejut. Dan lebih terkejut lagi saat tangannya mencengkram tangan ku erat yang ingin membuka maskernya. Cengkramannya sangat kuat hingga aku merasakan sakit di pergelangan tanganku.
"Apa yang kau lakukan?" desisnya menatapku semakin tajam. Ku coba menarik tanganku yang cengkramnya namun sepertinya sia-sia.
"Aku hanya ingin menolongmu. Kau terluka!. Ayo! Ikutlah ke rumahku!. Akan ku obati lukamu" ucapku sambil bangkit dan menarik tangannya yang mencengkram ku. Dengan kuat ia hempaskan hingga tubuhku sedikit limbung. Matanya masih menatapku tajam.
"Kau tidak takut padaku?". Tiba-tiba saja ia bangkit dan mendekat ke arahku. Dan aku baru menyadari, bahwa tubuhnya sangat tinggi. Bahkan aku saja hanya setinggi dadanya.
Apa dia baru saja mengintimidasiku?. Hei! Tinggiku sekarang bertambah menjadi 158 senti ya! Aku tidak sependek itu!. Oke, aku tersinggung kalau menyangkut masalah tinggi badan.
"Untuk apa aku takut padamu?! Memangnya kau mau menjahatiku! Aku akan mengatakannya padamu dari awal... aku tidak punya apa-apa. Kau malah akan rugi untuk menculikku karena harus menampungku dan memberi makan. Ayo! Ikut denganku!" ucapku sambil kembali menarik tangannya.
Entah terbuat dari apa tangannya. Yang pasti tangannya sekeras batu. Hingga aku terjengkang dan jatuh ke tubuhnya. Aku yang merasa kesal padanya, langsung saja bangkit dan menatapnya tak kalah tajam. Sepertinya tubuhnya terbuat dari batu.
"Pergilah" tajamnya bangkit lalu melenggang pergi begitu saja. Baru saja beberapa langkah ia ambil. Tubuhnya ambruk. Jatuh tengkurap hingga beberapa menit setelahnya, ia tak bangun lagi. Shit! Ia pingsan. Aku mendengus pelan.
"Dasar keras kepala!". Ku melangkah mendekatinya. Mengangkat lengannya dan menyampirkannya ke bahuku.
"What the fuck!---". Baru saja aku akan berdiri menopang tubuhnya.
BRUKK!!
Aku terjatuh. Bahkan tubuhku tertindih dibawah tubuhnya yang sangat berat itu. Kedua tanganku terjebak diantara bahunya. Ku menghembuskan rambut poniku jengkel. Memangnya apa yang dia makan?! Batu?!.
Tubuhku menggeliat dan terus berusaha agar bisa lepas darinya. Setidaknya tubuhnya yang seperti sekarung beras itu beralih ke sisiku atau jatuh ke sampingku. Dan dengan penuh perjuangan, akhirnya kedua tanganku berhasil bebas sempurna. Dengan susah ku meraih tasku yang terlempar ke atas kepalaku dan mengambil talinya.
'Apa-apaan tubuh ini?! Kenapa rasanya berat sekali?!. Jadi benar kalau dia itu terbuat dari batu? Arghh! Aku bisa gila karena hari ini!'. Gerutuku dalam hati. Ku tatap tubuh yang tergeletak diatas jalan itu tajam. Melihat keadaannya yang sangat mengenaskan membuatku tak tega. Ku bangkit degan kesal. Mengobrak-abrik tasku yang sedikit kotor lalu mengeluarkan ponselku darisana. Menekan beberapa nomor untuk memanggilnya lalu mendekatkannya ke telingaku. Menelfon seseorang.
"Halo... Jo? Apa kau masih disana?" ucapku setelah panggilan tersambung. Ku menghembuskan nafas kasar karena merasa sesak akibat tubuh tak bersalah yang berada diatasnya ini.
"Ya, Em... ada apa?".
"Jo! Aku butuh bantuanmu! Jemput aku! You better hurry Jo!".
••••••