Chereads / implicit: it's just you and me / Chapter 31 - Yang terjadi setelahnya.

Chapter 31 - Yang terjadi setelahnya.

***Sudut Pandang Hana***

Malam itu, kami ditemukan oleh monster yang selama ini kami coba lari darinya. Tidak kusangka Faris bisa begitu kejamnya kepada orang. Saat Rey sedang dihajar habis-habisan olehnya, aku tidak bisa melakukan apapun. Aku hanya melihatnya dan menyerukan namanya berkali-kali.

"REY!!!"

Dia mengahantam kepala Rey berkali-kali hingga babak belur, sebelum akhirnya Faris menusukkan pisaunya ke perut Rey. Darahnya mulai membuat bajunya basah dan berubah menjadi luntur warna darah, begitu juga pada lantai, darahnya terus menyebar ke seluruh bagian tubuhnya.

Takut, lemas, dan ngilu.

Itu lah yang aku rasakan.

Tanpa sadar, aku sudah banjir tangisan. Namun tiba-tiba Faris berhenti bergerak, seseorang menodongkan pistolnya ke kepala Faris.

"Lepaskan pisaunya, sekarang!" Tegas orang itu.

Faris lalu melakukan yang orang itu perintahkan.

"Sekarang menjauh darinya, dan tiarap dengan tangan dilipat ke kepala!"

Lalu Faris berdiri dan berbaring terlentang dan melakukan persis yang disuruh oleh orang itu. Setelah kulihat, sepertinya orang itu pihak keamanan mall ini yang berseragam hitam. Tak lama ada seseorang lagi yang menepuk pundakku, aku terkejut.

"Jangan khawatir, semuanya sudah aman.." Ujarnya.

Ternyata orang itu adalah Taufik. Dia pasti yang membawa pihak keamanan itu. Aku lalu teringat dengan Rey, lalu aku langsung segera menghampiri Rey yang terlihat sudah tidak sadar itu. Dia bahkan tidak melihat ke arahku, hanya melihat tepat ke langit. Tangannya juga mulai terasa dingin.

Walaupun cukup lama, ambulans akhirnya datang dan membawa Rey ke rumah sakit terdekat. Aku mengikuti ambulans bersama Taufik yang menyetir mobilnya. Sepanjang jalan Taufik mencoba menenangkanku dengan kata-katanya, tapi tetap saja, aku tidak bisa tenang begitu saja. Pada malam itu aku tidak melihat wajah Rey sampai pagi hari. Aku tidak bisa tenang memikirkan Rey. Aku memberitahu pamanku dan Rena. Untungnya Pamanku masih ada di Jogja, dia langsung mendatangiku. Pamanku menenangkanku dan menyuruhku untuk pergi ke mobilnya untuk tidur. Namun aku tidak bisa tidur, aku melihat-lihat foto yang aku ambil bersama Rey. Aku tidak bisa berpikir hal positif, hanyalah takut Rey akan meninggal. Sembari melihat-lihat fotonya, aku menangis, seakan-akan tidak akan melihatnya lagi.

Rey...

Tolong..

..jangan tinggalkan aku.

Esok paginya, aku dibangunkan oleh Pamanku. Dia bilang bahwa Rey sedang beristirahat, masih belum boleh dijenguk. Aku hanya bisa melihatnya dari kaca jendela pintu kamar tempat ia sedang berbaring. Aku sedikit lega, bahwa Rey masih bisa diselamatkan. Aku tidak tahu lagi jika pada malam itu adalah malam terakhirku bisa melihatnya.

Siang harinya, Ayahnya Rey dan Rena akhirnya sampai ke rumah sakit. Sepertinya mereka ke sini dengan pesawat, aku juga baru kali ini melihat wajah ayahnya yang begitu pucat dan terlihat sangat panik. Rena juga sama. Namun setelah aku memberitahukan mereka bahwa Rey baik-baik saja, mereka berdua serentak menangis. Aku mengerti. Setelah kehilangan istrinya, pastinya dia tidak ingin kehilangan lagi, apalagi itu adalah anak kandungnya sendiri.

Malam hari tiba, kami sudah diperbolehkan untuk menjenguk dan menjaga Rey. Rena dan Ayahnya tertidur di sofa yang ada di kamar itu. Sedangkan aku berada di pinggir kasurnya Rey, menunggu dia akan terbangun lagi. Kata suster, Rey sempat beberapa kali terbangun dan menyebut namaku. Aku melihat wajahnya yang masih terdapat bekas pukulan Faris, meskipun begitu, wajahnya terlihat terlelap dengan tenang, tidak ada beban yang dipikirkannya.

Aku merasa melihat wajahnya ini...

...tidak ingin berpaling.

Seakan-akan ini adalah pemandangan yang langka.

Padahal aku sudah sering melihat wajahnya dari dekat.

Tapi kali ini rasanya berbeda...

Apa ini yang disebut takut kehilangan?

Aku lalu menggenggam tangannya yang dingin itu. Sinar bulan yang terang masuk menyinari kamar ini, sebuah momen yang begitu indah. Tapi rasanya hampa, entah mengapa. Tiba-tiba aku sedikit terkejut, tanganku digenggam oleh tangannya Rey.

"Rey?" Panggilku.

"Ngeliatin apa sih?" sahutnya.

Namun matanya masih tertutup.

"Eh?! Rey? Kamu barusan ngomong?"

"Engga. Setan kali.."

Aku lalu mencubit tangannya.

"Atatatatat! Iya, iya! Itu aku.." balasnya dengan kesakitan.

"Rey!!!!" Teriakku dengan senang.

Rena dan Ayahnya Rey terbangun, mereka langsung terlihat senang dan menghampiri Rey.

"Kakak!" Ujar Rena.

"Iya, Rena. Aku di sini.." sahur Rey.

"Syukurlah. Bagaimana keadaanmu? Sudah baikkan?" Tanya Ayahnya.

"Lumayan sih, tapi masih terasa perih dibagian perut.."

"Iya. Lukanya cukup dalam dan luas, jadi sekiranya kamu akan di rawat selama seminggu.."

"Seminggu? Yah, gabisa liburan dong..."

Seketika momen haru kami, berubah menjadi tawa. Memang Rey banget. Meskipun dalam keadaan babak belur seperti itu, dia masih bisa memecahkan suasana. Namun tidak berlangsung lama, karena Rey sudah merasa mengantuk, karena itu kami membiarkannya untuk beristirahat. Ayahnya Rey menyuruh aku dan Rena tidur dihotel, beliau memberikan uangnya untuk sewa hotel dan makan malam, sementara ayahnya bilang dia yang akan menjaga Rey malam ini.

Setelah sampai di hotel, kami langsung makan malam di restorannya. Aku jadi teringat dulu saat aku baru pertama kali bertemu dengan Rena.

"Kak Hana.., siapa sih yang buat Kak Eyan jadi begini?" Tanya Rena.

"Faris, namanya. Dia adalah mantanku.., maaf ya" sahutku.

"Ah, engga masalah. Lagipula yang salah Faris itu.."

"Hmm. Awalnya Rey menonjok Faris saat ingin menyelamatkan pergi.., oleh karena itu sepertinya Faris dendam dan ingin membalasnya.."

"Kok rasanya kayak dilebih-lebihkan ceritanya, kek drama aja.."

"Eh? Tapi itu bener kok. Percaya deh.."

Ternyata Rena cukup tenang, aku kira dia akan menangis tiba-tiba. Apalagi Rey sangat ia sayangi, bahkan terkadang aku merasa cemburu. Karena itu aku juga harus bisa tenang, dan tidak menunjukkan rasa khawatirku padanya. Lagipula Rey juga sudah siuman. Setelah selesai, kami pergi ke kamar kami. Kami merasa gerah dan ingin mandi, aku menyuruh Rena untuk mandi terlebih dahulu, baru setelah itu giliranku. Sembari menunggunya selesai, aku membalas pesan ke grup teman-temanku. Aku sudah memberitahukan kepada mereka bahwa Amanda adalah pengkhianat, orang yang memberitahukan lokasi aku dan Rey kepada Faris, dengan kata lain dia adalah mata-mata Faris. Mengingat hal itu, entah mengapa aku merasa sangat bersalah telah menghujatnya seperti itu. Kalau dipikir-pikir, Amanda sama sepertiku dahulu kala. Sesama wanita pelampiasan Faris yang hanya ia manfaatkan.

Mungkin aku sudah keterlaluan ya?

Tiba-tiba aku mendengar seperti bunyi sesuatu jatuh, suaranya berasal dari kamar mandi, aku langsung melihatnya. Ternyata itu adalah Rena yang tidak sengaja menjatuhkan gagang shower.

"Ada apa, Rena?" Tanyaku.

"En-entah mengapa, tanganku bergemetar. Aku tidak kuat memegangnya.." sahut Rena yang seperti kedinginan itu.

Aku lalu menghampirinya, "kalau begitu mandi bareng ya. Aku yang pegang gagangnya.."

Aku lalu melepas bajuku dan ikut masuk ke kamar mandi untuk memandikannya, kami berdua masuk ke dalam dan duduk di bathtub yang berisi air hangat. Aku menggosokkan badannya dengan sabun sembari aku bilas dengan shower yang aku pegang. Aku menggosokkannya ke seluruh tubuhnya, termasuk dadanya.

Lumayan besar juga..

Ini pertama kalinya aku memandikan perempuan, aku tidak mempunyai adik, jadinya aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya.

"Kak Hana..." Ujar Rena.

"Iya?" Sahutku.

"Kenapa kakak terlihat sangat tenang?"

"Eh? Maksudnya?"

"Padahal aku sampai-sampai tidak kuat menahannya.."

Sepertinya aku mengerti maksudnya.

"Siapa bilang? Aku juga terpukul dengan kejadian ini. Apalagi aku melihatnya langsung dengan mataku.."

"Walaupun aku hanya mendengar, tapi aku sangat ketakutan..., Aku bahkan tidak bisa tidur selama perjalanan, Kak. Ayah juga begitu, dia menangis selama kami di pesawat..." Ujar Rena yang mulai terisak-isak.

Aku mengerti yang terjadi, Rena juga pasti sama sepertiku. Mendengar kabar kakaknya yang sangat disayanginya itu, tiba-tiba masuk Unit Gawat Darurat. Aku mengira dia bisa tenang, ternyata dia sama saja. Ya, aku tidak bisa menyalahkannya. Aku juga begitu.

Aku lalu memeluknya dari belakang dan bersandar dipundaknya, "Gapapa. Ayo keluarkan semuanya..".

Rena lama-kelamaan mulai menangis kejer, sangat keras seperti anak kecil. Karenanya aku terbawa suasana, aku juga ikut menangis. Karena itu aku pun tidak tahu apakah air di bathtub ini hangat karena memang hangat atau karena dipenuhi tangisannya dan tangisanku. Setelah sudah merasa lebih lega, Rena berpindah ke belakangku, dia bilang bahwa dia ingin bergantian untuk menggosok badanku dengan sabun juga. Aku lalu memercikkan air ke dirinya, begitupun Rena, kami saling membalas. Tanpa sadar kami sudah melupakan kesedihan dan asik bermain air.

Ah, rasanya seperti mempunyai adik...

Setelah itu kami berbaring di kasur, tidak butuh waktu lama untuk Rena terlelap. Mungkin karena lelah dalam perjalanan, atau mungkin menahan kesedihannya. Tapi sekarang wajahnya lebih rileks seperti tidak memiliki beban. Aku masih terbangun untuk beberapa saat, melihat grup teman-temanku membicarakan dan menghujat Amanda. Namun aku tidak membalasnya, aku sendiri merasa bersalah karena memberitahukan ke mereka. Tanpa sadar, Rena memelukku. Aku lalu meletakkan kacamata dan ponselku di meja. Aku juga memeluknya, ya seperti kelonan dengan Rey. Ternyata berpelukan dengan Rena juga terasa sangat nyaman. Dengan kulitnya yang halus itu perlahan membuatku tidak sadar memejamkan mataku yang mulai mengantuk.

Besok aku akan ceritakan ini pada Rey.

Aku ingin Rena menjadi adikku.

Dibolehin engga ya sama Rey?

Memikirkannya saja membuatku senyum-senyum sendiri...