Pagi hari ini, pada jam pelajaran kedua sebelum istirahat, adalah pelajaran matematika. Gurunya sangat galak, semua siswa di sekolah kami tahu akan hal itu. Namanya adalah Bu Timaris. Ya sebenarnya dia engga begitu galak, mungkin murid-murid yang seringkali bandel dan engga nurut. Salah satu permintaannya adalah buku materi UN, ya, buku yang mati-matian aku dan Rey cari semalam. Sebenarnya sih mudah aja, kalau kamu membawa buku yang diminta, dia tidak akan marah.
Meskipun begitu, dia pada akhirnya marah juga.
Bu Timaris melihat Amanda yang tidak memegang buku UN yang seharusnya ia bawa. Karena itu dia marah-marah, Amanda juga tidak beralasan apapun, dia langsung berdiri di depan kelas.
"Kalian sudah diberitahu kan?! Kalau hari ini saya minta bawa buku UN!" Bentak Bu Timaris.
"Sudah, Bu!" Jawab seisi kelas dengan serentak.
"Lalu mengapa teman kalian ini tidak membawanya?! Tidak ada yang bilang apa?!"
Seseorang perempuan kelas kami mengangkat tangannya, lalu ia berbicara, "Maaf, Bu. Tapi kami sudah memberitahukannya di grup kelas sejak seminggu lalu!".
Bohong banget.
Lalu murid lain mengiyakan perkataannya. Amanda yang berdiri di depan kelas itu hanya diam saja dan menundukkan wajahnya. Seketika pandanganku tentang kelas ini berubah 180 derajat. Mereka semua busuk hingga di akarnya.
Kalian semua sangat menjijikkan,
bermuka dua seperti itu.
"Coba, siapa lagi yang tidak bawa? Cepat maju sekarang!" lanjut Bu Timaris.
Suasana kelas lalu menjadi hening, semuanya hanya diam. Sementara aku merasa geram, tidak bisa diam begini saja. Aku harus melakukan sesuatu, aku tidak bisa membiarkan Amanda seperti ini terus-menerus. Aku lalu berdiri dari kursiku, Novi, Ayu, dan Febi terkejut. Seisi kelas juga langsung melihatku.
"Saya tidak bawa bukunya, Bu!" Ujarku.
"Maju sini!" Sahut Bu Timaris.
Aku lalu maju dengan membawa buku materi UN yang sudah dibeli semalam. Aku belum sempat menamainya dengan namaku.
"Lah ini kamu bawa?" Heran Bu Timaris.
"Ini buku adalah punya Amanda, Bu. Saya meminjamkannya tadi pagi. Semalam saya mencari banyak toko buku, namun masih engga ketemu." Sahutku.
Seketika semua orang terkejut dan heran kepadaku. Suasana kelas menjadi ribut seakan-akan tidak terima dengan yang kulakukan. Amanda termenung kaget melihatku.
"Baik, kalau gitu. Lain kali bawa buku ya!" Ujar Bu Timaris dengan tegas sembari menyabet tanganku dengan penggaris kayu yang selalu ia bawa.
Aku menahan sakitnya, ini lah bukan apa-apanya jika dibandingkan melihat Rey yang hampir dibunuh malam itu.
"Amanda, duduk! Sekarang, Hana berdiri didepan." Lanjut Bu Timaris.
"Baik, Bu." Sahutku.
Aku lalu berjalan ke pojokan kelas dekat pintu, aku memberikan buku itu kepada Amanda. Setelah itu Amanda duduk kembali sedangkan aku berdiri dengan menghadap seisi kelas. Suasananya kelas masih berisik dan ribut, mereka semua tidak terima jika aku menggantikan posisi Amanda.
"Diam semua! Kalau engga diam saya tidak mulai pelajarannya!" Bentak Bu Timaris.
Seketika kelas menjadi hening kembali, karena itu Bu Timaris melanjutkan pelajaran. Aku melihat ke arah tempat dudukku yang ada di pojok belakang kelas. Novi, Ayu dan Febi melihatku, aku tersenyum kepada mereka. Mereka membalasnya dengan senyuman juga, menandakan mereka setuju dengan apa yang kulakukan.
Pelajaran matematika berlanjut, walaupun berada di depan, aku tidak masalah dalam menyerap ilmu dari Bu Timaris. Memang Bu Timaris sangat jago mengajarkan matematika dengan cara paling mudah dimengerti. Sekitar 1 jam setengah aku berdiri, namun aku mencoba untuk kuat menahannya, lagi-lagi aku berpikir bahwa ini bukan apa-apa dibanding kejadian malam itu. Sebelum bel istirahat berbunyi, Bu Timaris menyudahi pelajaran matematika hari ini. Dia lalu membereskan dan membawa kembali banyak buku yang ia bawa.
"Sebelum bel pelajaran habis, Hana belum boleh duduk ya" ujar Bu Timaris.
"Baik, bu" sahutku.
"Selamat siang, kelas.." ujarnya sembari berjalan meninggalkan kelas kami.
Seluruh kelas melihat kepadaku, mereka juga mengawasi sampai Bu Timaris sudah berada cukup jauh dari kelas kami. Tak lama seisi kelas langsung ribut kembali, mulai menghujat Amanda. Namun lagi-lagi Amanda hanya diam menunduk saja.
"Woy! Kok jadi Hana yang dihukum?!"
"Sakit jiwa ya lu!"
"Bisa-bisanya lu digantiin Hana begitu!"
"Tau goblok ga?!"
"Jablay!"
"Gatau diri!"
"Bitch!!"
"Setan!!"
"Mati aja kek lu!"
Terlihat kelas ini sudah tidak lagi memiliki moral, mereka melemparkan kata-kata menyakitkan itu begitu saja. Mendengar kata-kata mereka itu dan melihat Amanda yang mulai mengeluarkan air mata, membuat tubuhku menjadi panas. Aku tidak bisa lagi untuk bersabar, saat ini aku hanya ingin meluapkan emosiku.
"DIAM KALIAN SEMUAAA!!!!!" teriakku sekeras mungkin.
Mereka semua lalu terdiam, mungkin terkejut mendengarku membentak seperti ini. Namun mereka lalu membalas perkataanku.
"Kenapa kamu bela dia, Hana?"
"Jelas-jelas karenanya Rey sampe di rawat"
"Buat apa kamu kasihan sama lacur ini.."
"DIAM! DIAM! DIAAAM!!!!" bentakku lagi.
Bel istirahat berbunyi, lalu muncul suara seperti langkah kaki yang banyak. Sepertinya suaraku cukup keras, hingga membuat murid kelas lain langsung datang dan melihat kelas kami dari pintu dan jendela.
"Kalian tau apa soal Amanda?!" Ujarku.
Aku lalu menatap seisi kelas dengan tatapan kesalku.
"Kalian bahkan tidak tahu kejadian yang sebenarnya! Pada malam itu! Rey dihajar oleh Faris! OLEH FARIS! BUKAN AMANDA!" lanjutku.
"Tapi, karena Amanda, Rey dihajar sampai babak belur begitu, bukan?" Ujar seseorang di kelas kami.
"Iya, benar tuh!!!"
Seisi kelas langsung mendukung perkataan orang itu.
"Sudah kubilang itu bukan salahnya! Mengapa?! Mengapa kalian engga mau ngerti?!" kesalku sembari mulai menangis.
Aku melihat ke pintu kelas kami yang sudah penuh di kerumuni oleh siswa kelas lain, ada Rey di sana. Dia tersenyum dan mengangguk kepadaku.
"Kami mengerti, Hana! Tapi tetap saja, kalau bukan karena betina ini, Rey tidak akan ditemukan oleh Faris! Rey tidak akan di hajar!" Jawab seseorang.
Kelas setuju dengan perkataannya, semuanya seperti tidak memperdulikan apa yang kucoba untuk sampaikan. Kebencian mereka seperti sudah mendarah daging.
"DIAM! Kamu juga, Amanda!"
Aku lalu menghampirinya dan menjambak kerah bajunya, "Kamu kemarin sudah bilang! Kalau kamu akan membela dirimu! Ayo! Katakan sesuatu! Aku sudah teriak-teriak seperti ini membelamu! Katakan sesuatu!"
Namun Amanda hanya diam saja melihatku dengan wajah melasnya itu. Aku lalu melepaskan tanganku, aku menarik mejanya Amanda dan mendorongnya ke arah lain hingga meja itu terguling dan menghasilkan suara yang sangat bising. Entah mengapa amarahku seakan-akan memintaku untuk melakukannya.
"Kalian engga ngerti apa?! Ketika kalian jatuh cinta dengan orang lain! Kalian bahkan akan rela melakukan apapun demi cinta kalian! Itulah yang terjadi pada Amanda! Dia rela melakukan apapun demi Faris! Tetapi, cowok brengsek itu! Cowok brengsek itu tanpa perasaan telah memanfaatkan Amanda! Masih engga paham juga apa?!" tegasku lagi.
Kakiku tiba-tiba melemas, tubuhku mulai tidak seimbang, tanpa sengaja aku jatuh. Namun sebelum badanku mengenai lantai, Rey cepat tanggap dan menahan tubuhku. Novi langsung menghampiriku. Karena itu Rey meminta Novi untuk memegangiku. Rey lalu berdiri kembali dan menatap orang-orang kelasku.
"Aku mengerti dengan pemikiran kalian." Ujar Rey.
"Aku mengerti bahwa kalian tidak setuju dengan perbuatannya. Tapi aku sebagai orang yang menjadi korban pada malam itu, aku sendiri sudah memaafkan Amanda. Aku tahu bahwa karenanya, Faris bisa menemukan aku dan Hana. Tetapi, Amanda tidaklah bersalah, bagi dirinya, dia rela melakukan apapun demi cintanya." lanjut Rey.
Sekelas sepertinya percaya dengan kata-kata Rey, mereka semua diam dan mendengarkan perkataan Rey.
"Kalian juga pasti akan melakukan hal yang sama untuk orang yang kalian cintai, bukan? Karena itu, Amanda memang tidak bersalah. Jika dia memang bersalah, pastinya aku sudah menuntutnya, bukan? Jika begitu, dia tidak akan ada di kelas ini sekarang, dia pasti sudah menjadi tahanan dengan tuntutan percobaan pembunuhan."
Aku lalu sudah cukup tenaga untuk bisa duduk sendiri tanpa dipegangi oleh Novi, sembari beristirahat, aku melihat Rey yang menjadi pusat perhatian.
"Hana juga sudah bilang kepadaku, bahwa dia menyesal telah menyebarkan informasi itu. Pada saat itu Hana sangat terpukul dan tidak berpikir dua kali. Karena itu, aku minta kepada kalian. Bukan hanya kelas ini, tapi semuanya yang mengenal Amanda. Mohon maafkan kesalahan dia, aku saja bisa memaafkannya, kalian juga pasti bisa, bukan?"
"Aku juga sebagai meminta maaf pada kalian semua. Awalnya Hana memang hanya mengatakan informasi itu kepada grup kami. Aku juga sadar, seharusnya kami tidak menyebarkan informasi itu ke orang lain di luar grup kami. Karena itu, kami memohon untuk kalian bisa memaafkan Amanda." Ujar Novi.
Rasanya keren sekali melihat Rey dan Novi membela Amanda seperti ini. Aku merasa seperti adegan dalam anime. Kelas dan kerumunan hanya diam saja, karena itu Rey dan Novi membawaku ke UKS untuk beristirahat. Ternyata teriak-teriak seperti itu menguras cukup banyak tenaga. Bunyi bel selesai istirahat membangunkanku, saat aku menoleh ternyata ada Amanda yang menungguku.
"Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?" tanya Amanda.
"Iya, udah mendingan.." ujarku dengan suara serak.
"Ah, kamu serak ya.."
"Ya gitu deh.."
"Minum dulu nih.." ujar Amanda sembari memberikan segelas air.
Aku lalu meminumnya dengan sangat cepat, rasanya tenggorokanku sangat kering dan haus.
"Terima kasih, Hana. Telah membelaku di hadapan mereka semua" ujar Amanda yang menunduk sembari tersenyum.
Aku seketika langsung memeluknya, entah mengapa, seperti refleks bagiku, "iya, sama-sama.."
Setelah itu kami harus kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Aku lalu ke tempat dudukku dan memindahkan buku dan tasku ke sebelah Amanda. Novi setuju denganku, dia mengizinkanku. Sampai bel pulang berbunyi aku duduk di samping Amanda, dia terlihat normal dari biasanya, tidak murung dan hanya diam saja. Beberapa kali ia agak malu bertanya kepadaku tentang pelajaran yang dia kurang mengerti.
Malam harinya, aku, Novi, Febi, dan Ayu sepakat bahwa kami akan berteman kembali dengan Amanda. Kami setuju bahwa untuk membuat Hana diterima kembali ke dalam kelas, harus dimulai dari grup kami. Pada malam itu juga, Amanda langsung diundang masuk ke grup kami. Kami semua menyambut Amanda baik seperti dahulu kala. Pertanyaan pertamanya adalah apakah ada tugas untuk esok hari.
Ya engga kaget sih,
toh dia memang engga tau info apa-apa soal kelas.
Keesokan harinya, Amanda tiba-tiba berdiri dan maju ke depan kelas dan menghadap semua orang.
"Maafkan aku. Aku sadar akan kesalahan yang telah kulakukan. Karena itu mohon maafkan aku, aku berharap bisa mengukir kenangan terakhir di sekolah ini bersama kalian.."
Tetapi tidak ada seorangpun yang menanggapinya, ya setidaknya lebih baik daripada menghujatnya.
Semenjak itu, banyak orang di kelas kami yang mulai tertarik untuk kembali memberi kesempatan kedua untuk Amanda setelah melihat aku dan grup kami yang akrab dan sering mengobrol bersama Amanda ketika di kelas.
Perlahan, semua orang mulai bisa menerima keberadaan Amanda, satu persatu orang-orang di kelas mulai memaafkan dan berteman kembali bersama Amanda. Dia juga mulai diajak untuk berkelompok bersama saat ada pembagian kelompok. Amanda juga masuk kembali ke grup kelas yang baru.
Syukurlah kalau begitu.
Sekarang aku bisa tidur dengan tenang.