Chereads / implicit: it's just you and me / Chapter 39 - Jalan yang kita pilih.

Chapter 39 - Jalan yang kita pilih.

***Sudut Pandang Hana***

Pada malam itu, rasanya aku sudah melakukan hal yang sangat berlebihan. Bukan hanya mengeluarkan kata terkutuk itu, tapi juga mengusir Rey dengan kasar layaknya seseorang yang ku benci.

Tapi, aku tidak membencinya.

Malam itu yang ada di pikiranku hanyalah rasa kecewa yang sangat dalam serta kesal. Tetapi setelah melakukan itu, semalaman aku tidak tidur, aku hanya membuat kasurku basah hingga air mataku berhenti menetes dengan sendirinya. Sudah beberapa minggu berlalu, namun tidak ada satu hari di mana Rey datang lagi ke apartemenku. Engga heran sih, aku sudah mengeluarkan kata-kata itu. Aku pikir, aku sudah bisa menerima bahwa Rey sudah tidak memiliki hubungan denganku. Tetapi semenjak hari itu, aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Kami sudah melakukan seks tahap akhir, ya benar-benar mempertemukan penis dan vaginaku. Itu mungkin adalah rasa yang sangat aneh yang pernah kurasakan, rasa nyeri dan rasa nikmat bercampur menjadi satu. Bahkan sampai satu minggu setelahnya, vaginaku terasa masih berdenyut. Itu adalah hal paling dewasa yang aku pernah lakukan, karena itu, aku pikir Rey akan senang. Tetapi kenapa? Kenapa Rey justru mengkhianatiku dengan tidak ikut ujian untuk masuk kampus di Jogja?

Padahal aku sudah lama menginginkannya, sampai-sampai aku merelakan waktuku untuk belajar lebih giat lagi bersama teman-temanku untuk bisa lolos ujian. Aku pikir, dengan arti kedewasaan, yaitu artinya dia mau tinggal bersamaku. Tetapi mengapa justru ia menolak? Mengapa dia tidak mau ikut bersamaku ke Jogja? Setelah usaha kerasku belajar, hingga membuatku jarang bertemu dengannya. Itulah yang membuatku merasa sangat dikhianati olehnya. Bahkan aku sudah merubah penampilanku yang ke kanak-kanakan, aku merubah gaya rambutku, dan juga berani mulai merias diri. Tetapi kenapa?

Apa sih maunya?

Aku sama sekali engga ngerti.

Rey bilang ingin aku menjadi dewasa, tetapi ketika aku sudah bersikap layaknya orang dewasa, mengapa dia seakan tidak menyukainya? Teman-temanku mungkin tidak sadar, bahwa selama kami berkeliling mall, aku selalu menundukkan wajahku dan tidak memiliki rasa tertarik dengan apapun. Mereka mengira aku sedang tidak enak badan. Aku melihat tubuhku sedang berjalan, namun yang kurasakan justru seakan melayang keluar dari tubuhku, seperti roh yang terpisah dari tubuhnya.

Sentuhan Amanda pada pundakku tiba-tiba membuatku tersadar.

"Kamu engga enak badan kan dari tadi?" tanya Amanda.

"Ah, engga kok.."

"Orang jelas-jelas keliatan lesu kek gitu, yuk pulang aja.." Novi

Setelah itu kami pulang, kami berpisah diparkiran. Aku lalu diantar oleh Amanda dengan mobilnya sampai ke depan apartemenku.

"Terima kasih ya, Amanda.." ujarku.

"Hana.." panggilnya.

"Ya?"

"Ah, Boleh aku menginap di rumahmu?"

"Kenapa memangnya?"

"Ah, uh..., Ortu! Ortu aku sedang pergi keluar kota.., aku takut tidur sendirian di rumah.., boleh ya.."

Aku lalu tersenyum padanya, "iya boleh kok.."

Kami lalu masuk ke kamarku, aku baru ingat bahwa apartemenku sangat berantakan sejak saat itu, aku merasa tidak mempunyai semangat sama sekali untuk membersihkannya.

Aku tidak memperdulikan apapun saat sudah masuk ke dalam, aku langsung beranjak ke kasurku dan berbaring untuk segera tidur.

Sebentar melihat, lalu aku langsung tersadar bahwa yang kulihat tidaklah nyata. Ya, sebelumnya aku pernah melihat ini. Malah, berulang-ulang kali. Aku melihat adegan itu dengan jelas, dimana aku sedang memeluk Rey penuh darah yang terus mengalir membasahi tubuhku dan membuat pakaianku berubah menjadi merah tua. Di hadapanku ada diriku yang lama, yang masih mengepang rambut sedang memegang pisau yang berdarah, dia menatapku dengan jijik dan menghinaku.

"Lihat yang terjadi! Ini adalah perbuatanmu sendiri! Kau harusnya tau apa yang Rey sebenarnya inginkan. Ini adalah kesalahanmu, jalang."

Lalu dengan cepatnya, diriku yang lain mengayunkan pisaunya menusuk tepat ke dadaku. Seketika saat itu juga aku terbangun dari mimpi burukku dengan sangat syok, mimpi itulah yang berulang kali menghantuiku.

"Hana?" tanya Amanda dari balik punggungnku.

Aku lalu memutar badanku dan menghadapnya, entah bagaimana, air mataku langsung memenuhi pandanganku. Aku lalu langsung memeluknya dan mengeluarkan semua air mataku berserta jeritan.

"Engga apa-apa.., keluarin aja semuanya.." tenangnya sembari mengelus-elus rambutku.

"Aku gamau berpisah sama Rey!!" ujarku dengan menjerit.

Betapa cengengnya aku, seperti anak kecil. Tetapi mau bagaimanapun juga, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku masih mencintainya, rasa cintaku pada Rey sangat kental. Rasanya aku sangat ingin berlari untuk bertemu Rey, untuk meminta maaf atas segala yang terjadi pada malam itu, dan segera berbaikan lagi padanya. Karena aku tidak tahan dengan kondisi sekarang. Terakhir aku ingat, aku sedang menangis di dekapan Amanda. Namun saat aku bangun, aku tidak menemukannya di manapun, tapi apartemenku terlihat menjadi lebih rapih dari semalam. Pasti Amanda yang membereskannya saat aku tertidur.

Tidak lama kemudian, yang kulakukan adalah kembali berbaring di kasur dan tidur kembali. Sekarang, hal ini telah menjadi kebiasaanku, aku hanya beraktivitas ketika teman-temanku mengajak, selain itu, aku hanya tidur. Sudah lama sekali sejak aku dan Rey berhubungan badan, tentunya tubuhku sudah merasa sangat terangsang, namun ketika aku mencoba untuk masturbasi, entah mengapa aku tidak bisa keluar, rasanya sulit sekali untuk keluar, seakan-akan tidak ingin mengeluarkannya.

Aku merindukan jari-jarinya yang panjang itu memainkan kemaluanku dengan hebatnya, lidahnya yang membasahi seluruh tubuhku, dan spermanya yang memenuhi mulut. Aku sangat merindukan berbagi kehangatan dengan tubuhnya.

Aku merindukannya.

*****

Beberapa hari kemudian, malam hari, teman-temanku datang ke apartemenku. Mereka datang dengan tergesa-gesa, seakan-akan ada Belanda yang menyerang. Entah apa yang terjadi, sepertinya mereka tahu bahwa aku sudah putus dengan Rey.

"Mengapa? Apa alasannya?" tanya Novi.

Aku menghela nafas panjang, "Aku sangat kecewa, dan juga kesal. Karena itu aku menjadi sangat kasar padanya.."

"Tapi kamu masih sayang kan dengan Rey?" tanya Amanda.

"Pastinya. Aku engga mau pisah.." sahutku.

"Kalau begitu, ayo ketemu dengan Rey dan bilang padanya" tambah Ayu.

"Engga bisa. Aku engga bisa ketemu dia.."

"Huft, kalian berdua ini masih saling sayang, tapi egonya gede banget ya.." ujar Novi.

"Eh? Rey juga ngerasain hal yang sama? tanyaku.

"Iya. Karena itu kalian harus segera bertemu! Sebelum kita benar-benar pindah.." jawab Novi.

"Tapi...." jawabku ragu.

"Engga ada tapi-tapi-an..., Pokoknya kalian harus ketemu!"

Percakapannya terus berlanjut hingga kami semua memutuskan bertemu Rey dengan kondisi seperti apa. Setelah berdebat semalaman, akhirnya sekitar pukul dua pagi, mereka bisa menyatukan pendapat dimana keputusannya adalah membuatku dan Rey bertemu di restoran yang sering aku dan teman-temanku kunjungi.

Sampai hari itu tiba, aku sudah sangat siap untuk bertemu dengan Rey. Ayu sudah memilihkan baju yang terbaik untuk kupakai, termasuk dengan makeup, parfum, dan perhiasan wanita yang mereka sudah siapkan untukku. Bahkan rasanya aku seperti ingin dilamar seseorang.

Novi memberitahukan Rey bahwa pertemuannya pukul 8 malam, namun aku sudah di sini sejak pukul 4 sore. Restoran ini entah bagaimana, sudah disewa oleh mereka. Karena itu hanya aku yang duduk menunggu di meja paling mewah di restoran ini. Hatiku berdebar, namun sekaligus sesak. Aku tidak bisa melupakan hal jahat yang telah kulakukan pada Rey malam itu. Walaupun begitu, aku sudah cukup siap mental berkat dipandu oleh Amanda dan Novi.

Tetapi...

Tiba-tiba Novi, Amanda, Ayu, dan Febi menghampiriku dengan wajah tidak senang. Aku perlahan-lahan mendengarkan berita dari mulut Novi itu.

"Rey, tidak akan datang.." ujarnya.

Aku tahu bahwa Novi mengatakan hal yang lebih panjang dari itu, entah itu alasan atau kata-kata untuk menenangkanku, tetapi aku tidak memperdulikan kata-katanya lagi, telingaku berdengung seperti tenggelam di dalam air. Tanpa kusadari, aku juga tenggelam dalam lautan air mata. Semua riasan yang ada di wajahku luntur, berubah menjadi kental. Rasa kecewaku pada Rey juga berubah menjadi semakin kental, hingga yang kurasakan hanyalah rasa kekesalan.

Hari demi hari berlalu, rasa kekesalan itu berubah menjadi kebencian yang keras dalam hatiku. Aku memutuskan untuk benar-benar melupakannya, melangkah ke arah yang baru, arah tanpa adanya Rey.

Baiklah.

Selamat tinggal, Rey.

*****

Hari ini akhirnya tiba, hari dimana aku pindah ke Jogja. Ya sebenarnya kami hanya melihat kondisi kosan yang akan menjadi tempat tinggal aku dan teman-temanku di sana. Tetapi ya, mereka bilang bahwa ini semacam simbolis di mana kami melangkah ke masa depan, dan meninggalkan masa lalu di sini, dengan kata lain, membuka lembaran baru yang masih kosong.

Pada malam ini, aku, Amanda, dan Novi yang akan pergi untuk mengecek kamar kos yang akan kami sewa. Setahuku kamarnya tidak begitu luas, ya selayaknya kamar kos yang murah. Kami berjumlah 5 orang, karena itu kami menyewa 3 kamar yang akan diisi 2 orang tiap kamarnya kecuali satu kamar hanya diisi 1 orang. Yang kutahu juga kamarnya memiliki fasilitas AC dan WiFi yang tentunya sangat bagus jika mempertimbangkan harga sewanya yang cukup terjangkau. Tetapi ketika membicarakan tentang kamar kos, yang terlintas di pikiranku adalah Rey dulu saat ia masih tinggal di kosan lamanya.

Tidak.

Jangan lagi.

Jangan ingat Rey lagi.

Sembari menunggu Amanda mandi di apartemenku, Novi membereskan pakaian ganti yang akan kami bawa, sedangkan aku hanya duduk di ruang tengah, terdiam merenung. Walaupun bagi mereka ini adalah lembaran baru, tapi bagiku ini bagaikan lembaran terakhir. Aku tidak tahu apa yang akan datang, aku juga tidak tahu apa yang akan berakhir. Ya, hubungan kami sudah berakhir, tapi...

..tapi, entah mengapa...

...seperti lantai ini menarik diriku terus jatuh ke bawah, seakan-akan gravitasinya berlipat-lipat ganda ataupun ada lubang hitam di permukaan lantai ini.

Bumi tidak mengizinkanku pergi.

Setelah semuanya sudah siap, kami berangkat ke stasiun dengan taksi daring. Melangkahkan kakiku menuju ke tempat yang belum ku ketahui, ke tempat orang-orang yang tidak ku kenal, ke tempat asing. Saat di jalan, entah kenapa, aku merasa seperti ada sesuatu yang tertinggal. Aku meraba saku untuk mengecek ponsel dan dompet, tapi kerisauanku sia-sia, ponsel dan dompetku ada di saku.

"Eh, engga ada yang ketinggalan kan?" tanyaku.

"Engga kok, aku udah cek lima kali.." jawab Novi.

"Yakin nih? Seriusan engga ada yang ketinggalan?"

"Santai aja sih, kalau ada yang ketinggalan kita bisa beli di stasiun atau di Jogja aja.." sahut Novi lagi.

Bukan begitu,

Aku sebenarnya tahu jawabannya.

Aku sebenarnya tahu kenapa aku merasa seperti ketinggalan sesuatu.

Ya.

Ketinggalan setengah jiwaku..

Ah!

Mikir apa sih aku ini?!

Aku tidak bisa melupakan Rey jika begini terus..

...walaupun sebenarnya aku tidak mau.

Yang kurasa, tidak lebih, tidak kurang,

...seperti ada lubang besar di dadaku.

Lubang yang entah bagaimana caraku untuk menutupnya.

Saat sampai di sana, masih tersisa sekitar setengah jam sebelum keretanya datang. Karena itu aku mau pergi ke minimarket untuk membeli minuman, tiba-tiba suara klakson mobil secara refleks membuatku melihat ke sumber suaranya, yang kulihat adalah sebuah mobil merah yang mirip sekali dengan mobil Rey. Aku terus melihat ke arah mobil itu, dan yang kutemukan adalah seseorang yang tidak kukenal bersama kekasihnya keluar dari mobil itu, dengan kata lain, itu bukanlah Rey.

Aku menundukkan kepalaku, lagi-lagi aku teringat kenanganku bersama Rey. Kenapa aku merasa sangat mengharapkan Rey untuk datang? Setelah yang kulakukan padanya, pastinya dia enggan untuk datang.

Tiba-tiba seseorang mencolek pundakku, ternyata itu adalah Amanda dan Novi di sampingnya.

"Kamu pasti masih mikirin Rey, bukan?" tanya Amanda.

"Eh? Ah.., hmm. Iya.." sahutku.

Lalu Amanda melihat wajahnya Novi seakan mengisyaratkan sesuatu.

Novi menghela napas dan berkata, "Sebenarnya tadi pas aku masih di rumah, Rey nelfon.."

"Rey telfon kamu? Dia bilang apa?" sahutku dengan sangat penasaran.

"Dia bilang bahwa dia tahu kita akan ke Jogja malam ini, kemungkinan dari orang tua kamu. Aku sudah bilang bahwa keretanya datang 20.45, untuk jaga-jaga dia beneran datang. Tapi....hmm"

"Tapi?"

"Tapi dia bilang engga akan datang, habis itu dia matiin telfonnya."

"Oh, begitu ya.."

Pasti begitu ya..

Rey mana mungkin mau datang...

"Karena itu, kamu harus melupakan Rey pelan-pelan. oke? Nanti kami bantu.." ujar Novi.

Setelah apa yang kulakukan,

Seharusnya aku yang minta maaf.

Seharusnya aku yang menemuinya terlebih dahulu.

Benar, seharusnya aku yang menemuinya!

Aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi,

Setidaknya aku tidak berdiam diri seperti ini!

Tetapi,

Langit tidak mengizinkanku untuk pergi dari stasiun.

Langit tidak mengizinkanku untuk menemui Rey.

Langit, menurunkan tangisannya.

Hujan yang sangat deras, membasahi seluruh tempat yang tidak memiliki atap, bahkan saking derasnya, sampai memercik ke dalam ruang tunggu, semua orang berlarian mencari tempat berteduh, karena itu ruang tunggu menjadi semakin ramai akan orang-orang. Aku tidak bisa pergi kemanapun, aku hanya berdiam diri, menunggu kereta yang akan datang.

Tak lama, seruan dari pengeras suara mengatakan bahwa kereta yang kami akan naiki sudah tiba, karena itu kami diminta mengantri di pengecekan tiket. Sembari perlahan maju, aku berulang kali mengecek ke belakangku, apakah Rey akan datang. Biasanya dalam anime, sang cowok akan datang di detik-detik terakhir sebelum ceweknya sempat menaiki kereta. Namun, sampai aku duduk di dekat jendela gerbong, tidak ada satupun tanda bahwa Rey akan datang.

Dasar aku..

Aku memang sangat bodoh.

Aku terlalu dalam mencintainya.

Setelah usaha teman-temanku yang sia-sia,

kenapa juga aku masih berharap?

Saat kereta ini berjalan, masa lalu bersama Rey akan segera tertinggal dan hanya menjadi ingatan biasa. Lagi-lagi suara pengumuman membuatku sedikit kesal, katanya kereta akan berangkat dalam 5 menit. Karena itu aku memasang earphone dan memutar playlist yang sudah kusiapkan selama perjalanan. Entah kenapa lagu yang pertama di putar adalah Niji no Kanatani oleh ReoNa. Dasarnya, lagu ini menceritakan tentang patah hati, bahkan lirik ya terdapat kalimat lubang di dada, sebuah kebetulan yang menyedihkan.

Sangat menyedihkan.

Aku lalu menengok ke Amanda, namun wajahnya sedang serius melihat sesuatu, wajah Novi juga sama. Aku lalu berdiri dari kursiku dan melihat penumpang lainnya juga berdiri melihat kerumunan. Karena penasaran, aku melepas earphoneku. Aku mendengar suara keramaian yang sepertinya sedang bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Perlahan, aku mulai mendengar suara laki-laki yang berteriak, suaranya semakin lama semakin mendekat dan semakin jelas.

"...dan aku tau! Ini semua salahku! Karena itu ayo kita bangun lagi hubungan kita! Ayo kita kembali lagi seperti dulu kala! Aku mencintaimu, Hana! Aku sangat-sangat mencintaimu! Karena itu! Tolong berikan aku kesempatan lagi! Hana!"

Mendengar seseorang yang menyebut namaku dengan begitu kerasnya, dalam lubuk hatiku aku langsung tahu siapa penyebab kegaduhan ini. Bibirku secara perlahan melengkung. Aku langsung beranjak dari kursi dan segera menuju kerumunan itu, aku berusaha menembus desak-desakan orang-orang yang sedang berkerumun diantara suara itu, sampai akhirnya aku sampai ke sumber suaranya.

Aku tidak bisa menahannya.

Senyum dan tangis.

Aku melihat Rey yang basah kuyup itu sedang ditahan oleh pihak keamanan. Seketika itu juga aku langsung memeluknya dengan sangat-sangat erat.

"Akhirnya kamu datang juga ya..." ujarku.

Rey lalu membalas pelukanku dengan erat juga.

"Rey! Kamu datang!" ujar Novi dibelakangku.

Aku tidak begitu mendengarnya, tetapi sepertinya penumpang lainnya bisa membaca suasana dan berhenti mengelilingi kami. Tiba-tiba suara petugas keamanannya mengejutkan kami, "Mas! Peluk boleh sih mas, tapi harus punya tiket dulu! Kalau gaada ya harus keluar! Keretanya mau jalan nih!"

"Ah, iya pak. Maaf, saya akan turun.." sahut Rey dengan menyesal.

"Aku juga!" ujarku.

Novi dan Amanda terkejut, lalu aku menengok ke mereka dan berkata dengan serius, "Maaf, aku engga ikut ke Jogja."

Mereka berdua lalu tersenyum dan merelakan aku tidak ikut bersama mereka. Lalu aku dan Rey lalu turun dari kereta, tak lama, keretanya berangkat, Novi dan Amanda melambaikan tangannya kepada kami. Namun karena keributan yang dilakukan Rey, dia harus ikut bersama petugas untuk ke kantor stasiun. Sekitar setengah jam kemudian, akhirnya Rey dilepaskan. Harus aku sendiri yang menjelaskan keadaannya, walaupun memang terasa sangat dramatis, tapi memang itu lah yang terjadi. Syukurlah Kepala Stasiun bisa mengerti dan menasehati kami berdua.

Setelah itu aku dan Rey meninggalkan stasiun bersama Rena yang membawa mobilnya. Rasanya sudah lama juga sejak aku terakhir bertemu dengan Rena. Dalam perjalanan Rey memegang tanganku dengan erat.

"Nanti turunin aku di apartemennya Hana ya, kamu bawa aja mobilnya. Bilang aja ke ayah aku nginep di rumah temen.." ujar Rey.

"Ihh, mau ngapain Kakak nginep di rumah cewek? Huft, gantinya traktir aku makan seminggu ya!" balas Rena.

"Iya, iya. Gampang itu mah.."

"Awas kak! Jangan sampai bablas.." goda Rena.

Polosnya Rena,

andai kamu tahu sudah sejauh apa aku dan kakakmu ini pernah berbuat.

Setelah sampai di apartemenku, Rey langsung mandi dan berganti pakaian dengan pakaianku, ya, dengan yang sedikit masuk akal jika dipakai laki-laki. Tubuhnya basah kuyup seperti itu, sepertinya dia menerobos hujan deras demi menemuiku. Setelah dia mandi, dia langsung membuat makanan untuk kami berdua. Dua porsi nasi dengan telur gulung yang mirip seperti di anime. Aku lalu menyantapnya dengan nafsu, karena aku juga lapar.

"Enak ga?" tanya Rey.

"Eh? Enak. Kayak biasa aja.." sahutku.

"Syukurlah.."

"Kenapa?"

"Ah, engga. Saat galau kemarin, katanya masakanku engga enak, kadang keasinan dan lain-lain.."

Aku langsung menunduk dan merasa menyesal terhadap Rey.

"Maaf Rey.., aku sudah berkata dan berbuat kasar. Aku sudah memutuskanmu.." ujarku.

"Iya. Aku juga meminta maaf, karena aku sudah membuatmu kecewa karena tidak ikut ujian itu.." balasnya.

"Lalu, sekarang bagaimana?"

"Sekarang kita hanya menjalani jalan yang sudah kita pilih masing-masing.."

"Tapi..." ujarku agak rintih.

"Tapi aku tidak ingin kita putus." sahut Rey.

Aku terkejut dan mendangakkan kepalaku, "Eh?"

"Setelah selama ini terus mengganggu pikiranku, aku akhirnya tau apa yang terbaik untuk kita berdua."

"Apa itu?"

"Kamu harus menjalani masa kuliahmu di Jogja, karena kamu sudah berusaha keras untuk itu, bukan? Sedangkan aku akan kuliah di sini, kemungkinan di Kampus Negeri Jakarta. Hanya karena kita berbeda tempat, bukan berarti hubungan kita juga berakhir. Kita pasti bisa menjalin hubungan ini walaupun dengan jarak yang jauh.."

"Tapi, aku engga ingin jauh denganmu.."

"Aku juga engga mau, Hana. Tapi kamu harus bisa. Kamu ingin berubah menjadi dewasa, kan?"

"Tapi, aku.."

"Aku juga ingin jadi dewasa. Karena itu ini adalah tahap yang penting. Aku tahu kalau kamu bersikap menjadi dewasa karena ku, tapi pada akhirnya, mau atau tidak, kita harus bersikap menjadi dewasa.."

"Baiklah.."

Setelah selesai makan, entah bagaimana caranya, refleks kami berdua seperti dengan sengaja mengarahkan kami menuju kasur, dan kami berdua benar-benar berbaring di atas kasur. Rey memegang pipiku dengan kedua tangannya, lalu menariknya maju untuk menempatkan bibirnya menempel dengan bibirku. Kami berdua berciuman layaknya pasangan yang sedang berada di puncak hasratnya. Karena itu, setelah melepaskan ciuman, aku langsung melepaskan kancing kemejaku dari atas dengan perlahan. Tetapi Rey menahannya, dia tersenyum kepadaku, lalu mendekatkan badannya dan memelukku dengan hangat.

"Rey? Kamu engga mau?" tanyaku.

"Bukannya aku engga mau, tapi untuk malam ini. Aku hanya ingin memelukmu dengan lama.." sahutnya.

Karena itu aku ikut memeluknya juga, membuat badan kami berdua saling menghangatkan. Sembari kelonan, aku meminta Rey untuk menceritakan perjalanannya saat menuju ke stasiun. Setelah mendengarnya, ternyata ia benar-benar turun dari mobil dan berlarian di tengah hujan yang sangat deras. Aku merasa sangat senang dan merasa seperti spesial, di lain sisi, aku juga merasa kasihan karena mau bagaimanapun ini juga termasuk salahku.

"Lalu, kenapa kamu bikin ribut sih? Kan bisa lebih halus lagi.." tanyaku.

"Ya mau bagaimana? Aku kan gatau kamu di gerbong berapa.., lagipula aku juga harus cepet nemuin kamu sebelum kereta berangkat dan juga ditangkap petugasnya.." sahut Rey.

"Oh iya, gimana caranya kamu bisa lolos bagian pemeriksaan tiket deh?"

"Ya, aku lari, abis itu loncat. Kalau dipikir-pikir keren juga sih, kayak di film action gitu.."

"Hmm.., kamu juga teriak-teriak begitu. Emangnya teriak apa sih?, aku engga denger semuanya.."

"Ya gitu deh.."

"Ish, kasih tau! Aku mau denger.."

"Yaudah.., jangan ketawain ya.."

"Iya.."

"Hana! Kamu di mana? Aku datang Hana! Aku tidak tahan lagi dengan semua ini! Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikapku sendiri! Aku sebenarnya ingin bertemu Hana! Aku ingin kita kembali seperti dulu lagi! Aku tahu mungkin kamu sekarang membenciku! dan aku tahu itu! Ini semua memang salahku! Karena itu ayo kita bangun kembali hubungan kita! Ayo kita kembali lagi seperti dulu kala! Aku mencintaimu, Hana! Aku sangat-sangat mencintaimu! Karena itu! Tolong berikan aku kesempatan lagi! Hana!" ujarnya dengan suara teriak yang setengah-setengah.

"Hmm.., udah?"

"Kurang lebih gitu.."

"Huft. Bikin malu aja.."

"Tapi kamu senang kan? Saat aku datang?"

Aku tersenyum, "Senang banget lah.."

Malam itu, akhirnya kami habiskan dengan hanya berpelukan, bercerita tentang hal-hal yang terjadi selama kami tidak bertemu. Sebuah malam yang sangat hangat, berbagi pelukan dengan seseorang yang sangat aku cintai. Hingga kami berdua tanpa sadar terlelap dalam tidur dan mimpi yang indah.

Beberapa hari setelah itu, aku menemani Rey untuk tes mandiri di Kampus Negeri Jakarta, tentunya ia lolos, bahkan dia sudah memiliki teman yang kebetulan juga satu Program Studi yang sama dengannya, namanya adalah Pratama. Orang yang baik dan juga sopan, tingginya juga hampir sama dengan Rey.

Dengan begitu, aku sudah merasa tenang berhubungan jarak jauh dengan Rey seperti ini, setidaknya dia sudah memiliki teman yang bisa mengisi kekosongannya ketika tidak ada diriku. Selain itu, ada Rena juga yang kuliah di Kampus Negeri Jakarta. Karena itu, seharusnya aku tidak perlu menghawatirkan apapun lagi.

Pada akhirnya, aku juga harus segera pergi ke Jogja untuk mengikuti Proses penerimaan mahasiswa baru di kampus yang aku dan teman-temanku sudah inginkan sejak lama. Karena itu pada hari ini, kami semua berada di stasiun menunggu kereta. Sejak kami sampai di stasiun, tangan Rey tidak berhenti menggenggam tanganku, dari raut mukanya juga tersirat bahwa dirinya yang tidak ingin aku pergi.

Aku lalu mencium pipinya dan berkata, "Aku akan baik-baik aja kok. Ada Novi, Amanda, Ayu, dan Febi yang jaga aku.."

Rey tersenyum kepadaku, "Aku mencintaimu, Hana"

"Aku juga mencintaimu, Rey.."

Rey lalu memegang kedua tangaku dan menatap mataku dengan serius, "Ingat kata-kataku, kalau memang nanti kita dipertemukan kembali, akan kupastikan. Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi."

"Hmm? Kan kita masih tetep pacaran.."

"Ish, terima aja, biar keren.."

"Iya, iya. Kalau begitu, apa itu sebuah janji?"

"Ya, aku pasti akan menikahimu. Itu adalah janjiku."

Seketika aku seperti terkejut dan merinding, jantungku mulai berdetak lebih cepat karena mendengar keseriusan Rey untuk menikahiku. Ternyata Rey sudah berpikir jauh hingga ke pernikahan. Aku merasa tenggelam, tidak bisa mendengar apapun, dan juga pandanganku hanya terfokus pada wajah Rey.

Tak lama, suara keras menyadarkanku, tanda keretanya datang. Sembari aku berjalan meninggalkannya, pada saat itu juga ia melepaskan tanganku secara perlahan-lahan, dari telapak, hingga ke jari-jariku. Lalu aku menengok ke arahnya, kami berdua saling berbalas senyuman. Aku lalu duduk di dekat jendela sembari melambaikan tanganku kepada Rey dan terus memandanginya hingga ketika keretanya jalan, tanpa sadar, air mataku menetes, karena itu aku terus memandanginya hingga aku benar-benar tidak bisa melihatnya.

Dengan berat hati, aku meninggalkan Rey, meninggalkan Jakarta, meninggalkan tempat di mana aku dan Rey membuat banyak kenangan selama dua tahun terakhir.

Aku pertama mengenalnya sebagai hanya sebagai satu dari banyak laki-laki yang kupuaskan, tapi kini ia menjadi seseorang yang sangat spesial yang pernah ada dalam hidupku. Bagaimanapun caranya, aku takkan bisa melupakannya, wajahnya, cintanya, dan banyak cerita bersamanya.

Reyan Aditya.

Dia adalah cinta pertamaku.

Aku belum pernah merasakan cinta dari seseorang sebelumnya, tetapi pada hari itu dia datang, memberanikan dirinya untuk datang membagikan kehangatan tubuhnya dan kehangatan cintanya, kehangatan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

Dia yang sangat berani datang kepadaku untuk bersama-sama merasakan pengalaman cinta. Dia lah yang merubah hidupku menjadi lebih berwarna, lebih bermakna. Aku takkan pernah menjadi diriku yang sekarang tanpanya. Aku tidak pernah tau apakah yang kulakukan selama ini adalah benar, namun satu hal yang pasti, bahwa keberadaannya di hidupku adalah kenangan yang paling bahagia.

Aku sangat mencintaimu, Rey.

..dan juga..

Terima kasih.

T A M A T