Chereads / implicit: it's just you and me / Chapter 38 - Akhir kita berdua.

Chapter 38 - Akhir kita berdua.

Aku tidak tahu harus darimana mengakhiri cerita ini, tetapi aku sudah tidak lagi mempunyai alasan untuk menceritakan cerita ini. Rasanya semua hal yang telah aku lakukan adalah hanya sia-sia belaka. Seperti tidak mempunyai tujuan, bahkan tidak jelas bagaimana strukturnya. Di momen seperti ini, membuatku teringat pada kata-kata yang ada dalam film yang kusukai.

"Buat apa tuhan menciptakan hati, jika aku hanya merasakan sakit?"

Kurang lebih begitu.

Kalaupun salah, aku tidak peduli.

Tidak ada lagi yang kupedulikan,

mungkin sebaiknya aku mati saja.

"Kamu terlalu cepat menyimpulkan, pada titik ini, pastinya ceritamu dalam fase konflik akhir, bukan?" ujarnya.

"Memangnya seperti itu ada dalam kehidupan nyata?" tanyaku kembali.

"Kamu pikir cerita-cerita dalam film itu terinspirasi dari mana? Begini, setelah sebuah karakter terjebak pada konflik, maka, selanjutnya karakter akan mendapatkan atau mencari cara untuk menyelesaikan konflik, hingga akhirnya menuju ke klimaks di mana caranya akan berhasil atau gagal.."

"Kamu sangat filosofis banget ya.."

"Bukan filosofis, tapi karena memang sangat dekat dengan kehidupan nyata"

Perkataannya memang cukup mengena, apalagi bagiku yang menyukai film. Aku sedikit demi sedikit mulai tercerahkan olehnya. Tapi, siapa pria sepantaran yang daritadi memberiku nasihat ini? Dia adalah seseorang yang kurasa akan menyelamatkanku dari konflik akhir ini. Istilahnya adalah Deus ex machina, sesuatu atau seseorang yang tiba-tiba muncul untuk menyelamatkan karakter utama. Ya walaupun aku terkesan melebih-lebihkannya, tapi bagiku dia seperti itu.

*****

Pada malam itu, aku menemui Hana untuk merayakan kesuksesannya masuk kampus negeri di Jogja, sedangkan aku sampai saat itu masih berpura-pura bahwa aku diterima juga. Namun perilakunya berubah setelah dia mengetahui bahwa aku tidak lolos karena aku tidak mengikuti ujiannya, bahkan dia sampai berani mengatakan putus.

...

"Kenapa kamu malah ngomong gitu?!" kesalku membentaknya.

"Kamu sendiri! Bahkan tidak mencoba untuk ikut tesnya!" Hana juga membentakku.

"Aku sudah belajar! Tapi apa?! Kamu semakin dekat dengan teman-temanmu! Semakin jauh dariku!"

"Hah?! Apa hubungannya?! Kamu cemburu?!"

"Ya! Ya! Aku cemburu! Aku cemburu kamu bermain sama mereka daripada denganku!"

Tetapi Hana hanya terdiam.

"Kenapa sih Hana?! Kamu engga kangen sama aku?! Udah lama banget setelah kita terakhir begitu! Kenapa?! Kenapa kamu potong rambut?! Kenapa kamu merubah penampilan?! Kenapa kamu mulai berubah sikap?! Kenapa?! Jawab!"

"Keluar.." sahut Hana.

"Hah?!"

"KELUAR!!!"

Hana lalu mendorongku dengan kasarnya hingga punggungku menghantam tembok balkon apartemen. Rasanya sangat sakit sekali, aku rasanya mendengar suara tulang yang seperti retak.

"Jangan pernah datang lagi." ujar Hana diikuti dengan ia yang menutup pintu apartemennya.

Kami pernah beberapa kali bertengkar, tapi jelas kali ini adalah yang terbesar. Pertama kalinya aku melihat Hana yang bertindak kasar seperti itu kepadaku. Dorongannya tidak terasa seperti main-main, benar-benar seperti ingin membela diri dari seseorang yang menyakitinya. Aku benar-benar sudah diusir dari hatinya, dia menutupnya, aku tak akan bisa kembali masuk

Namun, entah kenapa.

Aku tidak bisa menangis.

Padahal dalam diriku sadar bahwa itu mungkin terakhir kalinya aku bisa bertemu dengannya, mungkin setelah ini aku akan benar-benar sendirian. Karena itu aku sepertinya depresi, tidak bisa menangis untuk hal yang paling menyakitkan yang pernah kurasakan. Karena itu beberapa minggu kemudian, aku bertemu orang ini, ketika aku sedang pergi ke mall untuk membeli bahan-bahan makanan untuk memasak di rumah. Walaupun begitu, yang aku makan belakangan ini hanya pasta dan beberapa kali mie instan. Beberapa kali aku mencoba untuk memasak, tetapi selalu saja rasanya engga pas. Kadang kurang garam, kadang terlalu asin.

Tanpa sengaja aku bertemu dengannya, awalnya aku tidak mengenalnya. Dia juga sebenarnya tidak mengenalku, dia bilang bahwa ia melihatku di tempat ujian masuk kampus waktu itu. Namanya adalah Pratama, dia kurang lebih hampir sama sepertiku dari segi tinggi badan, hingga gaya rambut yang biasa saja.

"Oh ya, kamu bilang kamu tau aku dari pas tes masuk universitas, tapi seingatku aku engga ngobrol sama orang sama sekali di sana.." ujarku.

"Iya. Waktu itu aku melihat kamu duduk sendirian. Niatnya aku mau nyamperin, tapi aku ga jago basa basi sama orang, jadinya aku beli makanan dulu di kantin biar basa basinya enak. Tapi pas aku balik, kamu udah ga ada. Pas selesai ujian aku nungguin di gerbang, tapi ya ga ada juga.." sahut Pratama.

"Yah, soalnya aku kabur. Engga ikut ujian.."

"Oh? Jangan-jangan itu alasannya kamu diputusin?"

"Ya. kurang lebih begitu."

"Aku engga tau Hana itu orangnya bagaimana, tapi dari ceritamu, aku yakin dia juga sayang sama kamu kan.

"Sepertinya.."

"Karena itu, sekarang adalah saatnya protagonis bangkit dari titik terendahnya dan berusaha untuk mencari cara menyelesaikan konflik akhir. Sekarang saatnya kamu bertindak!"

"Walaupun kamu bilang begitu, tetap saja aku tidak bisa mengganggap diriku sebagai protagonis. Malah, mungkin aku lebih cocok menjadi tokoh sampingan.."

"Jangan begitu. Setiap orang adalah karakter utama, sosok pahlawan, dan protagonis dalam ceritanya sendiri."

Aku tersenyum padanya.

"Benar juga. Terima kasih ya. Ngomong-ngomong kamu gimana hasil ujiannya?" tanyaku.

"Bagus kok, aku lolos ke Kampus Negeri Jakarta.."

"Begitu ya.."

Tidak lama, aku dan Pratama berpisah, karena aku juga harus segera pulang ke rumah. Ketika sampai aku menemukan ada mobil yang asing bagiku, awalnya aku mengira bahwa itu adalah milik temannya Rena, tetapi setelah aku masuk ke dalam rumah, ternyata aku salah. Itu adalah mobil milik Ayu, salah satu temannya Hana. Aku juga sepertinya sudah mengerti alasan mereka semua datang ke sini.

"Kakak beli apa?" tanya Rena.

"spaghetti..." sahutku.

"Ish, beli ini mulu.., padahal Kak Eyan sendiri yang bilang jangan makan mie terus!" geram Rena.

"Ini pasta, bukan mie.."

"Sama aja ah!"

Sepertinya makanan yang aku beli di supermarket tidak dihiraukan olehnya, dia membuat makanan dengan bahan yang ada di kulkas. Sementara Rena memasak, aku menemui mereka berempat; Novi, Amanda, Ayu, dan Febi katanya tidak datang karena bucin. Oh ya berarti mereka hanya bertiga.

"Jadi, kalian mau apa ke sini?" tanyaku.

"Ih, dingin banget! Engga ada basa basinya gitu.." keluh Ayu.

"Ya terus?" sahutku.

"Kalian kenapa? Kamu sama Hana" tanya Novi.

"Ga kenapa-kenapa." jawabku.

"Kalian putus kan?" ujar Amanda.

Seketika Rena, Ayu, dan Novi terkejut mendengar kata-kata Amanda barusan. Awalnya aku kira mereka sudah tahu, tapi dari respon mereka, ternyata mereka baru tahu.

"Iya, aku sudah putus dengan Hana." sahutku.

"Kenapa? Kok bisa?!" tanya Novi.

"Oh! Kamu selingkuh ya!" Ayu membentakku.

"Jangan salahkan aku.." ujarku.

"Maksudnya?" tanya Novi.

"Hana yang memutuskan hubungan kita. Dia yang putusin.." lanjutku.

"Tuh kan bener! Pasti karena selingkuh!" kata Ayu dengan kesal.

"Jika memang itu terjadi, setidaknya alasannya lebih jelas. Tapi yang ini aku sendiri tidak mengerti.."

"Lalu apa?" tanya Ayu.

Aku lalu menjelaskan kepada mereka tentang Hana yang berubah, perubahannya sejak hari itu dia mengganti gaya rambutnya. Dia mulai merubah sikap juga, dia dekat dengan teman-temannya, dia jauh dariku, yang membuatku merasa sangat sendirian tanpa Hana, fakta bahwa jika aku ikut ke Jogja dengan Hana, maka aku juga akan ditinggalkan oleh Hana yang nantinya sibuk dengan temannya. Semua itu adalah alasan kenapa aku tidak mengikuti tes masuk, yang membuat Hana merasa kecewa kepadaku, dan mengambil keputusan untuk putus denganku.

"Engga masuk akal!" ujar Novi.

"Iya! Pasti kamu bohong kan!" ujar Ayu.

"Itu lah kenyataannya, itu lah yang sebenarnya terjadi." sahutku.

"Mana mungkin! Setiap hari, setiap waktu, dia selalu membicarakan kamu kepada kami semua!" marah Novi.

Aku terkejut mendengar pernyataannya, rasanya sangat tidak mungkin jika dibandingkan dengan apa yang kurasakan.

"Iya! Dia itu selalu bilang 'Rey itu mau aku begini, begitu, mau aku pakai pakaian ini itu. Rey kalau tidur begini begitu', dia bahkan menceritakan tiap detail yang kalian lakukan di Jogja!" lanjut Ayu.

Aku panik, "Eh?! Emangnya kami ngelakuin apa di Jogja?!"

"Kalian main lamar-lamaran kan.., kayak anak kecil aja" goda Amanda.

Syukurlah.

Aku kira yang dia maksud adalah adegan dewasa setelahnya.

"Lalu kenapa? Kenapa Hana bersikap seperti itu? Sangat berubah dari Hana yang aku kenal.., kenapa yang jelas-jelas kurasakan justru berbeda dengan yang kalian ceritakan?" tanyaku agak kesal.

"Pastinya kamu udah sadar, bukan? Karena Hana sudah mulai dewasa" jawab Amanda.

"Tetapi, kenapa kedewasaannya justru membuatnya jarang sekali berduaan denganku, aku....., aku merasa kehilangan Hana.." sahutku ringkih.

"Wah, ternyata Rey itu bucin ya.." ujar Ayu.

"Rey. Aku yakin bukan maksud Hana tidak mau berduaan denganmu lagi, tapi menurutku, karena ketika berduaan denganmu, Hana tidak bisa menahan sikapnya. Karena itu mungkin Hana menghindarimu sementara untuk berubah menjadi dewasa, ketika sudah siap, baru ia akan sering berduaan denganmu lagi.." ujar Novi.

Kedewasaan ya.

Mungkin salahku karena waktu itu aku berkata tentang kedewasaan kepada Hana.

Mungkin dari kata-kataku itu, membuatnya menjadi seperti ini.

"Intinya, kalian harus baikan lagi! Tenang aja akan kami urus!"

Begitulah kata mereka. Walaupun aku sendiri tidak tahu apa yang akan mereka rencanakan untuk membuat aku dan Hana berbaikan kembali. Sampai beberapa hari kemudian, Novi mengabariku bahwa mereka sudah mengatur untuk aku dan Hana bertemu di restoran dalam mall. Kalau seperti itu aku juga bisa saja melakukannya sendiri. Memangnya apa bedanya jika aku yang mengajak dengan mereka yang mengajak?

Tetapi,

aku tidak bisa bertemu dengannya.

Entah bagaimana,

aku tidak sanggup untuk melihat wajahnya.

Sebenarnya aku sudah siap, aku sudah rapih selayaknya ingin bertemu seseorang yang spesial, namun seketika niatku berubah. Entah apa sebabnya, aku teringat akan kejadian pada malam itu. Aku masih mengingat betapa sakitnya dorongannya itu, betapa menyakitkannya kata 'putus' yang dilontarkannya. Hal itu membuatku serasa tidak kuat untuk berdiri, kakiku seakan lembek seperti jeli.

Meskipun begitu, aku sempat mengabari Novi, "Maaf, aku tidak bisa datang. Aku, tidak sanggup melihatnya.."

Setelah mengabari seperti itu, ratusan panggilan masuk tiada henti ke ponselku, tentunya tidak satupun yang kuangkat. Kuhabiskan hariku hanya berbaring di kasur mencoba untuk berpikir tenang, tapi tetap saja, hal menyakitkan itu terus-menerus membayangiku.

*****

Beberapa hari kemudian, aku dan Rena pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan pada awal siang, kali ini Rena menemaniku, katanya agar aku membeli makanan yang sehat dan bukan yang instan. Karena itu aku hanya melihat, Rena yang keliling mencari bahan makanan yang pas, aku sudah tidak tahu lagi mau memasak apa. Saat melihat-lihat ke bagian elektronik, tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan seseorang. Rasanya hidupku seperti serba dengan ketidaksengajaan ketika bertemu dengan seseorang, seakan-akan kehidupanku di tulis oleh seseorang penulis yang malas berpikir. Aku bertemu dengan Ayahnya Hana, sepertinya dia sedang melihat-lihat televisi.

Dia menegurku duluan.

"Eh, Rey. Kamu lagi belanja juga?" tanya beliau.

"Iya, Rena sih yang belanja.." sahutku.

"Ohh, wanita memang begitu ya.., lama kalau sedang belanja.."

"Eh? Om sama Tante juga?"

"Iya.., sekalian beliin Hana makanan untuk di jalan.."

"Di jalan?"

"Oh ya! Kamu ikut juga kan ke Jogja?"

"Ah, engga om. Aku engga kuliah di Jogja.."

"Oh begitu ya.. hmm, tapi kamu ikut kan hari ini?"

"Eh? Ke mana?

"Ke Jogja.., katanya kan Hana mau nyiapin kamar kosnya di sana.."

Ternyata Hana memang serius ingin kuliah di sana..

..bahkan tanpaku dia tetap konsisten dengan pilihannya itu.

Ah, mikir apa sih aku?

Aku bukanlah siapa-siapa baginya sekarang.

"Engga Om.."

"Eh? Kenapa? Kalian lagi berantem?"

Bukan berantem lagi sih,

tapi udah putus malah.

"Ah, yah, kurang lebih seperti itu.."

"Oalah. Kalau begitu cepet baikan gih! Sebelum dia pindah ke Jogja. Nanti kamu nyesel.."

"Ah, tapi kayaknya Hana masih marah sama aku, Om.."

"Ga bener itu! Hana mana bisa marah sama kamu! Sejak kemaren aja dia selalu ribut di rumah, nunggu kamu telfon ataupun datang ke rumah.."

"Eh? Hana nunggu aku?"

"Iya, makanya cepet-cepet baikan gih!"

Benarkah itu?

Apakah Hana memang benar-benar masih mengharapkanku?

Apa aku masih punya kesempatan?

...untuk bisa kembali dengannya.

"Kak!" panggil Rena dari jauh sembari datang menghampiri kami.

"Oh, kamu pasti Rena ya!" ujar Ayahnya Hana.

"Iya.., Om..." Rena nampak bingung.

"Ini ayahnya Hana.." jelasku.

"Oh Ayahnya Hana, maaf, Om..." ujar Rena sembari mencium tangan Ayahnya Hana.

"Iya, gapapa. Aku justru yang minta maaf..."

"Maksudnya, Om?" tanyaku.

"Waktu itu aku meremehkanmu dan dengan sombongnya menolak tawaran kerja. Ya, syukurlah sekarang sudah bekerja dengan Ayahmu. Karena itu, aku mengucapkan banyak terimakasih, sampaikan salamku pada Ayah kalian ya.."

"Iya, Om. Titip salam ke Tante juga..." ujarku.

Setelah itu aku dan Rena kembali ke rumah kami, namun sejak beranjak dari supermarket, pikiranku masih belum bisa berhenti memikirkannya, ya, memikirkan Hana. Kami memang sudah putus, tetapi mengapa? Mengapa dadaku sangat sesak ketika tahu bahwa Hana akan pergi ke Jogja hari ini. Karena itu aku mencoba untuk menghubungi Hana, tetapi aku urungkan niatku, aku menghubungi Novi. Cukup lama untuk Novi akhirnya mengangkat panggilan dariku.

"Halo? Kenapa Rey?" sapa Novi.

"Aku dengar..., aku dengar kalian akan ke Jogja hari ini.." sahutku.

"Iya, malam ini keretanya----- sebentar! Kenapa kamu baru telfon sekarang hah?! Kenapa kemaren kamu engga datang?! Malahan kamu engga angkat telfon!"

"Maaf, aku belum siap bertemu dengannya.."

"Terus sekarang siap?"

"Tidak juga.., aku engga akan datang. Lagipula kami sudah putus.."

"Yaudah, sekedar info, kami sebentar lagi berangkat ke stasiun senen, soalnya jadwal keretanya 20.45"

"Kan udah dibilang, aku ga akan datang.."

Aku lalu memutuskan panggilannya. Walaupun berkata dingin seperti itu, aku seketika menyesalinya, rasanya semakin sesak, akhirnya air mataku mulai menetes. Namun aku hanya berbaring di kasur, membasahi sebagian kasur dengan air mata. Entah kenapa hatiku serasa lebih lega, mungkin karena akhirnya aku bisa menangis. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, bahwa faktanya aku masih mencintainya, aku masih mencintai Hana. Tanpa ku sadari, aku telah terlelap, kamarku sangat gelap, karena aku belum menghidupkan lampu. Tak lama, Rena datang ke kamarku, menghidupkan lampu dan mendatangiku, dia mengelus-elus pundakku.

"Rena..." ujarku.

"Aku sudah tidak tahan, aku harus mengatakan ini pada kakak.." sahutnya.

"Mengatakan apa?"

"Kakak mungkin sekarang bisa menyangkalnya, tapi percayalah kak, bahwa kakak suatu saat akan menyesali hari ini, jika kakak tidak melakukan sesuatu. Kakak akan dipenuhi rasa bersalah dan berandai-andai, 'andai saja hari itu..' seperti itu.."

"Aku sayang Hana, Rena.." keluhku sembari mulai menangis.

"Aku tahu kok.., karena itu Kak Eyan harus melakukan sesuatu, bukan?"

"Apa yang bisa kulakukan? Mungkin saja dia enggan untuk melihatku.."

"Soal berhasil atau tidaknya itu urusan belakangan. Yang penting Kak Eyan sudah berjuang, dan tidak akan menyesalinya seumur hidup.."

Aku mengelap air mataku yang masih menetes dan menggosok hidungku yang penuh lendir ini.

"Sekarang pukul berapa?"

"Eh? Jam delapan pas.."

Hana adalah perempuan pertama yang pernah kucintai sedalam ini.

Dia adalah orang yang menjadi pasanganku di pacaran pertamaku.

Dia adalah orang yang sempurna bagiku.

Tetapi aku menyia-nyiakannya.

Meskipun seberapa jauh kami sudah bercinta,

seberapa banyak kenikmatan yang kami bagikan bersama,

seberapa banyak bagian tubuhnya yang menempel pada tubuhku,

tetapi aku masih belum mengetahui apapun tentang Hana.

Kedewasaan adalah hal yang baru bagiku,

bahkan bagi kami berdua.

Wajar saja jika aku ataupun dia salah mengerti.

Karena itu, ini bukanlah salahku ataupun salahnya.

Ini adalah rintangan untuk hubungan kami.

dan aku tidak akan kalah oleh rintangan cemen seperti ini.

Aku menghela nafas panjang lalu beranjak dari kasurku, aku menghapus sisa air mata yang masih tersisa dari pelupuk mataku. Aku sudah membulatkan tekadku, bahwa aku akan menemuinya. Benar yang dibilang Rena, bahwa jika aku tidak berbuat apapun pada hari ini, maka aku akan menyesali ini seumur hidupku, aku akan dipenuhi dengan berandai-andai. Aku bodoh jika tidak mempercayai perkataan Rena tersebut. Oleh karena itu, aku akan berjuang.

"Baiklah, Rena. Ayo kita kejar kereta.."

Aku dan Rena lalu bergegas menuju halaman rumah untuk masuk ke dalam mobilku, lalu ku melaju dengan kecepatan tinggi yang sebelumnya belum pernah kulakukan dengan durasi yang lama. Namun sekitar setengah jalan lagi untuk menuju stasiun, secara tidak biasanya, jalanan macet. Selain itu, tiba-tiba hujan turun sangat lebat seakan-akan seisi dunia melarangku untuk bisa menemui Hana.

"Macet kak! Bagaimana ini? Bisa-bisa kita ketinggalan!" panik Rena.

"Sial! Tidak ada pilihan lain!"

Aku lalu melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil.

"Kak Eyan ngapain? Hujan Kak! Ayo masuk lagi!"

"Kamu yang bawa mobilnya, nyusul aja! Aku akan lari ke stasiun!"

Lalu aku melanjutkan perjalananku dengan berlari di tengah jalan yang sedang macet ini, sembari diterpa hujan deras yang membuatku merasa yang kulakukan ini cukup keren bagaikan di film-film drama.

Bajuku yang sudah berat karena basah kuyup ini membuatku kedinginan, pandanganku juga kurang jelas karena tertutup air hujan yang terus-menerus menyerang mataku, jalanan yang licin dan juga lubang yang tidak terlihat karena tergenang air menjadi musuh terbesarku pada malam hari ini.

Berkali-kali aku terjatuh dan terperosok ke jalan yang basah ataupun lubang yang dalam, namun aku mencoba bangkit kembali dan berlari, karena aku tahu, jika aku menyerah sekarang, maka aku akan menyesalinya seumur hidupku.

Hana, tunggu aku.

Aku datang kepadamu..

Jangan pergi dulu...

Tidak!

Jangan pernah pergi!

Aku...

Aku tidak ingin kita putus!

Aku tidak ingin kita berpisah!

Aku!

..masih..

..sangat-sangat..

...mencintaimu!