Setelah malam itu, Hana tidak masuk ke sekolah hingga sekitar seminggu. Dia bilang vaginanya terasa membengkak, karena itu dia tidak bisa berdiri seperti biasa, ada jarak yang memisahkan antara kedua kakinya. Dia tidak berani datang ke sekolah karena pasti akan jelas-jelas ketahuan.
Padahal malam itu dia sendiri yang mau.
Karena itu beberapa orang merumorkan bahwa kami berdua telah putus. Bahkan teman terdekatnya Hana, Novi, juga berkata demikian.
"Kamu engga putus kan?" tanya Novi.
"Engga lah, lagian buat apa percaya gosip begituan.." sahutku.
"Terus ada apa? Semuanya dimulai dari hari valentine kan? Apa kalian sedang berantem?"
"Engga juga sih.."
Setelah malam itu, Hana juga memintaku untuk tidak menemuinya. Hana tidak ada di apartemennya, dia pergi ke rumah ibunya. Namun yang kudengar dari Ibunya, dia juga tidak sering keluar kamar. Ya wajar sih, pasti dia engga akan memberitahu ibunya soal itu.
"Halo!" ujar seseorang dari belakang kami.
Suara yang tidak terdengar asing itu selalu membuatku senang. Tetapi entah mengapa setelah aku melihatnya, kali ini aku tidak dipenuhi rasa senang, aku dipenuhi rasa bingung.
Bagaimana tidak?
Dari penampilannya jelas sekali bahwa Hana sangat berbeda dari biasanya, aku tidak tahu apa saja yang berubah, tapi yang paling jelas ada pada rambutnya.
Hana memotong rambutnya menjadi pendek.
Biasanya saat melihat Hana, yang paling menonjol adalah penampilannya yang terlihat seperti kutu buku yang terlihat polos dengan rambut panjangnya yang dikepang itu. Namun sekarang, Hana memiliki rambut yang pendek. Aku tidak bisa berhenti terheran, sampai bel berbunyi, aku tidak bisa menghentikan wajah bingung. Bahkan saat di kelas, aku tidak bisa berhenti berpikir tentang penampilan barunya.
Ada apa dengan Hana?
Apa maksud perubahannya ini?
Semenjak malam itu, aku tidak berhenti mempelajari buku yang diberikan Hana. Sampai-sampai, Hana sering merasa kesepian, dan dia bermain bersama teman-temannya. Aku tidak bisa menyalahkannya, aku begini untuk bisa mendapatkan nilai bagus untuk masuk ke kampus yang sama dengan Hana di Jogja. Tetapi, aku juga sadar. Bahwa sejak saat itu, aku dan Hana mulai semakin merenggang. Kami tidak putus, hanya saja kami sudah jarang berkontak langsung, hanya melalui pesan, dan beberapa kali bertemu saat di sekolah. Sepertinya dia bisa mengatasinya dengan bermain bersama teman-temannya. Walaupun tidak bisa ku pungkiri, bahwa aku merindukannya.
Bagaikan berada penjara yang tak kasat mata.
*****
Sekarang sudah beberapa bulan berlalu, kami sudah melewati Ujian Nasional, tidak ada kejadian apapun yang bermakna, pada akhirnya kami pasti akan lulus juga. Aku dan Hana juga tidak mencolok pada nilai UN, masih banyak siswa yang jauh lebih pintar dari kami. Tujuan kami yang sebenarnya sudah berada di depan mata, tinggal menunggu waktu saja untuk mengikuti Ujian masuk kampus. Aku tidak mendapatkan tempat ujian yang sama dengan Hana, tetapi dia mendapatkan tempat yang sama dengan teman-temannya. Ada yang bilang, jika saat registrasi di waktu yang bersamaan, maka bisa saja mendapatkan tempat ujian yang sama.
Malam sebelum hari ujiannya, Hana menelfonku. Walaupun Hana terdengar sangat antusias sekali dengan ini, aku sama sekali tidak merasakan adanya kesenangan dalam diriku.
"Besok jangan lupa ya!" ujar Hana.
"Iya, iya. Kamu sepertinya senang sekali ya.." sahutku.
"Jangan lupa soal alat tulis dan papan! Oh ya, sama jangan lupa kartu ujiannya!"
"Iya, Hana.."
"Kamu besok berangkatnya gimana?"
"Ah, mungkin aku minta anter Rena atau Ayah.., kalau kamu?"
"Aku bareng sama yang lain, pakai taksi daring kayaknya.."
"Begitu ya.."
Kami berdua diam sejenak, akupun tak tahu mau berbicara apa. Hana juga sama, seakan-akan dia menungguku untuk memulai duluan. Karena itu aku ingin menanyakan apa yang ada di pikiranku selama ini.
"Hana.."
"Ya?"
"Ba-bagaimana jika aku tidak lolos tesnya?"
"Mana mungkin! Kamu kan udah belajar giat! Pasti masuk lah!"
"Tapi, semisalnya, itu terjadi, apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku, tidak tahu.., untuk saat ini, aku tidak tahu. Yang aku tahu kalau kamu akan lolos!"
Mikir apa aku? Aku mengharapkan sebuah jawaban yang romantis. Sebuah jawaban seperti 'aku akan membatalkan pergi ke Jogja! Karena aku hanya ingin terus bersamamu!'.
Tapi aku rasa Hana sudah tidak akan lagi berkata seperti itu.
Semenjak perubahannya yang drastis itu, aku menyadari bahwa ia mulai berani mendandani wajahnya, memakai bedak dan lipstik. Selain itu juga, perilakunya mulai berubah seiring waktu. Rasanya dia seperti seseorang yang berbeda. Sejak saat itu juga Hana tidak pernah mengajakku untuk bercinta atau sebagainya. Sekarang tentunya aku sudah cukup terangsang. Tapi aku tidak bisa berbuat apapun, aku juga tidak berani menanyakan hal itu kepada Hana.
Setelah selesai berbicara dengan Hana, aku pergi ke halaman rumahku, aku duduk di bangku besi yang dingin karena angin malam ini. Aku melihat ke langit, meresapi cahayanya, meresapi seberapa rindunya aku dengan Hana. Bukan hanya dengan orangnya, tapi dengan perilakunya. Aku sama sekali tidak senang dengan perubahannya, karena terasa aneh dan tiba-tiba bagiku. Akhir-akhir ini aku juga mulai berpikir, apakah pergi ke Jogja bersamanya adalah keputusan yang tepat?
"Mikirin apa sih, malem-malem gini? Bukannya besok kamu tes masuk?"
Ayahku datang menghampiri dan duduk di sebelahku.
"Ayah, dulu saat sama Ibu, apa ibu pernah berubah tiba-tiba?" tanyaku.
"Eh? Memangnya kenapa?" sahutnya.
"Ih, jawab aja.."
"Ya, gimana ya. Setau Ayah, memang perempuan itu rumit dimengerti. Ibumu juga sama. Dia pernah berubah sikap.."
"Seperti apa?"
"Ya, dulu Ibumu terkenal sangat berani dan kasar. Tetapi ayah sadar, sejak kami berpacaran, sepertinya ibumu dulu seperti lebih halus gitu.."
"Lebih halus?"
"Ya, maksudnya, daripada terlihat kasar, dia justru lebih terlihat feminim. Dia mulai memperhatikan pakaiannya, padahal sebelumnya dia selalu acak-acakan bajunya. Oh ya, dia juga mulai pergi ke salon, ayah malah pernah nganterin."
"Begitu ya. Kalau sikapnya?"
"Ya sama. Misalnya dia jadi malu-malu kalau kita lagi berduaan."
"Tapi, apa ayah risih dengan perubahannya?"
"Ya engga risih sih, tapi ya wajar kalau agak gimana gitu. Karena kita sedang beradaptasi.."
"Wajar, ya.."
"Hmm. Kalau memang Hana sedang mengalami fase itu, justru kamu juga harus beradaptasi. Anggap saja itu adalah metamorfosis. Seperti kupu-kupu, sebelum berubah menjadi versi terbaiknya, maka ia harus mengalami proses perubahan."
"Ayah jago juga filosofi ya.."
"Hehehe, dulu ayah kan termasuk siswa pintar. Jadinya kalau gombal harus pakai ilmu pengetahuan, bahkan ibumu aja sampai sering engga paham.."
Metamorfosis?
Hana berubah menjadi versi terbaiknya?
Maksudnya versi dewasa?
Memang sih, perubahannya terlihat seperti perempuan yang lebih dewasa. Berarti, jika aku tidak suka perubahannya itu, jika aku tidak bisa beradaptasi, maka aku tidak dewasa?
Tetapi kami sudah pernah bercinta.
Ya, sampai fase terakhir malah.
Kalau itu tidak disebut dewasa,
maka apa lagi?
Keesokan harinya, pagi-pagi aku sudah dibangunkan oleh Rena. Karena kami berdua akan pergi untuk menuju tempat ujian masuk kampus. Ya, Rena memang seumuran denganku, dia juga sudah lulus SMA dan akan menempuh pendidikan tinggi. Kami lalu menaiki mobil Rena, untuk pergi ke tempat kami masing-masing. Rena terlihat rapih dengan kemejanya yang longgar itu.
"Kamu cantik ya, hari ini.." godaku.
"Ish, berarti kemaren-kemaren engga dong.." balasnya.
"Hehe. Iya cantik kok.., Ngomong-ngomong, kamu mau masuk ke mana?"
"Ke Kampus Negeri Jakarta, kak.."
"Oh, yang waktu itu aku kasih tau ya.."
"Iya, kak"
"Kenapa ke situ?"
"Kenapa? Ya soalnya deket sih. Temen aku juga ada yang masuk ke situ.."
"Oh gitu ya.."
"Kak Eyan, sendiri, kenapa kakak mau ke kampus di Jogja?"
"Eh? Memangnya kenapa?"
"Ya, soalnya itu kan jauh.."
"Memangnya kenapa kalau jauh?"
"Yah, aku kan bakalan kangen.."
"Hmm. Aku juga bakal kangen sih"
"Nah karena itu, yang deket-deket aja"
"Kamu sebegitunya gamau pisah sama aku?"
"Iya lah! Kalau bisa, aku akan paksa Kak Eyan! Tapi.."
"Tapi?"
"Tapi, ya, aku rasa semua keputusan Kak Eyan, adalah keputusan yang terbaik, bukan? Pastinya Kak Eyan udah mikir dengan matang soal ini.."
Berpikir dengan matang?
Tidak.
Sama sekali tidak.
Yang kulakukan hanyalah demi ingin terus bersama Hana.
Tak lama, kami sampai di tempat untuk tes masuk, karena Rena tes di tempat yang berbeda. Setelah aku turun, ia melanjutkan perjalanan. Sekarang hanya aku sendirian di sini, melihat banyak sekali orang yang bersama teman, pasangan, atau orang tuanya. Tidak ada satupun yang ku kenal, karena itu aku hanya bisa duduk di bangku yang kosong sendirian. Tak ada seorangpun yang mengajakku berbicara.
Rasanya sangat kesepian.
Aku tiba-tiba teringat, biasanya kemanapun aku pergi, aku selalu bersama Hana. Sekarang Hana sudah nyaman dengan teman-temannya, dan aku sadar bahwa aku lah yang sebenarnya membutuhkan teman. Kalau dipikirkan, hanya Rena dan Hana yang benar-benar aku ajak untuk menemaniku kemanapun. Saat SMP, Rena lah yang selalu berada di sisiku. Aku hanya bersamanya, tanpa sering bergaul dengan teman lainnya. Mungkin hanya Taufik temanku selain Rena, tetapi dia juga pada akhirnya pindah ke Jogja. Saat SMA, Hana lah yang menggantikan peran Rena. Hal yang sama juga terjadi, karena sudah nyaman berduaan dengan Hana, aku juga tidak bergaul dengan yang lain. Lalu aku berpikir, jika memang aku kuliah di Jogja. Apakah aku akan memiliki teman di sana? Hana pasti akan lebih sibuk dengan temannya, sedangkan aku hanya sendirian di sana.
Ya.
Metamorfosis.
Apakah itu yang disebut dengan pubertas?
Melupakan hal kekanak-kanakan, dan menjadi lebih dewasa.
Apa memang Hana seperti itu?
Apa Hana berpikir secara dewasa?
Kalau itu benar,
..maka sebenarnya aku yang masih kekanak-kanakan?
Dari sifat Hana dan Rena, aku bisa mendapatkan perbandingan yang sangat jelas mengenai sifat dewasa dan kekanak-kanakan. Jika aku anggap Hana memang berpikir secara dewasa, maka jelas sekali bahwa Rena itu kekanak-kanakan. Sifat Rena yang selalu ingin menempel denganku, tidak ingin berpisah denganku, adalah bukti sifat kekanak-kanakannya. Ya, karena itu aku sadar.
Aku juga tidak mau berpisah dengan Hana.
Karena itu aku pantas jika disebut kekanak-kanakan. Aku masih bergantung padanya, bahkan sampai belajar demi masuk kampus yang sama dengannya. Jika aku terus-terusan bergantung pada Hana, maka aku akan tetap menjadi seperti ini, tetap tidak memiliki teman selain Hana, tetap sendirian jika tanpa Hana.
Karena itu,
aku putuskan...
...bahwa aku takkan lagi bergantung pada Hana.
Seketika saat itu juga, aku langsung bangkit dan pergi meninggalkan tempat itu. Aku sudah menyiapkan segala hal untuk ujian, aku sudah belajar selama beberapa bulan hanya untuk hari ini, tetapi aku tidak mengikuti ujiannya. Aku langsung pulang ke rumah dan berbaring di kasur, tanpa aku sadari, perilaku yang kulakukan sendiri, menyakiti diriku sendiri, aku menangis, aku menangis dengan keras karena aku tahu bahwa aku takkan pergi ke Jogja untuk kuliah bersama Hana.
*****
Sebulan kemudian, pengumuman yang lolos sudah keluar, Hana langsung mengabarkan bahwa ia dan temannya lolos masuk kampus di Jogja. Hana lalu mengajakku untuk datang ke apartemennya. Aku pun datang ke apartemennya, walaupun rasanya sudah lama sekali aku tidak menemuinya. Aku membuka pintu, lalu Hana berlari ke arahku dan langsung memelukku. Dia menutup pintu lalu menarikku ke dalam. Terlihat dari ekspresinya, jelas sekali bahwa ia sangat senang. Aku lalu membalas pelukannya dengan sangat erat. Aku sudah lama tidak memeluknya.
"Rey, sesak.." ujar Hana.
"Rasanya, kita udah lama ya? Engga seperti ini.." sindirku.
"Iya sih, tapi semua ini ada hasilnya bukan? Kita akan kuliah bersama di Jogja!!!" balas Hana dengan senang sekali.
Aku hanya terdiam, aku tidak menjawabnya. Aku menundukkan kepalaku.
"Rey? Kenapa?" tanya Hana sembari melepaskan pelukanku dan melihat wajahku.
"Aku, tidak akan ikut ke Jogja.."
"Hah?! Kenapa? Kamu tidak lolos?!"
"Ya.."
"Tidak mungkin! Kamu kan sudah belajar giat seperti itu! Yang kita pelajari kan sama.." Hana sangat marah seperti tidak terima.
"Aku engga tau.."
"Bohong! Pasti kamu bohong kan?! Kamu mau ngerjain aku kan? Jangan gitu deh! Engga lucu soalnya!"
"Aku engga lagi bercanda.."
"Bohong! Ah udah ah! Jangan bercanda!"
Sepertinya sudah percuma kalau aku mengaku bahwa aku tidak lolos. Lebih baik aku mengatakan yang sebenarnya.
"Baik, aku akan jujur.."
"Nah gitu dong!"
"Sebenarnya, aku tidak mengikuti ujiannya."
Raut wajah Hana langsung berubah.
"Kenapa? Kamu engga telat atau ada masalah kan di jalan?"
"Engga. Aku udah datang, tapi aku pergi dari sana.."
"Kenapa? Kenapa?! Aku ga ngerti! Aku ga paham! Kenapa kamu engga ikut ujian?!" suara Hana semakin keras dan terasa menyakitkan.
"Hana. Mungkin ini yang terbaik bagi kita."
Setelah aku selesai mengucapkan kalimat itu, Hana langsung menamparku.
"Kenapa? Beritahu alasannya.." ujar Hana dengan terisak-isak.
"Sejak kamu memotong rambut, dan merubah penampilan. Aku sadar, Hana. Kamu berubah menjadi dewasa, bukan? Sejak saat itu juga kamu mulai semakin dekat dengan teman-temanmu."
"Lalu apa hubungannya sama kuliah?!" Hana membentak.
Karena terbawa suasana, aku juga ikut membentak, "Ya! Ada hubungannya! Karena jika nanti aku kuliah di sana, akan percuma! Kamu pasti akan selalu bersama temanmu, bukan?! Dan aku akan ditinggalkan!"
"Mana ada! Aku kan ngajak kuliah di Jogja, biar bisa terus sama kamu! Kamu emangnya gamau bareng terus sama aku?!"
"Bohong banget! Kamu kan mau kuliah di Jogja karena teman-temanmu! Gausah alasan! Aku tau dari guru konseling dan Ibumu!"
Hana menggerutu, sepertinya Hana tidak bisa membantah perkataanku, dia lalu menundukkan wajahnya. Kami berdua lalu diam sejenak. Setelahnya sadar bahwa kami sedang bertengkar, aku menyadari bahwa diantara kami berdua, sebenarnya tidak ada yang lebih dewasa, kami berdua masih kekanak-kanakan. Hana lalu mengangkat wajahnya dan melihat dengan tajam ke padaku.
"Kalau memang katamu ini yang terbaik untuk kita berdua,
kalau begitu, lebih baik kita putus."