***Sudut Pandang Rey***
Waktu telah berlalu dengan cepat, tidak terasa hanya tersisa beberapa bulan untuk bisa lulus dari SMA ini. Banyak kenangan yang telah ku buat, ya walaupun hampir semuanya bersama Hana. Mau bagaimana lagi? Memang masa SMA ini adalah masa-masanya cinta yang bersemi. Aku pun tidak bisa menyangkalnya.
Setelah semenjak itu, yang kudengar Amanda sudah diterima lagi seperti dulu. Memang hebat pacarku ini, berani memperjuangkan seseorang. Karena itu aku tidak takut kehilangannya, jika saja suatu saat datang rintangan bagi hubungan kami, aku yakin kami pasti bisa menerjangnya.
Malam ini kami dalam perjalanan menuju Jakarta Selatan, namun aku tidak membawa mobil, aku membawa motor karena aku pikir akan sulit menemukan parkir. Dari dulu aku ingin mencoba ke suatu tempat yang merakyat ini. Gulai tikungan. Ya, sudah lama sebenarnya gulai ini menjadi pembicaraan banyak murid di sekolah, namun karena banyak sekali yang terjadi tahun lalu, aku tidak sempat menelusurinya. Karena itu, pada hari ini, kurasa hari yang tepat untuk mengajak Hana ke sini. Setelah mendapatkan parkir motor, kami berdua turun dan berjalan menuju 'tikungan' itu, walau aku ragu, karena disebutnya 'square'. Yang bener yang mana dong.
"Ramai juga ya.., padahal malam Sabtu begini.." ujar Hana.
"Kamu engga suka ramai?" tanyaku.
"Bukan begitu, hanya saja ketika banyak orang aku takut terpisah dan tersesat.."
"Tenang aja, aku pegangin biar engga ilang.." ujarku sembari memegang tangannya.
Setelah sampai, kami duduk dan memesannya untuk dua porsi. Tetapi saat sampai ditangan kami, ternyata dua porsi itu sangat sedikit. Mungkin kalau dikira-kira, jika punyaku dan Hana digabungkan masih belum bisa disebut satu porsi normal. Mana mungkin bisa kenyang hanya makan segini.
Bagaimana orang-orang bisa menikmati ini?
Ya walaupun begitu, gulainya memang terasa enak, kuah yang dicampurkan nasi berserta daging tipis dan kerupuk yang melempem itu membuat rasanya semakin enak lagi. Mungkin tidak sampai satu menit kami menghabiskan makanannya.
Ya, kami sangat lapar.
"Kamu mau nambah lagi?" tanyaku.
"Eh? Boleh?" tanya Hana kembali.
Aku lalu tersenyum, "kamu masih lapar, bukan? Tambah lagi aja, aku juga nambah.."
"Asikkk" soraknya sangat senang.
Kami menambah porsi lagi, Hana juga menambahkannya dengan sate tusuk telur ayam puyuh dan usus. Dia teringat dengan saat ketika kami di Jogja, sepertinya Hana menjadi menyukai makanan itu. Mungkin sekitar empat kali kami menambah porsi, barulah kami berhenti karena sudah merasa kenyang. Tetapi, ternyata harga satu porsinya lumayan mahal juga ya, satu porsi berharga sepuluh ribu rupiah.
Setelah itu kami berpindah ke toserba yang berada tidak jauh dari sana. Ya kami harus menetralkan banyak daging yang telah kami makan. Kami juga duduk bersantai di sana. Hana terlihat seperti lelah begitu, atau mungkin dia kekenyangan.
"Harusnya kamu tadi engga makan sebanyak tadi.." ujarku.
"Mau bagaimana lagi kan? Soalnya enak begitu.." sahut Hana.
"Tetap saja.."
"Oh ya, Rey, apa kamu bisa masak seperti itu?"
"Hmm, kalau ada resepnya, mungkin aku bisa.."
Setelah itu kami kembali menuju apartemen Hana. Sepanjang perjalanan pulang, pemandangan lampu kota di malam hari menghiasi jalan yang mulai sepi akan kendaraan yang berlalu-lalang dan ditambah dengan angin malam yang dingin. Mungkin ini tidak seperti Jogja yang langitnya terlihat bintang, meskipun begitu, aku tidak hanya sekali mendengar Hana menyebut bahwa pemandangan kota saat malam hari sangatlah indah.
Kami sampai di apartemennya di waktu yang sangat pas, saat kami baru mau masuk ke dalam, tiba-tiba terdengar suara letupan berkali-kali. Suara itu diikuti dengan cahaya yang berbentuk seperti bunga. Ya, itu adalah kembang api. Hana melihatnya dengan sangat serius sampai-sampai ia terpaku dan tak sadar bahwa aku memeluknya dari belakang. Kembang api itu terlihat sangat jelas dari depan apartemen Hana yang berada di lantai tiga.
"Indah ya, Rey.." kagum Hana.
"Iya. Sangat indah.." sahutku.
"Jarang-jarang ada kembang api.."
"Mungkin ada acara, kalau ga salah itu dari mall.."
Aku lalu mengambil sebuah kotak dari kantungku, lalu menaruhnya di tangan Hana.
"Eh? Apa ini? Eh?! Kamu peluk aku?" Hana baru tersadar.
"Udah dari tadi.., buka aja"
Hana lalu membuka kotak itu, di dalam kotak itu terdapat cincin, cincin yang berbentuk bunga itu sudah kusiapkan sejak jauh-jauh hari.
"Cincin?" bingung Hana.
"Iya, sini aku pakaikan.."
Aku lalu melepaskan cincinnya yang lama, lalu menggantikannya dengan cincin yang baru. Rasanya aku agak sedikit gugup, Hana juga hanya diam saja.
"Cincin yang lama bagaimana?" tanya Hana.
"Ya ditaruh, lagian cincin yang ada namanya begitu terlihat seperti kekanak-kanakan, bukan?" sahutku.
"Memangnya kenapa?"
Aku lalu tersenyum padanya, "Sekarang sudah tanggal 12 Februari. Kamu kan ulang tahun.."
"Oh iya! Aku sama sekali engga ingat.."
"Karena itu, cincin ini adalah hadiah ulang tahun dariku"
Hana tidak berkata apapun, namun wajahnya yang terlihat sangat senang, lalu ia memelukku. Tidak perlu waktu lama untuk kami sama-sama mengerti satu sama lain, kami berdua langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Kami berdua saling berciuman di atas ranjang dengan nafsu yang sangat besar, kami saling memainkan lidah hingga air liur kami bertukar dan bercampur menjadi satu.
"Ayo, buka baju.." pinta Hana.
"Engga boleh, kamu kan lagi ulang tahun" sahutku.
Yah, engga kaget sih kalau dia minta itu.
"Justru itu, harus dirayakan dengan meriah.."
"Bisa aja kamu.., Engga mau, aku harus pulang.."
Meskipun begitu, tetap saja Hana menciumiku hingga aku sendiri tidak bisa berkutik. Aku lalu menurunkan Hana yang sedang menindih tubuhku, aku langsung berdiri dan merapihkan bajuku kembali. Hana berbaring di kasur dan terlihat seperti ngambek.
"Rey.., apa kamu engga suka?" tanya Hana.
"Engga suka apa? Jangan ambigu gitu dong.." tanyaku kembali.
"Kamu tadi bilang kalau aku kekanak-kanakan, apa kamu engga suka?"
"Bukan begitu, kamu kan sekarang sudah 18 tahun. Sudah saatnya kamu dan hubungan kita berada di tahap yang serius.."
"Eh? Maksudnya kamu mau bikin aku engga perawan lagi? Jangan mas! Aku masih belum siap..." goda Hana.
"Mulai lagi deh.., maksudnya itu kita nanti akan kuliah, kerja, dan sebagainya. Pasti kita akan ada momen di mana kita gabisa bersama selalu.."
"Kuliah? Kalau itu kamu kan bisa masuk kampus yang sama dengan aku, dengan begitu kita bisa tinggal berdua di Jogja.."
"Ya pastinya aku mau masuk kampus yang sam----- eh, bentar. Maksudnya tinggal berdua di Jogja?" bingungku.
"Iya. Kita akan pindah dan kuliah ke Jogja. Kamu mau kan?"
"Eh? Kapan kamu bilang mau kuliah di Jogja?"
"Ah. Kayaknya aku belum bilang ya.."
"Hmm. Kenapa tiba-tiba kamu kepikiran mau kuliah di Jogja? Aku kira kamu akan kuliah di Jakarta, kampus yang ada acara jejepangan terbesar itu.."
"Awalnya sih gitu, tapi setelah kemarin melihat enaknya tinggal di Jogja. Aku jadi mau coba tinggal di sana. Lagipula Novi dan yang lain mau masuk ke kampus negeri di Jogja.."
"Oh begitu ya.., Ya sudah, aku pulang ya.."
Hana berubah dari senang menjadi hanya terdiam dan terlihat murung begitu. Sepertinya dia masih ingat soal tadi yang tidak jadi melakukan itu.
"Huft. Iya, iya. Nanti kita 'perayaan meriah'nya pas valentine aja..." lanjutku.
"Benarkah?" sahut Hana dengan semangat.
Aku lalu menciumnya dan tersenyum padanya, "Iya, karena itu kamu harus tahan ya. Gaboleh masturbasi.."
"Oke!"
Aku lalu meninggalkan apartemennya dan menuju arah rumahku dengan motor. Sembari membawa motorku di jalanan yang sudah sepi, berapa kali aku berbicara pada diriku sendiri agar tidak mengantuk.
Aku tidak menyangka Hana telah memikirkan mau kuliah di mana..
Rasanya jarang sekali melihat Hana mempunyai tujuan seperti itu.
Tapi kenapa Jogja?
Aku tidak begitu mengerti, tapi yang kudengar dari Taufik akan sulit bagi orang luar Jogja untuk bisa kuliah di sana. Taufik saja bilang bahwa dia harus belajar mati-matian untuk mendapatkan skor simulasi yang bisa membuatnya masuk ke kampus negeri di sana.
Hana memang pintar sih..
Dia jauh lebih pintar dariku..
Pastinya dia bisa saja masuk..
...tetapi...
...bagaimana denganku?