Chereads / implicit: it's just you and me / Chapter 29 - Sebelum berlari lagi.

Chapter 29 - Sebelum berlari lagi.

***Sudut Pandang Rey***

Ah, rasanya nikmat sekali tadi malam.

Ya, tadi malam akhirnya kami melakukannya juga. Padahal sudah kutahan sebisa mungkin, tapi tetap saja Hana memintanya.

Ya mau bagaimana lagi kan?

Kali ini bukan salahku.

Aku terbangun, melihat langit-langit kamar kos ini. Kemaluanku masih berdenyut merasakan jilatan Hana semalam. Rasanya mantap. Aku meraba ke sampingku, namun aku tidak merasakan apapun selain karpet. Saat aku menoleh, tidak ada Hana di sebelahku.

Di kamar mandi mungkin ya?

Aku lalu menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku, namun saat sampai di sana, aku tidak menemukan Hana. Aku tidak menemukan siapapun. Di sana terdapat empat bilik kamar mandi, tapi tidak satupun yang ditutup, menandakan tidak ada satu orangpun.

Hana kemana?!

Aku langsung berlari kembali ke kamar, barang-barangnya Hana masih ada, tetapi sendal dan ponselnya tidak ada. Aku lalu keluar menuju halaman kosan, namun tidak seorangpun di sana, bahkan Hana tidak ada di dalam mobil.

Lalu dia kemana?

Di saat panik seperti ini, hanya satu hal yang terlintas di pikiranku. Ya, Faris. Entah siapapun yang menculik Hana, ketika aku sedang tertidur.

Sial, seharusnya aku lebih waspada lagi.

Kakiku lemas, aku memutuskan untuk duduk di tanah sembari bersandar ke mobil. Air mataku mulai menetes membasahi pipiku.

Maaf, Hana. Aku gagal melindungimu.

Aku menundukkan kepalaku hingga dahiku bertemu lenganku. Aku meringkuk untuk menutupi tangisanku, sudah tak tau lagi harus apa.

"Rey?"

Suara itu..

Seperti ku kenal...

Aku lalu langsung mencari asal suara itu, ada seseorang di sampingku.

"Kamu kenapa?"

Itu adalah Hana.

"Eh? Kamu ada... ada di sini.." ujarku dengan mengelap air mataku.

"Ya aku ada di sini..., Kenapa deh?" Tanya Hana.

"Aku kira kamu hilang..." Sahutku sembari tersenyum memeluknya dalam keadaan setengah berdiri.

Hana sepertinya tampak bingung. Dia lalu membawaku masuk ke dalam kamar kosan. Dia berdiri sembari meletakkan sesuatu di meja, sedangkan aku duduk di lantai.

"Ada apa deh?" Tanyanya.

"Aku kaget kamu tiba-tiba hilang. Di cariin kemana-mana ga ketemu.., kamu habis dari mana?" Sahutku.

"Aku habis beli bubur, nih lihat" ujarnya sembari menunjuk ke meja.

"Begitu.., kenapa kamu engga bilang.."

"Eh? Aku udah bilang kok.., kamu udah cek ponsel?"

"Ah, belum sih.."

"Oh ternyata pangeranku merindukan aku ya di pagi hari.." godanyanya sembari ikut duduk dan mendekatiku.

"Mau bagaimanapun, aku memang kangen kamu sih.."

"Nih, coba dicium dulu putrinya.." ujarnya sembari menutup mata.

Aku lalu mencium bibirnya. Namun tak lama ia melepaskan ciumannya dan mengendus-endus badanku dari atas hingga mendekati pinggangku.

"Masih bau sperma ih.."

"Ya mau bagaimana lagi kan? Aku panik kami tiba-tiba hilang gitu.."

"Mandi gih, nanti aku siapin sarapannya.."

"Oke, sayang. Jangan di aduk ya.."

"Aduk ah.."

"Jangan!!"

Setelah mandi, kami menyantap bubur yang sudah Hana beli. Jarang-jarang aku melihat Hana membeli bubur seperti ini, biasanya dia memesan makanan cepat saji. Tapi sih memang buburnya lezat, ditambah topping telur, keju, dan kornet yang membuat rasanya lebih nikmat jika tidak di aduk.

Ketika hari sudah mulai siang, kami berangkat dengan mobil untuk pergi ke mall. Di sana kami mencari-cari toko baju, karena kami sama sekali tidak memiliki baju ganti yang cukup selama di Jogja ini. Akhirnya kami menemukan sebuah Ramayana. Sembari melihat-lihat, aku menemukan beberapa baju yang tanpa lengan alias jika Hana pakai akan terlihat ketiaknya. Baru melihat itu saja aku sudah membayangkan yang tidak-tidak.

"Kamu lihat apa, Rey?" Tanya Hana.

"Ah, coba kamu pakai ini.., pasti cocok.." sahutku sembari menunjukkan baju yang aku lihat tadi.

"Lumayan sih.. sebentar. Ini kan baju tanpa lengan, Oh, jadi kamu mau ngeliat aku angkat ketek?"

"Ah, eng-engga kok.., kebetulan aja.." sahutku dengan memalingkan wajah.

"Engga usah berbohong.., ya sudah aku coba dulu ya.." ujarnya sembari membawa baju itu ke ruang ganti.

Aku menunggu di depan ruang ganti sembari berpikir apa yang akan kulihat nanti. Akan jadi seperti apa kalau Hana pakai?

"Rey..." Panggil Hana.

"Ada apa?" Tanyaku.

"Aku malu.." ujarnya dengan hanya menunjukkan wajahnya yang memerah itu, bagian badan lainnya tertutup oleh tirai.

"Buat apa malu? Lagipula aku sudah sering melihat tubuhmu, bukan?"

"Tetap saja.., situasinya kan beda.."

"Ayo. Jangan malu.."

Hana lalu perlahan melepaskan tirai yang ia pegang dari tadi. Sedikit demi sedikit tubuhnya yang dibaluti pakaian tanpa lengan itu terlihat. Aku tidak bisa memungkirinya, bajunya terlihat sangat cocok pada Hana.

"Ba-bagaimana?" Tanyanya dengan malu.

"Kamu terlihat sangat-sangat cantik, Hana.." sahutku dengan senyum.

"Kalau begitu..."

Hana lalu mengangkat kedua tangannya dan menaruhnya di belakang lehernya yang membuat ketiaknya terbuka dan terlihat olehku. Rasanya kemaluanku mulai mengeras, mulai bereaksi melihatnya dengan pose itu. Wajah Hana yang malu-malu ditambah baju serta ketiaknya yang mulus itu pastinya akan sangat bagus jika aku foto. Sayang sekali aku tidak membawa kamera.

Setelah membeli cukup banyak baju, karena tangan kami sudah tidak bisa memegang lebih banyak lagi, kami memutuskan untuk kembali ke parkiran mobil untuk menaruh barang-barang yang sudah kami beli.

Tidak terasa hari sudah semakin sore, kami lalu memutuskan untuk tempat makan. Kami lalu melewati kerumunan orang, begitu banyak orang yang berdesak-desakan berlawanan arah dengan kami. Aku baru sadar bahwa aku melepas pegangan tangannya Hana. Aku menunggu kerumunannya mulai berkurang. Namun aku tidak bisa menemukan Hana.

Dia hilang lagi.

Aku lalu mencoba mencarinya di antara kerumunan tadi, aku lalu melihat Hana di seberang kerumunan. Aku menerobos secara perlahan ke kerumunan itu untuk menuju ke Hana.Namun setelah ku lihat itu bukanlah Hana, hanya mirip sekilas. Aku mulai panik dan mencoba melihat-lihat sekitar. Aku lalu menelusuri jalan yang tadi telah aku lewati. Setelah aku telusuri, ternyata benar, aku melihat Hana. Namun seseorang memegang tangannya dan tidak mau melepaskannya walaupun Hana sudah menarik-narik tangannya.

Sial, pasti anak buahnya Faris.

Kali ini pasti benar.

Aku lalu bergegas menghampiri mereka, aku melepaskan tangannya, lalu dengan refleks, aku menonjok orang itu dengan sangat keras. Orang itu terjatuh, lalu melihatku dengan penuh amarah. Orang itu lalu lalu berdiri dan membalasnya dengan pukulan juga, aku lalu ingin membalasnya lagi, namun tanganku di tahan oleh Hana.

"Rey!! Ini paman aku!!" Bentak Hana.

"Eh? Paman?" Kagetku.

"Hah? Rey?" Bingung orang itu.

Ternyata memang benar, orang yang aku pukul itu adalah pamannya Hana. Orang yang Hana pernah ceritakan padaku, bahwa pamannya adalah orang paling dekat dengannya, bahkan jika dibandingkan dengan ayahnya sendiri. Mengetahui fakta bahwa itu pamannya, aku tidak bisa berkata apapun selain menahan rasa malu di depannya. Dia juga melihatiku dengan agak sinis. Sekarang kami berada di restoran cepat saji, kami berdua sedang tegang di tempat duduk sedangkan Hana sedang memesan makanannya. Orang itu lumayan terlihat tua sih, namun terlihat uratnya yang memberi kesan bukan orang main-main.

"Aku mantan kepolisian.." ujar pamannya Hana.

Kenapa itu coba yang pertama disebut?!

Aku jadi makin takut jadinya...

"Ah, eng... Maksudnya?" Tanyaku dengan takut.

"Aku tau mana pukulan orang biasa dengan orang yang orang yang tidak biasa.."

"Hmm, maksudnya?"

"Maksudnya pukulanmu cukup keras dan menyakitkan. Aku saja masih terasa sampai sekarang.." ujarnya sembari memegang pelipisnya yang aku pukul.

"Ma-maaf..., Aku tidak tahu.."

"Tidak masalah. Setidaknya kau membuktikan bahwa kau bisa menjaga Hana dengan pukulan seperti itu.."

"Ah, iya..."

"Aku sudah tau apa yang terjadi. Walaupun begitu, aku tidak yakin bisa membantu. Faris itu pasti bisa aja menyewa kepolisian untuk berada di pihaknya.., karena aku sendiri juga sudah keluar, aku tidak bisa membantu banyak. Jadi apa rencanamu?"

"Ah, aku belum tahu. Tapi untuk sekarang kami akan terus kabur.."

"Hmm, memang tidak ada pilihan lain. Mau kabur ke mana?"

"Untuk saat ini mungkin sampai ke Surabaya dan mungkin Bali.."

"Kenapa tidak sekalian aja ke luar negeri? Aku dengar ayahmu punya perusahaan bukan? Pastinya kamu bisa keluar negeri dengan mudah.."

"Paman tau ya.."

"Tau lah, Hana sering cerita tentangmu.."

"Makanannya datang..." Ujar Hana dengan membawa nampan penuh makanan.

Setelah itu kami makan dan mengobrol, ternyata Pamannya Hana cukup baik, walaupun terlihat menyeramkan, dia sangat rendah hati. Tidak heran jika Hana lebih nyaman kepada Pamannya ketimbang dengan Ayahnya.

Setelah selesai makan, kami dan Pamannya Hana berpisah, katanya ia masih ada urusan. Karena itu, Pamannya berpesan untuk selalu menjaga Hana dan tidak pernah meninggalkannya. Lalu kami melanjutkan berbelanja pakaian dan kebutuhan seperti makanan dan kudapan untuk selama perjalanan. Rencananya, kami akan segera meninggalkan Jogja malam ini juga.

Hari semakin larut, cukup lama juga kami mengantri untuk membayarnya. Orang-orang di sekitar kami terlihat bingung mengapa kami membeli banyak sekali. Akhirnya setelah sekian lama mengantri, kami membawa troli penuh makanan ini parkiran lantai paling atas, karena di sana aku memarkirkan mobil. Saat keluar dari gedung, pemandangan bintang yang memenuhi langit telah menyapa kami.

"Indah ya.., bintangnya kelihatan jelas semua.." ujar Hana terkagum.

Meskipun dalam keadaan seperti ini,

Hana masih saja bisa tenang ya..

"Hana..., Kamu sudah pernah keluar negeri sebelumnya?" Tanyaku.

"Eh? Belum pernah. Kenapa?"

"Ah, tadi Pamanmu menyarankan kita untuk kabur ke luar negeri.."

"Benarkah?"

"Iya.., bagaimana menurutmu?"

"Aku sih tidak masalah.., tapi uangnya bagaimana?"

"Uang tidak masalah, aku bisa minta ke ayahku nanti.."

"Begitu..., Kamu sudah pernah ke luar negeri, Rey?"

"Ah, aku juga belum pernah sih.."

"Memangnya mau kemana?"

"Belum tau pastinya sih, tapi aku sedang memikirkan Jepang.."

"Ah! Kalau begitu Jepang saja!"

"Kamu mau ke Jepang?"

"Iya! Ayo kita ke sana!" Ujar Hana dengan semangat.

"Kalau begitu, besok kita akan buat pasport.." sahutku dengan tersenyum.

"Ngomong-ngomong koruptor itu pada kabur ke luar negeri dan engga ketahuan kan ya.., berarti aman."

"Ya, bener sih. Tapi kan kita bukan koruptor.."

Melihatnya yang tersenyum lebar dan terlihat sangat bersemangat itu tentunya sangat langka kulihat, apalagi akhir-akhir ini. Karena itu aku tidak bisa menolak keinginannya itu. Setelah sampai di mobil, kami lalu memasukan makanan-makanan ke dalam bagasi mobil, beberapa ada yang kami taruh di kabin belakang.

Ketika kami sedang memasukkan barang-barang, tiba-tiba sinar terang menyorot ke arah kami berdua. Sinar itu sangat terang. Aku melihat asal sumbernya, ternyata itu dari sebuah mobil. Mobil itu lalu bergerak maju mendekati kami. Setelah sadar bahwa aku melihat ke arahnya, pemilik mobil itu mematikan lampu mobilnya. Setelah kulihat, ternyata itu adalah mobil BMW 850i Grand Coupe, salah satu tipe mobil BMW yang aku mau, tetapi seingatku mobil itu belum rilis secara resmi di Indonesia. Pastinya pemilik mobil itu bukan orang main-main. Pemilik mobil itu lalu keluar dari mobilnya dan berjalan perlahan mendekati kami. Setelah cukup dekat, akhirnya terlihat siapa pemilik mobil itu.

Dia adalah lelaki yang terlihat rapih beserta setelan jasnya itu. Awalnya aku sempat tidak mengenalinya, namun ketika melihat wajahnya, aku langsung mengenalinya.

Dia adalah Faris Farendra.