Chereads / Red Jelly / Chapter 26 - Satu Keganjilan

Chapter 26 - Satu Keganjilan

"Sebenarnya, alasan kenapa aku datang lebih cepat memang karena ingin bersamamu lebih lama," jedanya menatap sendu wajah Chika. "Sebelum aku benar-benar sulit bertemu denganmu," sambungnya.

"Maksudnya?" tanya Chika dengan suara parau

Laki-laki berbalut jaket hitam itu mengatur posisi duduknya menghadap Chika. Tangannya terulur menyentuh rambut turun hingga mencari tengkuk Chika. "Izinkan aku menciummu lebih dulu, nanti akan kujelaskan semua," tak ada jawaban dari Chika, tanpa menunggu lebih lama lagi, ditariknya tengkuk sang gadis hingga kedua labium itu bertemu.

Tak ada perlawanan dari Chika, ia membiarkan laki-laki yang bukan kekasihnya itu menciumnya. Memagut hingga menghisap material kenyal nan-merah miliknya. Terasa sekali hisapan kuat yang diberikan Dirga. Chika merasa laki-laki kekar ini sedang tidak dalam keadaan baik. Bahkan sejak awal datang tadi, ia sudah merasa Dirga sedikit berbeda. Biasanya, ia akan banyak omong saat bertemu dengannya.

Dan juga saat ayahnya berkata menyetujui jika mereka berpacaran, Dirga tak menampilkan ekspresi senang atau bahagia. Bukankah ini yang Dirga harapkan?

Dirasa cukup, Chika mendorong pelan dada Dirga, namun laki-laki itu malah memeluknya erat. Sangat erat. Tapi sama sekali belum ada penjelasan yang keluar dari bibir Dirga, hanya helaan nafas kelewat panjang yang dapat ia tangkap.

"Aku.. sudah tidak diberikan waktu lagi untuk urusan pribadi," ucapnya. Dirga semakin menenggelamkan wajahnya diceruk leher Chika, seakan menghirup habis aroma sang gadis untuk dia ingat selama di apartemen.

Gadis itu mengelus lembut punggung lebar Dirga memberikan ketenangan.

"Kan masih ada ponsel. Kita bertukar pesan, saling memberi kabar,"

-

-

-

Selepas pulang dari taman dekat rumah, tungkainya dilangkahkan menuju dapur. Mengambil minuman di lemari pendingin untuk menghilangkan dahaga yang menyerangnya. Letih sekali malam ini.

Di kamar pun rasanya malas sekali menyiapkan buku-buku untuk sekolah besok. Untung tugasnya sudah dikerjakan. Sudahlah, merebahkan diri saja tujuan akhirnya.

Ia jadi teringat perkataan Arum tadi pagi. 'Menunggu seseorang yang dicintai itu tidak mudah'. Memang pada dasarnya, Arum dan kekasihnya sudah memiliki status hubungan mereka, tapi apa berlaku juga pada dirinya dan Dirga?

Tadi saat di taman, Dirga juga berkata akan menunggu hingga Chika mau membuka hati untuknya. Sesulit itukah mencintai seseorang yang belum tentu mencintai kita?—pikir Chika. Tapi sungguh, perasaan yang Chika berikan pada Dirga masihlah sebatas seorang adik untuk kakak. Chika sampai lelah ingin menjelaskan hal ini kepada siapapun.

Dadanya terasa sedikit sesak karena mereka tidak akan punya waktu seperti dulu lagi. Ya memang, ini semua terjadi juga ada campur tangan Chika, namun tak mengira jika sampai seperti ini.

Karena terlalu memikirkan hal ini, tanpa Chika sadari, dirinya telah terlelap masih dengan pakaian terakhir yang dikenakannya. Kakinya saja juga masih tergelantung—tubuhnya tidak sepenuhnya diatas kasur.

Di lain tempat, Dirga masihlah berada di depan minimarket. Memainkan kaleng minuman yang setengah dari isi telah diteguknya.

"Kenapa semakin sulit saja, sih?" gumamnya pada diri sendiri.

"Anggap saja kau sedang berada dititik terendahmu," suara laki-laki itu merangsek masuk dalam rungu Dirga. Laki-laki dengan setelan jeans biru pudar dengan bagian lutut yang sobek. Kaos putih bertuliskan FG dibagian depan, ditambah kemeja kotak-kotak berwarna merah dan hitam yang kancingnya dibiarkan terbuka. Jalan menghampiri Dirga yang memperhatikannya.

"Bang Yogi," panggilnya.

Yogi ikut duduk di bangku sebelah Dirga, membawa kaleng yang juga sama dengan milik anggota paling muda digrupnya. Dirinya hanya menatap Dirga dengan tatapan datar sebelum mengajukan sebuah pertanyaan. "Apa itu benar? Semua tentang surat panggilan kita ke agensi ini,"

Dirga hanya mengangguk menandakan pembenaran atas apa yang Yogi ucap barusan. Tak ingin menampik, sejujurnya Dirga memang tak menyukai manajer baru pilihan Arka ini. Cara kerjanya memang bagus, Dirga akui itu. Hanya saja, menurutnya sikap manajernya itu tidak menunjukkan sikap yang seharusnya. Tidak tahu jika keenam teman lainnya tidak beranggapan yang sama.

Entahlah, jika dicerita fiksi atau film, ini masih terlalu awal untuk mengetahui suatu kebohongan kecil. Semua pemeran akan tahu kebusukannya seiring berjalannya waktu. Atau mungkin, memang sudah tahu keganjilan lainnya.

"Sepertinya apa yang kau pikirkan, juga aku pikirkan," tutur Yogi.

"Maksudnya?" sungguh, Dirga tak paham dengan ucapan Yogi ini.

Diteguknya habis kaleng soda milik Yogi, lantas melemparnya ke tempat sampah didepannya. "Ingat saat kau mendapat pesan untuk berhati-hati dalam bicara ketika didalam apartemen?" tanyanya sambil menarik nafas dalam. "Tepat setelah Nanda dan Bang Septian tertidur, aku menemukan alat penyadap suara dikamar kami," imbuhnya.

Baru mendengar saja, rambut-rambut tangan Dirga sudah berdiri. Sekujur tubuhnya juga merasakan hal itu. "Tapi, bagaimana bisa?"

Kalian tahu, bukan, sinar inframerah itu tidak dapat ditangkap hanya dengan mata telanjang? Inilah salah satu keahlian Yogi, karena sebelumnya dia pernah menonton salah satu film action, dimana pemeran utamanya menggunakan kamera ponsel untuk mengetahui keberadaan alat penyadap suara. Wah, terkadang pembelajaran memang tidak didapatkan dari sekolah saja.

"Sebenarnya, antara gadismu atau Caroline, aku tak mempermasalahkan siapapun yang mengirimkan salah satu video kita. Dua perempuan itu sudah membuatmu, membuat kita berada di agensi besar ini. Kita harus berterimakasih pada mereka. Tapi, terlepas dari itu, kita bertujuh juga harus berhati-hati dengan Caroline," tuturnya panjang lebar.

Dirga hanya terdiam, mencerna dalam semua kalimat Yogi. Dirinya bahkan meminta Yogi untuk merahasiakan ini sementara dari Jamal. Seperti kalian tahu playboy alim itu tengah menyukai manajernya sendiri, hampir setiap malam Jamal selalu menceritakan pasal betapa wahnya Caroline dimatanya.

Tepat setelah itu, Yogi berdiri menatap Dirga yang masih memperhatikan jalanan didepan minimarket. Tangan kanannya terulur untuk menepuk salah satu bahu Dirga, menyadarkan dari pemikirannya. "Berikan aku tumpangan," lawak sekali memang Yogi ini.

Cukup lama mengenal, Dirga paham bagaimana sikap dari Yogi, anggota tertua nomor dua setelah Septian. Presensi yang selalu menyelesaikan masalah dengan tenang. Terkadang, dia pintar menutupi masalahnya dari keenam teman lainnya.

Lantas Dirga bangkit dari duduknya, membuang kaleng soda yang masih tersisa sedikit didalamnya. Keduanya berjalan ke arah motor yang diparkir dekat penjual donat disana. Pikir Yogi, ia tak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk naik transportasi menuju apartemennya. Lagipula, menunggu bus atau taksi di jam segini, rasanya mustahil. Kan tidak keren juga, jika Yogi harus berjalan menuju apartemennya. Beruntung sekali pokoknya bertemu Dirga di minimarket ini.

"Terimakasih, Bang," Dirga juga tidak tahu, kenapa ia mengucapkan kata itu untuk Yogi. Perasaannya hanya menyuruhnya melakukan itu. Jelas, Yogi tetap membalas ucapan Dirga melalui dua anggukan kepala.

Keduanya berlalu dari situ menuju apartemennya yang berjarak sekitar tiga kilometer dari minimarket. Cukup jauh.

Untuk sekedar informasi saja, selepas pindahannya ke apartemen, Dirga tidak diizinkan membawa mobil, mau tidak mau, dirinya hanya diperbolehkan membawa motornya.