Chereads / Red Jelly / Chapter 30 - Weekend (2)

Chapter 30 - Weekend (2)

Paduan atasan berwarna coklat gelap dengan celana jeans putih melekat indah pada tubuh Arum. Ini adalah style asal-asalan saja. Lagipula, ini kan hanya kencan untuk membayar hutang.

"Oke, Arum. Lakukan ini dengan cepat, setelah itu hutangmu akan lunas," ucapnya pada diri sendiri di depan cermin.

Terakhir, ia mengambil tas kecil diatas balas sebelah ranjangnya. Berjalan keluar menghampiri sang ibu yang sedang menonton televisi. "Arum pergi dulu, Bun,"

"Jangan pulang terlalu malam," teriak sang ibu.

"Iya, Bunda," balasnya.

Di depan gerbang rumahnya, Dante dan motor hitamnya sudah siap untuk menjemput Arum. Gadis itu mendekat, "Kubilang jemput didepan gang sana saja," tunjuknya kearah ujung jalan.

"Ganteng seperti ini, jemput gadis depan gang," Dante menggeleng sebelum melanjutkan kalimatnya, "Bukan gayaku,"

Arum langsung saja duduk di belakang, daripada harus mendengar Dante berceloteh lebih panjang.

Tujuan awal kencan mereka, Dante mengajaknya ke suatu tempat, mengunjungi lokasi street food. Jujur saja, Arum senang sekali dibawa ketempat ini. Dulu, sebelum Kevin pergi ke luar negeri, ia dan Kevin hampir sering mengunjungi street food seperti ini. Padahal mereka baru saja menjalin hubungan sekitar tiga bulan setelah kelulusan Arum dari sekolah sebelumnya, Kevin pergi meninggalkannya. Laki-laki itu bilang, dia akan kembali. Kevin itu seumuran dengan Dante.

Setelah menjajal berbagai makanan disana, Dante mengajaknya ke salah satu danau. Damai sekali rasanya, melihat genangan air yang tenang.

"Kak, memangnya kau benar menyukaiku?" tanya Arum dengan gamblang.

Tak ada rasa terkejut dari Dante. Itu pertanyaan mudah, bahkan bisa dijawabnya sembari menutup mata, "Tidak," benar-benar tertutup matanya. "Lebih tepatnya belum. Aku baru tertarik padamu. Nanti jika sudah suka, akan kuhubungi secepatnya,"

"Apa begini caramu mendekati perempuan?" tanyanya lagi.

"Tidak," Dante memangku salah satu kakinya, melirik ke arah gadis berambut sebahu itu. "Aku tidak ingin banyak bicara. Karena itu akan terasa percuma saja. Intinya, jika aku menyukai wanita, akan kudapatkan dengan caraku sendiri. Bukan dengan promosi diri,"

Keduanya terdiam, Arum memperhatikan Dante yang baru saja mengeluarkan ponselnya. Lantas, Arum kembali berujar, "Bahkan jika wanita itu sudah memiliki kekasih?"

Dante hanya bergeming. Tangan kirinya terulur guna menarik pergelangan tangan kanan Arum. "Ini sudah malam, ayo pulang," ajaknya. Terlihat Arum mengikuti ucapan Dante, langkahnya juga ia coba imbangi dengan Dante.

Diperjalanan, keduanya juga saling bungkam, tak ada yang membuka suara. Perasaan keduanya jadi terasa canggung. Hingga sampai di pelataran pun, Dante masih belum bicara.

"Terimakasih, Kak,"

"Aku yang berterimakasih, hutangmu lunas. Tapi aku masih ingin dekat denganmu,"

Gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Dante juga memberi kode untuknya masuk. Menatap punggung itu hilang dibalik pintu, Dante bergumam sendiri, "Aku hanya tak ingin kau merasakan sakit hati terlalu dalam nantinya,"

Bukankah kalian bingung? Saat bersama Arum, laki-laki itu berkata belum menyukainya. Tapi, apa maksud dari ucapan Dante saat ini?

Jawabannya, laki-laki itu memang menaruh perasaan pada Arum, bahkan ia juga mengerti tentang Arum dan kekasihnya. Tentu semua cerita itu dari Chika. Jika suatu saat nanti, kekasihnya benar kembali, sakit hatinya akan menjadi urusannya.

-

-

-

"Weekend tidak pergi?" tanya sang ayah.

"Ingin pergi kemana, memangnya?" saat ini Chika dan ayahnya tengah berada di ruang keluarga menonton salah satu drama.

Ayahnya tertawa kecil, tangannya juga terulur untuk merangkul putrinya. Mengelus surai penuh afeksi, "Biasanya bersama Dirga," ayahnya terdiam sejemang sebelum melanjutkan ucapannya, "Sedang bertengkar, ya. Mami dulu juga seperti itu saat bertengkar dengan Papi, saat masih menjadi kekasih,"

Tak apalah, putrinya diceritakan sedikit tentang kisah masa mudah kedua orang tuanya. Kisah anak muda zaman dulu itu terkadang lucu-lucu, atau mungkin bisa lebih mengesankan dari zaman sekarang. Berkencan di taman yang penuh akan macam-macam bunga, membacakan puisi cinta, serta menyanyikan lagi romantis untuk sang pujangga. Menyelipkan bunga pada salah satu telinga gadisnya. Ayahnya benar-benar sedang bernostalgia.

"Tapi Chika dan Kak Dirga tidak berpacaran,"

Lamunan lawas ayahnya seketika terbuyarkan setelah mendengar pengakuan Chika. Jika diperhatikan, sang ayah seperti penuh harap akan penjelasan putrinya. Pikirnya, malam itu dirinya udah memberikan lampu hijau untuk Chika dan Dirga.

"Kak Dirga itu sekarang sudah sibuk, Chika tidak ingin merusak karirnya,"

"Gadis baik," ayahnya tersenyum hangat, mengeratkan rangkulannya pada Chika. Tak lama, Chika memberikan remot televisi. Membiarkan sang ayah memiliki waktu berdua dengan ibunya yang baru saja datang membawakan kopi.

Sebelum pergi pun, masih sempat gadis itu meledek kedua orang tuanya. Berdehem serta memberikan gerakan dua jari telunjuk yang saling menempel. "Chika balik kamar saja," ucapnya terakhir.

Tungkainya terarah ke kamarnya, pikirnya lebih baik dirinya bermain dengan ponsel saja. Membaca pesan grup kelasnya. Teman-temannya sedang merencanakan sesuatu, seperti berkumpul pada akhir pekan depan. Entahlah, baginya itu terasa biasa saja. Toh, memang lebih nyaman di rumah saja, berkumpul bersama keluarga, orang tua juga tak akan khawatir jika anaknya berada di rumah.

Mungkin, dia akan mengirimkan satu pesan saja untuk Dirga. Ya walaupun kecil kemungkinannya untuk dibalas.

Kalau jika boleh jujur, sebenarnya sedikit ada rasa penyesalan dirinya membantu Dirga waktu itu. Semisal video itu tak ia beri pada Arum, Dirga pasti tetap akan mengejar cita-citanya menjadi arsitek. Dan kemarin, hari ini, besok, bahkan lusa, Chika akan sering bersamanya. Entah itu di rumahnya atau di rumah laki-laki itu.

Apalagi seperti saat ini, saat Chika tak memiliki kegiatan apapun, dirinya malah merasa bosan. Tanpa sadar, gadis itu tahu-tahu sudah terlelap memasuki alam mimpinya. Sepertinya terlalu lama menunggu balasan pesan Dirga.

Hingga waktu menunjukkan pukul dua pagi, gadis itu terbangun. Mengingat terakhir kali ia mengirimkan pesan pada Dirga. Alih-alih dibalas, pesan itu saja tidak dibaca oleh Dirga. Baiklah, ini menjadi satu rutinitas baru sepertinya. Menunggu pesannya hingga mendapat balasan. Ingin tidur lagi, kedua netranya sudah terlanjur terjaga.

"Mendengarkan musik sajalah,"

Dipasangnya pada telinga earphone yang diletakkan disalah satu laci nakasnya. Memilih salah satu lagu favoritnya yang ada di ponsel. Rasanya tenang sekali mendengar lagu ini.

Tapi tunggu, sebuah notif baru saja masuk. Pesannya dibalas oleh Dirga. Senang sekali mendapatkan balasan. Saat Chika membalas pesannya, tak lama Dirga membalasnya lagi. Lucunya, dia mengirimkan pesan suara. Sebenarnya sedikit terkejut, lantaran dini hari Chika masih membalas pesannya. Chika sampai menahan tawanya.

"Chika terbangun, sekarang malah tidak bisa tidur lagi," balasnya juga dengan pesan suara.

Hanya sekitar lima menit mereka bertukar pesan, sampai Dirga mengirim pesan permintaan maafnya, lantaran sebentar lagi dirinya benar-benar akan jarang memegang ponsel. Dirga harus membagi waktunya untuk ujiannya sebentar lagi, serta waktunya untuk berlatih. Grupnya akan terkenal bukan hanya dari skill dance saja, melainkan melatih mereka untuk menciptakan lagunya sendiri. Pun Chika mengerti, ia percaya waktu akan berjalan dengan cepat.