"Kartu ujian, sudah. Alat tulis juga sudah,"
Saat ini Dirga sedang menyiapkan keperluan untuk ujiannya nanti. Dirga akan berangkat sedikit lebih siang, lantaran jadwal ujian akan dimulai pukul setengah delapan pagi. Gugup itu jelas, tangannya saja juga sudah dingin.
Ini masih pukul setengah tujuh, tapi seragam sudah melekat ditubuhnya. Tak apalah, masih ada waktu kurang dari satu jam untuknya kembali belajar. Disampingnya sang ayah yang lengkap dengan pakaian kantornya tengah sarapan, serta ibunya yang memperhatikan putranya membuka buku, menyodorkan sepiring roti berisikan selai kacang, serta secangkir teh hangat untuknya.
"Sebelum mengerjakan, berdoalah," katanya masih dengan mengoleskan selai kacang pada roti lain. "Agar dipermudah dalam mengerjakannya," tambahnya.
"Jangan menyontek, Papa tak mempermasalahkan dirimu mendapat nilai rendah. Diadakan ujian itu, untuk menguji seberapa materi yang masuk dikepala setiap siswa," ayahnya juga ikut menambahkan.
Dirga mengangguk, tersenyum menandakan ia akan melakukan titah kedua orang tuanya. Sambil membaca, tangan kanannya mengambil roti, lantas dimasukkan ke dalam mulutnya.
Semangat sekali hari ini, apalagi semalam sebelum tidur, dirinya sempat melakukan panggilan video dengan kekasihnya. Sudah dapat kalimat penyemangat juga semalam. Tapi, panggilan itu tak berlangsung lama. Chika bilang, Dirga tidak boleh terlihat lesu jika sampai begadang.
Hingga pukul tujuh tepat, barulah Dirga akan berangkat menuju sekolah. Berpamitan pada sang ibu, serta memohon doa kembali, agar dilancarkan saat mengerjakan. Ayahnya sudah pergi lebih dulu.
Mungkin karena Dirga juga senang bisa kembali ke rumahnya, dirinya sampai hampir lupa. Ini ujian, pasti adik kelasnya pasti juga sedang libur. Hampir saja Dirga berniat menjemput Chika. Sedetik kesal sih, lantaran saat dirinya kembali di rumah, kenapa sedikit waktunya untuk bersama Chika. Padahal hubungannya sudah berubah menjadi kekasih.
-
-
-
"Ah, kau tak perlu susah-susah membuat contekan. Ujian hari ini Bahasa Indonesia. Kau hanya perlu membaca cerita di soal saja," ucap salah satu siswa.
Mendengar interaksi dua temannya, Dirga sedikit tertawa. Memang ada benarnya, membuat contekan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia itu mustahil. Siswa hanya perlu memahami bacaan untuk dapat menjawab soal.
"Hei Dirga," panggil Dante, sepertinya temannya ini membutuhkan sesuatu. "Karena komputer kita berada di meja yang sama, tolong berikan jawabanmu, ya," pinta Dante.
Dirga mengangguk, "Baiklah, tapi bukannya soal akan berbeda?" Dirga itu bukan pelit, ini 'kan ujian menggunakan komputer, pastilah tidak akan diberikan soal yang sama setiap siswanya.
"Aish, kau itu terlalu naif," kata Dante sembari menutup bukunya—sebenarnya juga tidak dibaca. "Dua tahun lalu, saat kita berada di kelas satu, kakak saudaraku juga bersekolah di sini. Dan ujiannya juga sudah menggunakan komputer. Dia bilang, semua soal itu sama, hanya nomornya saja yang diacak," tuturnya panjang lebar.
"Benarkah?" tanya Dirga.
Tepat setelahnya, bel berbunyi. Seluruh siswa mulai gaduh, terutama siswa perempuan. Ada yang gugup, ada yang buru-buru memasukkan bukunya ke dalam tas, bahkan sampai ada yang menjadikan kartu ujian untuk mengipasi wajah mereka. Unik sekali teman-teman Dirga ini.
Sampai di ruangan, Dante memasang wajah tenang dan biasa saja. Sampai duduk bersebelahan dengan Dirga pun masih bisa memasang senyum. Tak lama, dua pengawas dari luar lingkup sekolah datang, memberikan arahan serta membacakan peraturan selama ujian berlangsung. Apalagi setelah salah satu pengawas berkata, untuk tahun ini setiap mata ujian akan ada tiga jenis soal yang berbeda dengan kode soal yang berbeda juga. Detik itu juga Dante tercengang.
Dante sudah menepuk dahinya sendiri, hingga Dirga ikut menoleh kearahnya. Dirga itu juga sedang menahan tawanya. Sebagai teman sebangku yang baik, Dirga menepuk salah satu pundak Dante. "Tidak apa-apa," ucap Dirga.
"Kau berkata begitu, karena kau pintar,"
Hari ini Dante masih bisa mengerjakannya sendiri, tapi bagaimana jika sampai pada mata ujian matematika? Ditambah, mata ujian pilihan Dirga dan dirinya berbeda. Dirga memilih fisika, sedangkan Dante memilih biologi.
"Tamatlah riwayatku," keluhnya lirih.
Baiklah, biarkan Dante merenung sejenak. Dirinya harus memikirkan nasibnya untuk dua hari kedepan. Mata ujian Bahasa Inggris, Dante yakin bisa mengerjakan, karena dari semua mata pelajaran, hanya Bahasa Inggris-lah yang ia suka.
Ujian berlangsung selama seratus dua puluh menit. Satu persatu murid keluar ruangan, silih berganti dengan sesi dua yang sebentar lagi akan dimulai. Semua siswa yang telah mengikuti ujian diharuskan pulang, ditakutkan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, karena masih dalam masa ujian.
Dirga menenteng tasnya menuju tempat motornya terparkir. Melirik ke arah jam tangannya—menurutnya, masih terlalu pagi untuk pulang. "Mampir sebentar ke rumah Chika, tak apa 'kan. Nanti aku akan izin pada Mama setelah sampai disana," ucapnya pada diri sendiri.
Laki-laki itu lantas memakai helmnya dan menuju rumah kekasihnya. Rindu, hari ini belum bertemu. Diperjalanan saja, Dirga tersenyum. Setidaknya salah satu beban pikirannya sudah terbayarkan. Iya, dengan menjadi kekasihnya.
Mungkin, karena terlalu bahagia juga dirinya ingin bertemu dengan Chika, hingga di persimpangan jalan tanpa sadar sebuah motor dari arah yang berlawanan melaju dengan kecepatan penuh. Menabrak Dirga hingga dirinya terseret sekitar tiga meter dari motornya yang juga terseret. Darahnya sampai bercucuran di jalan. Bibir Dirga terlihat sobek serta masih mengeluarkan darah yang banyak. Telapak tangannya juga terlihat sobek. Seragamnya sudah dipenuhi dengan noda darah. Dirga sudah tak sadarkan diri.
Kerumunan orang mulai berdatangan, menyaksikan apa yang tengah terjadi. Seorang siswa yang tertabrak dengan luka sekujur tubuh yang parah. Sampai ambulan datang membawa laki-laki itu.
"KAK DIRGAAAA...!!!"
Chika terbangun dari tidur dengan keringat yang memenuhi wajahnya. Nafasnya tersengal, jantungnya juga berdetak tak beraturan. "Ternyata hanya mimpi," ucapnya lirih.
Gadis itu menoleh ke arah jam di dinding menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh lima menit, "Astaga, gadis macam apa aku ini? Bangun kesiangan seperti ini," Chika masih mengatur nafasnya. Dia berpikir masih ada waktu lima menit lagi untuk Dirga selesai ujian. Dia juga merapalkan doa agar mimpinya tak menjadi nyata.
Dirasa nafasnya sudah teratur, Chika turun dari ranjangnya. Membereskan kamarnya lebih dulu yang sudah berantakan. Selimut yang ia gunakan sudah terhempas nyaman di lantai. Kain seprainya juga sudah berantakan. Setelah ini Chika akan berceloteh pada ibunya, lantaran tidak dibangunkan.
Chika keluar kamarnya, berjalan ke arah dapur dengan sang ibu yang sedang membersihkan area dapur. "Mami bagaimana sih, kenapa Chika tidak dibangunkan?" omelnya pada sang ibu.
"Tadi sudah Mami bangunkan, tapi tidak ada respon sama sekali dari dirimu," ibunya tertawa. "Sudah sana mandi. Sudah siang," tambahnya.
Gadis itu berjalan menuju ruang tamu, disana ia melihat ada pemotong kuku di meja. Pasti ini kerjaan Johan yang sembarangan menaruh pemotong kuku. Diambilnya pemotong kuku itu, berniat memotong kuku kakinya pagi ini. Tunggu, gadis itu memotong kukunya dilantai, dengan koran sebagai alas kukunya yang terpotong.
"Kukira kau gadis yang anggun," kata seseorang di depan pintu.
Sontak Chika menoleh, "Kak Dirga," gadis itu berlari ke arah Dirga, mengecek seluruh tubuh kekasihnya—khawatir jika ada yang terluka.
"Kak Dirga tidak apa-apa? Tidak ada yang luka kan?" tanya Chika yang menarik pergelangan tangan Dirga untuk duduk di sofa.
Dirga menggeleng, "Tidak, sayang," balas Dirga. "Memangnya kenapa?"
"Tidak, tidak apa-apa," ucap Chika dengan senyuman lega.