"Sepi sekali tidak ada anak itu," celetuk Jamal. Dia yang paling merasa kesepian. Hari pertama, ia tidur hanya dengan bantal yang sering Dirga pakai. Hari berikutnya, ia mengajak Nanda untuk tidur bersamanya. Katanya jika tidur sendiri, tidak ada yang diajak bicara.
Lagipula apa sih yang ingin dibicarakan? Toh setiap hari mereka selalu bertemu, setiap jam juga detiknya. Apalagi jika bukan tentang manajernya. Omong-omong, itu topik kesukaannya.
"Tidak ada yang bisa diajak bicara," tambahnya.
Tentu saja, meskipun sudah ditemani oleh Nanda, Jamal hanya bisa bermain dengan pemikirannya sendiri. Lantaran, Nanda harus menyusun skripsinya. Seperti saat ini, Nanda terduduk dibawah ranjang dengan meja kecil sebagai tempat laptopnya ditaruh.
Yang Jamal dengar itu hanya suara ketikan laptop yang beradu dengan kuku-kuku Nanda. 'tik, tik, tik' kurang lebih begitulah suaranya. Nanda juga sedikitpun tidak melihat Jamal. Pikir Jamal, bisa saja Nanda tak peduli apakah dirinya masih bernafas atau tidak. Bisa frustasi jika begini terus.
Untuk mendapat perhatian dari Nanda, laki-laki itu nekat sekali menghentak-hentakkan kakinya diatas ranjang hingga menimbulkan suara pegasnya, memukul meja dengan tangan kosong. Tapi, tetap saja Nanda abai.
Jamal, kuberitahu jangan mengganggu orang pintar yang sedang serius. Kau tak mau mendapat imbasnya, kan?
Karena memang belum mendapatkan perhatian, Jamal masih melakukan hal yang sama, hingga-
"Kau pilih diam atau kau tak akan tidur bersamaku?" tandasnya pada Jamal.
Nyali Jamal sudah menciut saat suara berat itu menandaskan dirinya. Dan berakhir bermain dengan ponsel. Lebih gila lagi, ia sempat terpikirkan ingin menelpon Dirga sebelum akhirnya Tomi menghampirinya. Tomi ingin mengajaknya pergi ke minimarket sebentar.
Ajakan Tomi itu berniat membeli camilan, lantaran semenjak Dirga diizinkan untuk pulang, pasokan camilan berkurang. Biasanya, sebelum Dirga izin, Dinda akan mengantarkan camilan seminggu sekali. Lumayanlah, uang mereka setidaknya tersimpan.
Di dalam minimarket, Jamal mencurahkan perasaan kesepiannya tak ada Dirga. Walaupun, terkadang Dirga suka mengabaikan ucapannya, Dirga tetap akan selalu ada saat seseorang membutuhkan teman untuk bercerita, atau hanya sekedar melampiaskan kekesalan. Lebih disayangkan lagi, Tomi juga saat ini tak mendengarkan curahan Jamal, keduanya tiba-tiba terpisah begitu saja.
Tidak terpisah, sih. Hanya saja, Tomi tengah menghampiri anak kecil yang berjongkok di salah satu rak berisikan camilan. Bocah laki-laki itu seperti mengincar keripik kentang. Namun, Tomi tak menemukan ada seorang ibu yang kehilangan anaknya. Akhirnya, Tomi menghampiri bocah laki-laki itu.
"Hei, kemana ibumu?" tanyanya yang juga ikut berjongkok.
Bocah itu menoleh ke arah Tomi, menatapnya tanpa ekspresi apapun. "Tadi beli minyak banyak-banyak," ucap sang bocah.
Oh, mungkin maksud bocah ini ibunya membeli minyak goreng. Gemas sih melihat cara bicara bocah ini. Tomi itu suka sekali anak kecil. Adik perempuannya juga sangat ia sayangi di rumah.
Untuk Jamal, dia hanya memperhatikan sahabatnya itu dari kejauhan. Tomi membantu bocah itu untuk menemui ibunya. Menuju rak berisikan bumbu dapur.
"Permisi Bu, ini anaknya tadi berjongkok sendiri disana. Saya takutnya kalau ibunya mencari," Tomi melepaskan gandengannya dari si bocah, mencubit pipinya pelan sebelum menghampiri Jamal lagi.
Jamal tersenyum dengan perilaku sahabatnya ini. Berhati malaikat sekali Bahkan, karena Tomi juga masih bertanya apa yang ia ucapkan tadi. Tidak mungkin juga Jamal akan kembali bercerita setelah melihat kejadian yang menurutnya mengharukan. "Tidak, bukan apa-apa. Hanya racauanku saja,"
Tomi hanya mengangguk, berjalan ke arah rak camilan guna mengambil beberapa camilan yang sempat tertunda tadi. Selepasnya, ia berjalan menuju kasir dengan satu keranjang penuh berisi camilan, dan kebutuhan kamar mandi seperti sabun, sampo, dan pasta gigi.
Untuk keuangan, Tomi masih memiliki uang tabungan dari ia dan Jamal masih bernyanyi di kafe. Seluruh uangnya juga ia tabung sampai mereka bertemu Dirga dan yang lainnya. Pendapatan dirinya juga semakin bertambah. Maka dari itu, ia keluar dari rumah tanpa meminta uang orang tuanya. Kuliah juga itu mendapat beasiswa. Tanggungan orang tuanya kini hanya sang adik yang masih dibangku kelas dua SD. Sesekali Tomi yang membayar sekolah adiknya.
Selesai dengan urusan di minimarket, Jamal maupun Tomi kembali ke apartemen mereka. Tak sengaja melihat Caroline yang menunggu lift terbuka sembari bermain ponsel. "Aku merindukan Dirga," ucapnya tiba-tiba.
"Kami juga merindukan Dirga," adalah Jamal yang bicara karena mendengar ucapan Caroline lebih dulu. Anehnya, Jamal tak merasa curiga. "Biasanya anak itu suka mengganggu kami,"
Caroline tertawa renyah, jantungnya terselamatkan. Kedua orang itu tidak tahu jika Tomi mengetahui manajernya itu menyukai Dirga. Ada untungnya Tomi memiliki tingkah konyol, bisa digunakan sebagai penyamaran.
Kalau saja kau bukan orang yang akan membantu Goldie untuk terkenal, sudah kubongkar kedokmu—batin Tomi. Geram juga sebenarnya Tomi ini. Padahal umurnya itu sudah matang untuk menikah, kenapa juga harus memilih laki-laki seperti Dirga yang belum lulus SMA. Selucu itu hidupnya.
Pintu lift terbuka, ketiganya memasuki satu lift yang sama. Saat ini dalam, hanya Tomi satu-satunya yang terabaikan. Jamal sudah berada tepat di samping wanita itu, tersenyum senang sesekali melirik Caroline. Sayangnya perempuan itu harus keluar lebih dulu dilantai lima.
"Tadi saja ketika ada dia, kau mengabaikan aku," cicitnya pada Jamal.
"Hehehe.. kau kan tahu aku menyukainya,"
"Ya terserah kau sajalah," pungkasnya.
Lantai delapan adalah letak apartemen mereka. Di sana Jamal maupun Tomi melihat seseorang berjalan gontai. Dari perawakannya sudah jelas mereka mengenali. Itu Haikal, sepertinya dia kelelahan sehabis pulang dari kampus sampai semalam ini.
Walau sedikit tergopoh karena membawa kantung belanjaan, Jamal dan Tomi tetap membantu Haikal. Nafas laki-laki itu juga tersengal.
"Aku lelah setelah dikejar anjing tadi," kata Haikal.
Dua laki-laki lainnya saling bertukar pandang. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, keduanya melepas pegangan mereka bersamaan, membuat Haikal jatuh tersungkur tepat didepan pintu apartemen mereka.
"Kukira kau memang kelelahan karena tugas kampusmu," jeda Tomi sembari mengacak rambutnya. "Dan ternyata kau seperti ini, karena dikejar anjing?"
Bersamaan dengan pintu yang terbuka, Haikal terseok-seok membawa tubuhnya masuk diikuti oleh Jamal dan Tomi. Sebagai orang yang membukakan pintu untuk mereka bertiga, Nanda sampai terheran melihat mereka tiba-tiba seperti itu.
Hingga pukul sembilan malam, keenam dari anggota Goldie masih berkumpul—kebiasaan mereka sebelum tidur. Kali ini topik yang mereka bicarakan mengenai adik kecilnya yang akan berjuang di ujian kelulusan besok pagi. Hal itu jelas menjadikan keenam lainnya ingin memberikan hadiah kelulusan untuk Dirga.
"Pasti jika jam segini, dia akan memelukku. Tujuannya apa, aku juga tidak tau,"
"Jika denganku, dia pasti akan mengerjaiku,"
"Kalian itu masih biasa, jika bocah itu bersamaku, dia pasti akan mengabaikanku saat aku bicara,"
Seperti itulah yang mereka bicarakan. Membandingkan satu sama lain saat bersama Dirga. Bocah itu pasti bisa mengubah sifatnya yang berbeda di keenam temannya. Mungkin demi menciptakan kenyamanan saat bersamanya.
"Yang jelas kita harus mendoakannya untuk ujian besok," tutur Nanda.
Tiba-tiba Septian menyuarakan idenya, "Bagaimana jika hari ujian terakhirnya, kita jemput dia? Minimal adakan pesta kecil-kecilan untuknya,"