Gadis berambut sepundak itu terlihat menundukkan kepalanya didekat pohon rindang. Kedua pundaknya naik dan turun tak beraturan, wajahnya pun seperti ditutup dengan telapak tangan. Sepertinya gadis itu tengah terisak.
Dante yang baru saja keluar dari gedung tempat bermain bowling, merasa merinding. Angin malam menerobos kulit polosnya. Dante sedang tidak bercanda, ia mendengar jelas suara isakan itu. Dirinya juga melihat sosok yang menimbulkan suara. Memakai dress atas lutut berwarna merah.
"T-tunggu, si manis Jembatan Ancol kan berambut panjang. T-tidak mungkin dia mengganti m-model rambut," ucapnya gagap karena rasa takut mendominasi. Tubuhnya semakin bergetar, merasakan dinginnya malam juga perasaan takut.
Diperhatikan dari ujung kaki, perempuan itu masih menampakkan sepatu sandal putihnya di tanah. Dante itu sebenarnya penakut, ini juga sudah siap untuk lari. Tapi, niatan itu tidak jadi terlaksana, lantaran perempuan yang sempat menangis tadi menegakkan kepalanya.
"Arum.."
Mendengar ada yang memanggilnya, sontak Arum berlari memeluk presensi yang sangat jelas ia kenali—walaupun sering mengomel jika bertemu. "Kakak.."
Disebuah kafe, dengan meja berisikan satu cangkir capuccino dan satu cangkir hot choco, serta dua orang yang duduk berhadapan. Sang gadis yang menenangkan diri masih dengan sisa tangis, dan sang pria yang hanya bisa menatap bulir-bulir yang masih terjatuh dari pelupuk mata gadis.
Tak tega rasanya Dante melihat Arum seperti ini. Akhirnya, Dante memberanikan diri untuk mendekati Arum, mengelus kedua pundaknya. "Sudah, tidak usah menangis lagi,"
Perlahan tangisan Arum terhenti bersamaan dengan ia menyingkirkan tangan Dante dari pundaknya. Arum masih mengatur nafasnya, mengusapkan tisu pada pipinya yang masih sedikit basah. Merasa sudah tenang, Dante kembali duduk serta memberikan jaketnya pada sang gadis.
Jujur dari hatinya, Dante sempat berbunga dipeluk Arum. Meski hanya menjadi tempatnya melepaskan tangis, Dante cukup bangga dari kemajuan kecil itu yang berkisar nol koma nol satu persen dari seratus persen. Ini pertama kali Arum tidak bersikap galak padanya. Jika sedang mode baik seperti ini, menurutnya Arum terlihat berbeda dari pandangannya.
"Terimakasih, Kak Dante,"
Dante mengangguk, sedetik kemudian laki-laki itu bertanya, "Jika aku boleh tahu, kau kenapa menangis?"
Hanya gelengan kecil yang Arum berikan, gadis itu mengambil ponselnya. Sebenarnya ia tak ingin menghubungi siapa-siapa, hanya ingin mematikan ponselnya.
"Jika tak ingin cerita denganku, jangan cerita dengan Chika. Hubungannya dengan Dirga sedang rumit,"
Selama ini aku memang selalu bercerita tentang Kevin ke dia, tanpa tahu dia juga mengalami hubungan yang rumit—batin Arum. Gadis itu hanya menatap kosong cangkirnya yang masih utuh, belum tersentuh sedikit pun. Tak lama, sebuah tangan berurat menyodorkan minumannya.
"Kau tunggu disini, aku akan mengambil motorku dulu. Jika ada apa-apa, cepat hubungi aku,"
Arum mengangguk sembari menyesap minumannya yang mulai mendingin. Memperhatikan perginya Dante dari kaca kafe. Perasaannya mulai tenang saat Dante sempat mengelus rambutnya lembut.
Jika Arum ingat kembali, kenapa juga dirinya tadi harus menangis didekat pohon rindang? Malu sendiri kan jadinya. Untung saja tadi tidak banyak orang berlalu lalang. Ya Tuhan, bodoh sekali aku ini, begitu batinnya berkata.
Sekitar hampir sepuluh menit lamanya Arum menunggu, Dante benar datang membawa motornya yang diparkir depan kafe. Tadinya Arum kira kakak kelasnya ini berbohong dan berniat akan meninggalkannya di kafe. Jika itu benar terjadi, demi kaos kaki Flying Dutchman akan Arum suruh dia memakan salah satu menu di Chum Bucket. Tidak, tidak, tentu saja itu hanya omong kosong berdasarkan kartun Spongebob yang biasa ia tonton.
"Ayo, kuantar kau pulang,"
Arum berjalan lebih dulu mendului Dante yang masih terdiam. Pasalnya, gadis itu berlalu begitu saja, sepertinya kembali menjadi Arum yang pertama kali dikenalnya.
Mungkin karena saking sedihnya Arum, dia sampai meninggalkan tasnya di meja. Baiklah, Arum harus membayar ini semua, semua kebaikan Dante malam ini.
"Tasmu,"
"Aa, ternyata aku melupakannya," katanya, mengambil tas yang disodorkan Dante.
Jujur saja, Arum sempat bingung mau bagaimana dia duduk. Motor Dante ini juga motor sport sama seperti milik Dirga. Dengan sigap, Dante menutupi bagian kaki Arum menggunakan jaketnya yang dibawa Arum.
Hingga tiba di rumahnya, Arum mengembalikan jaket Dante. Tak lupa juga ia ucapkan terimakasih. Belum sampai langkahnya melewati gerbang, kalimat yang Dante lontarkan membuat Arum membelalakkan hazelnya.
"Semua itu tidak gratis. Kau harus membayarnya,"
Kembali berbalik menghadap Dante, ia berkata, "Jika menolong itu harus ikhlas,"
Dante tertawa hingga timbul guratan pada sisi mata. Merendahkan tubuhnya, mensejajarkan dengan wajah Arum, "Kau itu membeli bantuanku, jadi kau harus membayarnya,"
Terdengar decakan dari bibir Arum. Tahu begitu tadi tidak usah berlari kearahnya, pikirnya. Ya itu kan salah Arum sendiri, Dante tidak ada menyuruh Arum untuk berlari ke arahnya, bahkan sampai memeluknya.
"Ya sudah, berapa?"
"Jika bantuanku adalah sesuatu yang dapat dilihat, kau boleh membayarnya dengan sesuatu yang terlihat juga,"
Salah satu sudut bibirnya tertarik, senyum kemenangan ia cetak terang-terangan dihadapan Arum yang sudah menggeram.
"Kuberitahu besok. Aku pulang," imbuh Dante yang langsung pergi dari tempatnya.
-
-
-
Pagi ini Dante dapat menjamin, murid dari kelas Arum akan datang ke ruang seni. Oleh karena itu, saat ini dirinya tengah berjongkok bermain bersama kucing yang lewat di depan ruang seni.
Mengamati satu persatu siswa yang masuk ke ruang seni. Dante merasa setengah dari seluruh murid kelas Arum sudah masuk, tapi gadis itu belum terlihat juga. Tahu tidak, Dante tadi sempat ditegur oleh guru seni karena tidak berada di kelasnya. Padahal dirinya sudah mendekati ujian.
Ya, Dante tentu tak gentar menunggu Arum. Detik ini juga dia harus bertemu Baby Bear-nya, demi hutangnya yang harus dibayar. Tentu saja.
"Hop," cegah Dante pada dua gadis yang baru akan memasuki ruang seni. "Aku ingin meminta bayaran dari hutangmu,"
"Kak Dirga kemana?" tanya Chika tiba-tiba setelah melihat Dante hanya sendiri.
Laki-laki didepannya itu memutar matanya, "Kau itu menyela saja. Dirga dikelas. Kau tidak tahu apa bagaimana? Orang pintar itu sekarang hanya menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengejar karirnya,"
Chika hanya menunduk, mungkin benar apa yang Dirga bilang semalam, memang dia sudah tak punya waktu untuk urusan pribadi. Chika ini termasuk urusan pribadinya yang paling utama, atau nama lainnya prioritasnya Dirga.
Kembali pada Dante dan Arum, dengan sikap jengahnya Arum bertanya apa yang Dante inginkan. Dan tanpa sadar ia juga berkata akan mengikuti apapun yang kakak kelasnya ini inginkan. Dan disitulah Dante memanfaatkannya. "Pergi berkencan denganku,". Tidak memanfaatkan sih sebenarnya, memang itu yang Dante inginkan dari semalam.
Arum mematung, bodoh sekali tadi ia berkata akan mengikuti apa yang Dante inginkan. "Tapi, tidak untuk itu," protesnya. Sepertinya tidak akan mempan juga untuk Arum mengajukan komplainnya. Terasa sia-sia.
Hanya pergi berkencan, bukan? Tidak sampai menjadi kekasih, sih, tidak apa-apa. "Baiklah, akhir Sabtu besok,"
Tangan dengan urat milik Dante terulur guna mengelus rambut Arum sembari berkata, "Terimakasih, Baby Bear," lantas pergi dengan senyum lebar yang terpampang jelas.
"Baby Bear?"
"Itu karena boneka beruang kecil yang kutemukan ditasku,"
Semalam, setelah pertemuan Arum dan Dante berakhir, sampai kamar ia menemukan boneka beruang kecil dengan catatan kecil di depannya. Hanya catatan penyemangat, yang diyakini ditulis dengan tulisan tangan Dante. Pikir Arum, walaupun Dante tak pandai di kelas, tulisannya rapi juga. Jarang sekali laki-laki memiliki tulisan yang rapi.
Gadis itu juga menceritakan pada Chika, bagaimana dirinya dan Dante dapat bertemu. Arum bercerita ia melihat Dante yang memanggilnya saat berjalan sendirian ketika dirinya menangis. Itulah yang menjadi pertanyaan Chika, kenapa Dante berjalan?
"Dia bilang, rumahnya dibelakang kafe yang kami datangi,"
Chika mengangguk paham. Keduanya kini sedang mengeluarkan alat-alat yang diperlukan saat kelas seni dimulai. Arum juga menunjukkan boneka beruang yang diberikan Dante. Lumayanlah, bisa dipandangi bentuknya yang lucu.
Hei, Arum hanya menyukai bonekanya, tidak yang memberi.