Tiga hari setelah Mama Skala dikuburkan. Skala tidak makan apapun, dia hanya me mengurung diri dikamar layaknya manusia yang tak memiliki tujuan hidup. Reisa dan sang putri kecil juga tidak bisa membujuknya karena Papah melarang.
Skala berpikir keras, apa yang harus di lakukan kedepannya. Sampai pada saat dia lelah. Dia ingin keluar sebentar, ke danau yang sering dia datangi dengan Byna.
"Mau kemana?" Papa bertanya.
"Bukan urusan Papa."
"Papa ingin bicara. Duduklah sebentar."
"Radit akan duduk kalau papa memintaku dengan baik. Sudahlah aku akan pergi, tidak usah mencariku. Aku akan kembali nanti." Radit melambaikan tangannya.
"Papa ingin, kamu tinggal di rumah Oma kamu saja. Papa tidak tahan dengan sikap kamu yang seperti ini. Keras kepala."
"Wait, what? Papa kira aku begini karena siapa? Papa pikir Mama meninggal karena siapa? Ini semua salah Papa yang tidak pernah menyempatkan waktu untuk keluarga, salah Papa yang tidak pernah mendidik Radit, Radit juga gak tahan Pa."
Papa memalingkan wajahnya. "Papa sudah memesankan tiket untukmu ke London. Anggap saja nanti kamu sedang merawat Oma mu."
"Kapan?"
"Sore ini."
"Bagus lah, Semakin cepat aku pergi dari sini, semakin cepat pula aku tidak akan lagi melihat wajah orang yang membunuh Mamaku" Kali ini Skala benar benar pergi.
.
.
.
"Akan ada saatnya tempat ini akan menjadi awal kebahagian dan akhir dari penyesalan. Tinggal menunggu waktu yang tepat."
Ditepi danau Skala menyempatkan untuk menulis satu surat, dia menyimpannya di kotak kecil yang ada pada sebuah rumah pohon.
Skala sempat pergi mengendap endap ke Ruang rawat Byna. Lion menjaganya tetapi sedang keluar sebentar untuk mencari udara segar.
Skala menghampiri Byna. Mengusap rambut sampai ke pipinya dengan lembut. "Aku pergi ya, kita akan ketemu lagi nanti. Saat aku sudah kuat, saat aku sudah memantapkan hati menjaga mu. Aku tidak akan pernah memberikan hatiku pada orang lain."
Dia menggenggam tangan Byna lalu menaruhnya di dada. "Ini hanya milikmu satu satunya. Aku sayang sama kamu."
Dia mendekatkan wajahnya ke arah Byna, perlahan tapi pasti dia mulai mengecup kening Byna.
Akhir dari kisah mereka sangat menyakitkan.
Salah. Ini bukan akhir, ini salah satu puncak 'permainan' kehidupan mereka.
Lion dari tadi sudah menonton mereka. Memilih untuk tetap diluar menunggu Skala keluar.
"Masih berani Lo kesini setelah hampir nyelakain Byna?"
"Gue sadar. Gue emang gila. Gue tau, meskipun gue minta maaf sekarang. Sudah gak guna lagi kan? Gur juga mikirin itu."
Skala menepuk pundak Lion. "Tolong jagain Byna buat gue ya? Gue pergi."
Skala memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana lalu beranjak pergi meninggalkan Lion sendiri.
"Cowok itu emang persis dengan Teo."
.
.
.
.
"Hai Lion." Seorang anak kecil yang beranjak remaja mendatangi teman sebayanya di dalam perpus.
Anak yang bernama Lion itu memang senang sekali berada di perpus, Entah itu jam istirahat, jam kosong bahkan dia berani meminta izin ke guru yang sedang mengajar untuk memberinya izin belajar sendiri di Perpustakaan karena dia tidak mengerti dengan cara mengajar gurunya itu.
Seringkali dia menjadi bahan Bullyan sekolah dengan badannya yang kurus, memakai kacamata serta hobi ke perpus. Dia disebut dengan 'si culun'.
Lion tampak heran dengan orang yang didepannya ini. "Kamu tahu nama ku?"
"Iyalah, kita sekelas walau aku anak baru karena sempat homeschooling. Michael Falion Alaska bukan? Kenapa kau heran begitu?" Anak itu antusias.
"Nggak, hanya saja... Orang orang biasa lebih sering memanggil nama panggilan ku daripada nama asli."
"Kamu sendiri disini?"
Lion menggeleng, "aku bareng sama temen temen."
Anak itu mengernyitkan alisnya. Dia melihat disekitar Lion hanya ada buku buku yang menumpuk.
"Kamu... Anak indigo?"
"Pfft bwahahaha, nggak. Maksud aku temen itu yah buku buku ini."
"Hufft kirain. Oh ya, btw kenalin nama aku Meteor Gheano Putra. Panggi Teo aja."
"Hm, salam kenal."
.
.
.
.
"Hai Oma,"
"Eh cucu Oma tersayang sudah datang, maaf ya Oma gak bisa jemput kamu di bandara, sini duduk didekat Oma."
Skala memberikan kopernya kepada pelayan untuk dibawakan kekamarnya. Skala menghampiri sang Oma dyang sedang berbincang dengan satu wanita paruh baya dan disampingnya gadis yang seumuran dengan Skala.
"Siapa Oma?" Skala bertanya kepada Omanya.
"Oh ini temen Oma sama cucunya, namanya Bianca, dia baru baru ini pengen belajar bahasa Indonesia, karena itu dia kesini."
Skala mengangguk mengerti.
Bianca mengulurkan tangannya. "Hai, aku Bianca, nice to meet you."
Skala membalas salamnya. "I'm Skala, nice to meet you too."
Skala pamit ke kamar untuk beristirahat, dia kelelahan karena perjalanannya yang jauh.
.
.
.
"WOE COEG, SEPI NA INI KELAS?! AR YU HIDUP SEMUA?!?!"
"Tampang aja yang bule ganteng, sifat naudzubillah kek manusia purba." Khanza berceloteh.
"HEH KANJA, BEGINI BEGINI KO SUKA JA TOH?! Tapi kutolak iyah hehew."
Arra si cewek pengepul cogan yang duduk disampingnya hampir tersedak. "Jadi ceritanya Khanza gak terima karena Lo udah tolak gitu? Anj*y jahat, tapi karena Lo ganteng gapapa, halal kok."
"Najis. Dulu itu gue spontan, mana mungkin gue suka sama orang yang bobrok kayak lo? Cih bukan tipe gue banget." Sergah Khanza.
"Tipe gue itu yang berduit, terus ganteng tapi gue mau nya ganteng yang rada bule gitu, terus matanya belo, tinggi 180 lah, yang paling penting humorisnya bobrok hehe."
Rara mematikan rekamannya. Khanza kaget bukan main, dia lupa dulu sempat curhat ke Rara soal prince charmingnya.
"Itu kayak Arka banget ya?" Aya berbicara.
Khanza saat itu ingin sekali mencekik sahabatnya.
Kelewat bodoh atau sengaja membuat sahabatnya terpojok.
"Tenang lah Khanza, malaikat Arka tidak akan mempermalukan mu, walau kamu menyukaiku, aku akan tetap mengatakan bahwa kita itu Just friend."
Kata kata Arka sungguh menohok hati Khanza.
"Kan maen damagenya broww, hebat hebat." Rizki datang merangkul Arka.
"Zela diem Mulu, nyaut dikit aja napa."
"Gatau ah, pusing."
Tiba tiba guru terkiller di sekolah ini masuk dengan santai.
"Selamat pagi semua."
"Selamat pagi cikgu...BESAR." Putri nyinyir.
Satu kelas tertawa garing.
"Sebentar lagi kalian UN, nikmatilah hari hari terakhir kalian disini."
"Coeg, bukannya kita masih ada satu tahun lagi ya?" Tanya Rizki bisik bisik pada Arka.
"I don't know."
Beberapa menit lagi jam istirahat, murid murid mulai lega, seluruh jam pelajarannya hanya diisi dengan curhatan Pak Yusuf.
"Maaf anak anak, saya terlambat. Loh? Pak Yusuf ngapain disini?"
"Buta lo, mata lo? NGAJAR."
*Fix Pak Yusuf korban TikTok
"Ini jam saya Pak..."
"Loh sembarangan, ini tuh kelas 11 IPA ti...ga, oh saya salah kelas hehehe."
"WAT DE FAK. JADI SEBENARNYA KITA JAMKOS?! TAI LAH." Putri mulai mengamuk. Sedari tadi sudah menahan laparnya.
"Bapak sudah minta tolong sama Arka loh tadi, buat di sampein ke kalian." Pak Adi meluruskan.
Semua tatapan tajam menatap Arka meminta penjelasan. "Maap hehe... Prank nya berhasil! Yey...."
"Gue kemaren udah mesen dukun buat nyantet."
"Udah gua posting muka arka di dark web."
"Rumah lo bakalan gue ngepet."
"Gua bantuin megang lilin."
"Gausah, lo kalau gue ketangkep, malah lo tiup lilinnya."
"LAMA BENER, GEBUKIN AE."
Semua murid mulai mengerumuni Arka.
"Emm... Teman teman?"
"Gak sudi gue jadi temen lo."
"Ku traktir ko semua di kantin... Nah?"
"Gue punya duit."
"Seminggu bagaimana...?"
Semuanya diam.
"IYO IYO PALE DEH SEBULAN, FIX."
"Deal." Satu kelas bersorak kegirangan.
"Uangku... Hiks."
"Dih, segitu doang. Lo ngasi makan se kabupaten pun duit lo kaga ada abis abisnye."
"Mulut siapa tu."
"Bentar, bapak gak di ajak?" Pak Yusuf tersenyum tipis.
"Botak, gabisa ikut." Putri emang udah punya jiwa jiwa akhlakless.
"Kamu ikut ke ruangan saya."
"KERUANG BAPAK?! BK AJA LAH PAK, BK. NANTI PADA MIKIR MACEM MACEM."
"Kepedean jadi murid, KAMU NGEPELIN RUANGAN SAYA."
"Ra, kalau sebentar Pak nyariin gue Lo bilang gue sakit ye, jadinya pualng gitu. Okeh?" Putri bisik bisik.
"OKEH PUTRI, AKU TIDAK AKAN MENGATAKAN PADA PAK YUSUF KALAU KAMU BOLOS, XIXIXI." Rara memasang wajah polosnya.
"Anjing."