Dua manusia beranjak remaja berada didalam satu ruangan. Penuh dengan obat obatan dan alat lainnya.
"Gimana sekolahnya? Seru?" Meteor mengusap kepala Byna yang sedang memasang wajah cemberut.
"Gak seru!"
"Loh bukannya hari ini pelajaran seni ya? Byna suka seni kan? Dimana Zela?"
"Iya tapi Meteor gak dateng! Lagi pula Teo tau kan Zela tuh tiap bulan pasti selalu aja keluar kota."
Meteor mengangguk mengerti.
"Jadi, kapan operasinya?"
"minggu depan."
"Hmph. Teo gak bosen disini terus apa? Duduk ngeliatin hujan diluar doang, pengap tau!"
"Gimana kalau kita ke taman belakang??"
"Gaboleh keluar, kata suster Dina."
"Tapi kalau mengendap endap ya gak bakalan ketahuan Teo! Ayo ya, yah?"
"Yaudah deh iyaa."
Byna dan meteor mengendap endap keluar kamar lalu berjalan perlahan agar tidak mengeluarkan suara suara yang bisa membuat Suster Dina mendengarnya.
"Hufft, deg degan banget." Teo mengelus dadanya.
"Ayo kita ke pohon besar itu." Ajak Byna.
"Hujan Byna..."
"Ck, Aku hitung satu sampai tiga, yang duluan sampai boleh minta satu permintaan? Oke?"
"Nantang nih ceritanya? Yaudah siapa takut."
Byna mulai menghitung aba aba, mereka berlari dibawah rintikan hujan sambil tertawa, walau Byna sudah mengambil start duluan Meteor tetap menjadi pemenangnya.
"Teo curang!"
"Dih, apaan. Sesuai perjanjian, Teo boleh minta satu permintaan kan??"
"Hm, mau apa?"
"Aku mau Byna bisa ngurusin diri sendiri, harus punya temen yang banyak ya?"
"Gak akan!"
"Kalau temennya kayak Teo, gimana?"
"Siapa?"
"Lion."
Keaadan menjadi hening, mereka sibuk menatap langit mendung yang sama. Byna tau, seiring berjalannya waktu dia harus belajar untuk mengikhlaskan Meteor. Meteor pun seperti itu, harus siap dengan hari akhirnya.
"Masuk yuk, cuaca lagi gak mendukung." Ajak Meteor.
"Gak mau, kalau Teo mau masuk, masuk aja. Jangan deng, disini aja jadi kalau aku disambar petir masih punya temen. Tapi hujan kan baik, kayak Teo."
"Maksudnya?"
"Iya, sama sama nenangin aku, ada disaat aku butuh, bisa menghilangkan jejak air mataku dengan rintikan hujan. Hujan itu indah, setelah awan bersedih, pelangi datang menyinari langit dengan warna kebahagiaannya. Menurut Teo gimana?"
"Pelangi itu tidak seperti yang Byna katakan. Pelangi memang ada setelah hujan, datang hanya sesekali, itupun tidak untuk menetap. Sama hal nya dengan kebahagiaan Byn, berbeda halnya dengan matahari."
"Matahari?"
"Iya, matahari. Selalu menyinari dunia, memberi kehidupan untuk makhluk hidup yang ada di bumi, tanpa meminta imbalan sedikit pun. Walau kita tidak tahu kapan akhir dari semua pengorbanan matahari untuk kita."
"Kesimpulannya, apapun yang Teo bilang, aku gak ngerti sama sekali. Hehe."
"Dasar kamu."
***
"Suster Dina, bagaimana bisa kamu membiarkan pasien bermain hujan seperti ini?!" Tanya seorang suster cemas.
"Tidak apa apa, biarkan mereka bersama untuk akhir akhir ini. Sebelum bocah laki laki itu menghembuskan nafas terakhirnya."
.
.
.
.
"Zela, kamu aku antar pulang ya? Semalaman kamu disini ngejagain Byna terus, nanti kamu juga yang sakit nanti."
"Nggak Re, nanti kalau aku tinggalin, Byna siapa yang jagain?"
"Bunda sama Ayah udah pulang tadi malam. Bentar lagi datang kayaknya,"
"Ya-yaudah."
***
"Pa, Radit belum pulang dari kemarin, di telpon gak diangkat, dirumah sakit juga gak ada Pa." Reisa cemas dengan keaadan anak tirinya itu. Entah dimana dan apa yang dia lakukan sekarang.
"Kamu gak usah pusing, biarkan Radit melakukan apa yang dia inginkan."
"Kamu itu gimana sih?! Papa tau kan kalau pacarnya lagi koma di rumah sakit gara gara ngelindungin Radit. Kalau semisalnya Radit merasa bersalah bisa bisa Radit nekat Pa!"
"Itu urusan mereka."
"Ck, kalau kamu gak mau bantuin! Biar aku aja yang cari!" Reisa beranjak ke dalam kamar bersiap siap untuk mencari keberadaan Skala.
***
Skala menatap Byna terbaring tidak sadarkan diri di kasurnya. Ia menggenggam tangan Byna erat erat. Air matanya mulai berjatuhan membasahi tangannya dan juga Byna.
"Maafin aku, maafin aku."
"Aku gak tau harus berbuat apa tanpa kamu, Byna. Aku mau kita sama sama lagi. Please bangun sayang...."
"Atau kalau kamu mau... Kita ketemu diakhirat saja ya?" Skala menyunggingkan senyuman.
Dia mulai mencekik Byna. Skala hilang kewarasan "Kita akan sama sama lagi nanti,"
Pintu terbuka, Lion dan Ayah Bunda Byna kaget dengan apa yang dia lihat. "WOI SKALA, APA APAAN LO?!"
Skala tidak menjawab dia terus mencekik Byna sambil tertawa bahagia.
"Brengsek."
Lion mendatangi Skala seraya mendorongnya keras. Skala terpental jauh.
Ayah segera menarik kerah baju Skala dan langsung segera menghajarnya habis habisan. "BAJINGAN KAMU, SUDAH CELAKAIN ANAK SAYA SEKARANG KAMU MAU BUNUH DIA LAGI?!"
"Hahahaha, tidak ada ayah yang benar benar peduli dengan anaknya di dunia ini." Skala tersenyum kecil.
"Biadab!" Ayah kemudian mengambil ancang ancang untuk memukul wajah Skala.
"Berhenti!" Reisa berlari menuju Skala yang sedang terbaring di lantai dengan darah yang keluar dari hidungnya.
"Stop! Dia anak saya, tolong jangan dipukul lagi."
"Sejak kapan aku punya dua mama? Huh? Hahah, ke-pd an banget jadi orang." Skala sudah tidak peduli dengan apa yang dia katakan dan dengan siapa dia berbicara, dia hanya ingin meluapkan emosinya yang sudah bertahun tahun dia pendam.
Gila.
"Sebaiknya ibu membawa anak ini ke tempat yang jauh dari putri saya. Saya tidak mau putri saya celaka."
"Dan kamu, jangan sekali sekali menampakkan wajah mu itu didepan saya."
Skala dan Reisa keluar dari ruangan, "Ayo kita kerumah. Kita bicara sama Papa kamu."
"Ck, ngapain sih lo? Gak usah urusin hidup gue. Lo bukan siapa siapa gue. Atau lo mau sok sok an jadi pahlawan kesiangan biar Papa terkesima dan uang jajan lo tetep ngalir kan? hahaha, sayangnya gue udah tau niat busuk lo. "
Deg! Dada Reisa terasa sakit mendengar Skala mengucapkan itu.
Ponsel Reisa berbunyi.
"Kamu tunggu disini." Dia melangkah pergi menjauh dari Skala.
"Iya, iya... Sebentar kita bicarakan dirumah."
Reisa berbalik tidak melihat keberadaan Skala. "Skala? Kamu dimana?"
"Pasti di sana." Batin Reisa.
Reisa berlari mencari ruang rawat Mama Skala. Dugaannya benar, dia sekarang sedang menunduk dalam sambil memegangi tangan Mama nya.
Reisa tidak masuk, dia hanya mendengar perbincangan Skala lewat sela sela pintu.
"Mama... Radit salah apa? Radit gak tau, gak ada yang mau ngejelasin ke Radit. Radit capek mah, Radit capek harus selalu terlihat bahagia. Radit gak suka keramaian, Radit benci keributan, tapi kenapa Radit harus merasakan itu semua. Radit punya banyak dosa ya..."
"Maafin mama...." Dada Mama Skala berdenyut sangat cepat, ia sesak napas. Skala tidak tau apa yang harus dia lakukan.
"Ma? Mama?! Mama... Bangun...."
Dokter datang dengan seorang suster yang membawa defribrilator.
"Tolong mama saya dok... Tolong...."
Reisa merasa iba, dia menghampiri Skala yang sedang putus asa. Dia memeluk anak tirinya itu. "It's okay, you can get through it."
Skala mengeluarkan air matanya, dia sudah tidak tahan. Dia hanya manusia biasa yang tak sempurna dan kadang salah.
*Jangan nyanyi beb :(
"Innalillahiwainnailahi rojiun. Tepat pukul 20:34 malam Bu Anna menghembuskan nafas terakhir nya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi nyawa Bu Anna tidak bisa diselamatkan. Di akibatkan karena terjadi pembekuan di pembulu darah paru paru. Baiklah saya permisi dulu."
Skala menghampiri Mamanya dengan langkah yang tertatih tatih.
"Nggak, nggak mungkin... Haha ini nggak mungkin... Nggak mungkin... Mama lagi tidur ya? Oke Radit tungguin mama sampai bangun... Terus kita langsung pergi dari rumah sakit ini yah ma, kita ketempat dimana tidak ada kebohongan, tempat dimana... Radit gak usah pura pura bahagia lagi...."
Reisa turut bersedih, dia tidak sanggup melihatnya. Wanita muda itu memilih untuk keluar dari ruangan.