Setelah bermain dengan teman temannya, Noel segera pulang untuk beristirahat.
Sesampai di rumah dia segera menuju kamar untuk mandi dan mengganti pakaiannya. Noel langsung menuju ruang tengah berencana untuk menonton film dan beristirahat sebelum ia pergi membantu neneknya menjaga kakek yang sedang sakit.
Adik Noel satu satunya sudah mengambil posisi untuk duduk. "Kak, lama banget pulangnya. Habis dari mana?" Tanya Sang adik menuntut penjelasan.
"Nongkrong bareng temen."
"Alesan,"
"Serius, kakak habis nongkrong Lulu...."
Tidak ada balasan, kini Noel membuka Handphonenya untuk men-stalker account instagram Byna.
"Um dek, lo sekelas kan ama Byna? Minta no. WA nya dong."
"Kenapa emangnya? Kakak juga suka ya sama Byna? Ck, sebegitu menarik apa nya sih itu cewek." Lulu menjadi emosi mendengar nama Byna diucapkan oleh kakaknya.
"Tapi-"
Lulu tidak ingin mendengar begitu banyak tentang Byna yang dilontarkan kakaknya, kemudian ia memutuskan pergi meninggalkan sang kakak di ruang tengah menuju kamarnya.
Noel yang bingung itu kemudian melanjutkan tontonannya.
Drrtt Drrrtt Drrtt
Telepon rumah Noel berdering, dengan segera ia langsung mengangkat telepon tersebut.
"Halo?"
"Malam, Mas. Kami dari pihak rumah sakit ingin menyampaikan bahwa pasien atas nama Muhammad Zaenal keaadannya sedang krisis, tolong sebagai wali dari bapak, secepatnya anda datang kesini karena istri dari pasien sedang syok. Terima kasih."
"Baik, saya segera kesana."
TITT
Noel beranjak dari sofa menuju garasi, ia lupa untuk pamit ke adiknya. Dengan gegabah Noel mengendarai motornya ugal ugalan, hampir saja menabrak sebuah mobil truk di depannya.
.
.
.
Dia berlari dengan cepat kearah ruang dimana kakeknya di rawat.
Brak
Noel mendobrak pintu, ia mendapati seorang wanita tua yang sedang menangis melihat sang suami sedang kritis yang sudah ditenangkan seorang gadis berbeda satu tahun dengan umur Noel sekarang.
"Byna?" Noel memanggil gadis itu heran, lagi lagi gadis itu berada di ruang rawat kakeknya.
Byna tidak menjawab, dia segera pamit kepada Nenek Noel untuk pergi.
"Nanti aja terima kasihnya, gue buru buru." Byna menatap nya beberapa detik dan pergi begitu saja.
.
.
.
"Nih, obat."
Skala menerimanya, ia menarik tangan Byna keluar setelah menaruh obat yang dititip ke Byna.
Mereka duduk. "Lo kok lama ngambil obatnya?"
"Hah? Em tadi antriannya panjang hehe jadi... agak lama." Byna berbohong.
Skala tau kalau Byna sedang berbohong. Setelah kejadian ia memergok Byna dan kakak kelas mereka dulu, ia mulai kurang percaya pada Byna.
"Kal. Gue capek, lo bisa anterin gue gak?" Pinta Byna. Skala mengangguk.
.
.
.
Diperjalanan Skala gelisah, dia sangat ingin menanyakan soal yang tadi, jawaban Byna sedikit membuatnya resah tidak percaya.
Skala memilih untuk bertanya. "Byn, Jujur aja... tadi bohong kan?"
Byna terkejut, dia bingung harus mengatakan yang sejujurnya atau tidak. "Byna... lo pernah bilang kan, kalau gak boleh ada satupun rahasia diantara kita?"
"Sorry Kal. Gue bohong... pas gue abis ngambil obat, gue gak sengaja ngedenger orang nangis dari dalam... ruang rawat kakeknya kak Noel. Karena kasian, gue nemenin Neneknya."
Skala menyunggingkan senyuman manisnya. "Pfft hahaha,"
"Kok ketawa?"
"Ya habisnya lo lucu, perbuatan lo itu baik loh Byn. Ngapain sembunyiin dari gue?"
"Takut. Gue takut lo marah kayak dulu."
"Gak usah khawatir, gue udah janji gak bakal kayak dulu. Mulai saat ini selalu jujur sama gue ya?"
Byna mengeratkan pelukannya. "Iya."
.
.
.
Sampai didepan rumah Byna, pemuda berjaket denim sedang berdiri menunggu seseorang. Skala dan Byna melihat pemuda itu sedikit heran, apa yng dia lakukan disini? Pikiran mereka sudah tidak terarah. Setelah Byna membuka helmnya, Skala pamit pulang.
"Ngapain kesini? Abang Rean lagi sibuk belajar, kalau lo mau ajakin dia buat nongkrong, mending gak usah deh bisa diamuk Bunda kalau sampai Bang Rean gak fokus buat belajarnya. Minggir, gue mau lewat."
Byna ditahan Noel. "Gue kesini mau ngasih tas lo doang. Tadi ketinggalan."
Byna mengambil tasnya. "Thanks." Dia beranjak masuk kedalam rumah.
Tangannya ditahan.
"Sama sama. By the way, boleh gua minta waktu lo, sebentar aja?"
Byna heran. Ia ditarik menuju taman di sekitar kompleknya.
"Apa sih sebenarnya yang lo mau obrolin? Sampai ke sini segala. Gue capek woi, mau rebahan."
Mereka sedang duduk di sebuah ayunan. "Ngga kenapa napa, cuman... makasih ya,"
"For?"
"Tadi lo-"
Byna mulai konek. " Oke, sama-sama. Gak usah dilanjutin."
Noel terkekeh. Mereka berdua sedang menatap langit dipenuhi bintang bintang yang sama.
"Yang tadi itu... Pacar lo ya?"
Byna menatap Noel. "Bukan... Gue gak punya pacar."
Disisi lain Skala mendengar samar samar semua percakapan Byna dan Noel. Dia memata matai Byna sejak awal. Hatinya terasa sakit mendengar jawaban Byna.
Tidak punya pacar? Apa maksudnya?
Skala meninggalkan mereka berdua, dia ingin pulang...
.
.
.
Brakk
Skala mendobrak pintu rumahnya sangat keras, dia berjalan dengan emosi yang tak terbendung menuju kamar melewati ruang keluarga, disana ada Papa Skala dan istri barunya beserta anak mereka.
"Radit... Kamu kenapa?" Tanya Reisa, istri baru Papa Skala.
"Ini bukan urusan lo jalang!"
Hati Reisa mendadak sakit.
"Radit! Kamu gak sepantasnya mengatakan hal itu ke Ibu kamu!" Papah Skala membentak Skala dengan sangat keras beberapa kali Reisa menahannya tapi itu percuma saja.
"Ibu? Hah? Radit cuman punya satu ibu didunia ini, cuman mama!! Sampai kapan pun Radit gak akan pernah nyebut jalang itu sebagai ibu!"
"RADIT JAGA UCAPANMU!"
"Papa melakukan ini karena papa peduli sama kamu, sama masa depan kamu!"
"Udah Mas, udah..." Reisa menenangkan.
Skala membuka bajunya dan menunjukkan bekas luka dan jahitan yang tidak akan pernah bisa hilang. "Peduli? Papa selalu ngomong peduli peduli peduli! Tapi... kenyataannya, omong kosong."
"Sakit Pa... sakit... Setiap malam Radit menahan rasa sakit ini semua... Menahan rasa sakit hati ketika Papa dan Mama bertengkar didepan Radit sendiri. "Skala menelan ludah kasar. Dia menunjuk Papanya. "Sekarang kata peduli buat Radit itu sudah tidak ada gunanya lagi, Radit benci sama Papa! Radit gak akan pernah maafin Papa!"
Prangg
Skala memecahkan salah satu vas antik dirumahnya. Dia mengambil satu pecahan dari Vas antik itu dan pergi dari hadapan manusia jahat itu.
Skala duduk di ujung kamarnya yang luas penuh dengan peralatan dan piagam basket, dia menekuk kakinya sambil menangis terisak. Skala... kecewa....
Satu satunya harapan dia hidup di dunia ini ternyata tidak menganggap Skala apa apa.. terlebih lagi Papah nya berani membawa pulang istri dan anak barunya.
Skala menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya termasuk fotonya bersama Papa dan Mama saat dia masih bayi. Satu satunya foto yang dia punya, pecah....
Hati Skala serasa dicabik cabik mengingat kenangan indahnya bersama Byna dan kenangan buruknya bersama keluarga tercinta.
Skala mengambil pecahan Vas dari saku celananya. Dia berencana mengakhiri hidupnya sekarang juga.
Buat apa dia hidup? Toh sudah tidak ada yang peduli lagi dengannya. Skala sekarang sudah tidak mempunyai tujuan hidup lagi. Lebih baik dia bunuh diri saja.
Tangan kiri Skala gemetaran memegang potongan Vas yang tajam itu, dia mengarahkannya ke area leher, tepatnya pada arteri karotis.
Kemudian darah berceceran di baju dan lantai kamar Skala.
Tangan Skala ditahan seorang anak kecil berbaju pink yang sedang memegang bonekanya.
"Kakak Ladit beldalah..."
"Pergi Lo dari sini!"
Shilla menggeleng cepat, dia mengambil tissue di meja belajar Skala dan mengelap leher Skala.
Skala menahan rasa perih yang ada di lehernya. "Kaka Ladit tunggu sini ya, shilla ambil pelban dulu, pisaunya shilla ambil, nanti Kaka ngelukain lehelnya lagi.." Shilla berlari keluar.
Skala mengulumkan senyum tipis seraya memegang jidatnya sendiri. "Apa yang gue udah lakuin... Dasar bego."
Skala menyesali perbuatannya. Shilla kembali membawa kotak P3k.
"Gini gini... Shilla hebat lhoo ngelawat olang sakit." Shilla melilitkan perban asal di leher Skala.
"Udah selesai hoaam.." Shilla mengantuk. Ini sudah lewat dari jam tidurnya. Dia merapikan alat yang sudah dia pakai lalu menarik satu kaki Skala agar membentang. Dia mendekati Skala seraya tidur dipaha Sang kakak tiri.
"Kaka Ladit... bayal obatnya pake lagu ajah, Shilla ngantuk Hoamm."
Skala mengalihkan pandangannya. "Yaudah, kalau kaka Ladit gamau gapapah, Shilla bisa tidul sendili."
Beberapa menit kemudian Shilla terlelap di paha Skala. Dengan pelan Skala mengangkat badan anak berumur 5 tahun itu menuju kasurnya. Skala juga tidur disamping Shilla.
Papa dan Reisa yang mengintip dari tadi tersenyum tipis. "Semoga... Ini menjadi permulaan yang baik ya Mas." Ucap Reisa.
.
.
.
"Pagi Lulu adik Kakak tersayang...." Noel mengusap kepala adiknya.
"Iih apaan sih? Gue udah bukan anak kecil lagi!" Lulu melepaskan tangan Noel dari kepalanya.
"Duh... Adekku ini sedang marah, ada apa gerangan?" Noel bertanya.
"Lo yang kenapa? Pagi pagi udah gak jelas, minum Baygon sana!"
Noel cengengesan. Mereka berdua menuju meja makan.
"Papi sama mami belom pulang?" Tanya Lulu.
"Belum, sekitar seminggu lagi baru mereka pulang." Jawab Noel, dia melanjutkan makan nasi goreng.
"Semalam... Kak Noel kemana setelah dari rumah sakit? Pas Lulu telepon Nenek bilang kalau Kakak udah pulang padahal belum ada dirumah."
"Abis menjalankan misi mencari tahu bumi itu bulat atau spiral."
"Abang bego."