Skala meneriaki Byna.
Byna tersenyum kecil. Kedua tangannya bergetar, dia membalas tatapan Skala. Dan menjawab "maaf."
"Maaf?" Skala membeo. Dia tersenyum bengis. "Maaf lo bilang? Lo kira semuanya bisa selesai dengan maaf? Badan lo penuh luka, bisa aja lo luka lebih parah dari ini lo bakalan mati Byna!! Dan lo masuk hutan dengan alasan nyari babi?!"
Byna menelan ludah, dan berbisik. "maaf."
Byna semakin gemetaran, matanya mulai berkaca kaca.
"Setidaknya pikirin diri lo sendiri byna!"
"Maaf, Skala. Gue gak ngulang lagi,"
"BERENTI MINTA MAAF! LO SELALU NGULANGIN HAL YANG SAMA!!"
"SKALA! BYNA HABIS JATOH DAN LUKA PARAH DAN LO TERIAK TERIAK KAYAK GITU?! JANGAN MEMPERBURUK KEADAAN! MENDING LO KELUAR DAN MENENANGKAN DIRI!!!" Teriak Aurell yang udah muak melihat tingkah Skala. Mereka menjadi pusat perhatian orang orang diluar.
"Jangan ikut campur." Skala mendesis.
"TAPI DIA UDAH MINTA MA-"
"GUE BILANG JANGAN IKUT CAMPUR!" Skala berteriak marah.
Suasana menjadi hening.
Mereka tak pernah melihat Skala marah seperti ini. Cowok itu seperti kesurupan, tidak memberikan Byna waktu untuk menjelaskan alasannya secara terperinci.
Bang Rean menepuk pundak Aurell. Dia menggelengkan kepalanya, masalah ini hanya bisa di selesaikan oleh Skala dan Byna saja.
"Maaf Kal, gue gak ngulang lagi..." Byna mengepalkan kedua tangannya. Dia lebih menunduk dalam ketika Skala menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar.
"Terserah, gue muak sama lo."
Byna tercengang. Dia mengangkat kepalanya menatap Skala tidak percaya.
Selama ini setiap Skala marah, dia tak pernah mengatakan 'muak' pada Byna.
"Ma-af..." air mata Byna mulai bercucuran. Dia tersenyum lebar, berharap bahwa Skala hanya bercanda, tetapi Skala tetap memasang wajah murka, tak peduli berapa kali Byna meminta maaf.
"Gue gak ngulang, maaf," Byna sesenggukan. Dia benar benar ketakutan. "maaf."
Byna beranjak dari kasur, dia menelan ludah berkali kali. "Gue gak bakalan ngulangin lagi, gue bakalan nurut, gue gak akan nyusahin lo lagi. Tapi jangan ngomong muak dengan wajah murka itu ke gue."
Byna balas menatap Skala memohon. "Please Jangan jauh dari gue, gue sayang sama lo."
Byna mengulurkan tangannya, nyaris menyentuh Skala ketika cowok itu menepis tangannya.
"Kal-!"
Bang Rean langsung membekap mulut Zela dan menarik tangannya mundur sebelum dia ikut campur. Skala ditelan murka, jangan sampai Zela juga menjadi sasaran kemarahannya.
Mereka pergi untuk memberi Skala dan Byna waktu berdua, ini bukan masalah mereka, mereka tidak bisa ikut campur.
"ARGHHHHHHH," Byna menangis histeris. Membuat orang orang terkejut. Cewek itu gemetar hebat. Dia menjambak rambut nya sendiri. Tangisannya kian melengking, namun Skala tetap tak tergugah. Sebanyak apapun Byna mengulurkan tangannya, Skala selalu menepisnya.
"Maaf Skala," Byna terpincang mendekat. Skala mundur, dia tetap memelototi Pacarnya dengan sorot bengis. "Maaf. Maaf. Maaf. Gue minta maaf,"
Skala merapatkan bibir.
"Gue gak ngulang, gue gak ngulang!" Byna menggeleng. Membuat Zela memalingkan pandangannya, ikut sakit hati melihat kondisi sahabatnya yang sedang terpuruk. Bang Rean menutup telinga Zela dengan kedua tangannya, khawatir pada Zela yang menangis terisak.
"Jangan benci gue, Kal," Byna mendongak menyorot Skala dengan sorot memohon. Dia hampir jatuh sebelum berhasil menggenggam ujung kaos Skala.
Skala tersenyum sinis. "Lo pikir gue masih bisa waras kalo lo dapet luka yang lebih fatal dari ini? Lo kira gue masih bisa idup kalo lo mati karena gue lalai ngejaga lo? Kenapa hal se-simple ini gak bisa lo terapin di otak lo? Gue gak bisa tanpa lo Byna!"
Byna memeluk Skala. Skala masih mau membalas pelukannya. Cowok itu tidak benar-benar ingin meninggalkan Byna.
"Gue pikir, gue bakalan mati." Skala mengecup puncak kepala Byna beberapa detik. Wajah marahnya berangsur memudar. Skala merasa menyesal. Di bersyukur Byna baik baik saja. "Maaf, gue bikin lo nangis."
Skala berbisik lirih. "Sekarang lo istirahat."
Byna kembali tidur. Dia menahan tangan Skala "Jangan marah kayak tadi... Gue takut...."
"Never,"
Byna mengangguk "Kal,"
"Hm?"
"Temenin gue disini sampai gue tidur, ya?"
"Iya, gue bakalan ada disini, disamping lo, kapan pun. Janji."
"Kalau... suatu saat lo gak tepatin janji lo... Gimana?" Tanya Byna dari dalam hatinya.
"Gue pastiin, gue ga akan ngingkarin janji gue ke lo, sampai ajal jemput gue."
"Lo jangan bilang kayak gitu,"
"Byna, yang namanya mati itu gak ada seorang pun yang tau, hanya tuhan. Bisa jadi kalau tuhan berkehendak besok gue mati, ya gue ga bisa menghindar."
Byna paham, "Kalau gue yang mati duluan, lo jangan cari pengganti gue yang sifatnya kayak Lulu ya! Terserah lo mau cowok apa cewek yang penting bukan Lulu, hahaha."
"Ada ada aja lo,"
"Bisa aja kan lo suka cowok, Lion mungkin atau Arka juga boleh tuh."
Skala memasang wajah cemberut.
"Iya deh iya, gak usah ngambek gitu dong, lo udah kayak gadis aja, hahaha." Byna tertawa senang, lukanya terasa perih. "A-aw."
"Nah kan, udah jangan banyak gerak, cepet tidur."
.
.
.
Zela menangis terisak isak di depan api unggun, masih ditemani bang Rean, teman teman yang lain berpencar ke kelompok masing masing.
"Zel, udah dong khawatirnya. Byna bakalan baik baik aja." Bang Rean menenangkan.
"Gue gak bisa berhenti khawatir, inget kan terakhir kali dia dulu sampai pasrah hidup dan harus di rumah sakit berbulan bulan, ka-karena-" Tangisan Zela makin menjadi jadi. Dia mengingat masa SMP nya dengan Byna yang cukup berat.
Rean juga tau hal itu, dia sangat prihatin dengan kondisi adiknya yang dulu, jangan sampai hubungan adiknya dengan Skala membuat adiknya harus merasakan apa yang dulu pernah dialami.
Bang Rean merangkul Zela, "Yakin sama gue, Byna udah kuat, dia gak bakalan kayak dulu lagi. Lo harus percaya sama Byna, ya?"
Zela menyenderkan kepalanya di bahu Bang Rean. Dia mengangguk.
"Mereka sadar gak sih, diliatin orang segini banyak masih mesra mesraan juga, tuh bahkan Pak Yusuf ikut ngeliatin." Ucap Khanza berbisik ke Dinda
"Ssst- biarin aja biarin,"
"Lo kira berapa banyak orang yang jomblo disini? Lo gak kasihan?"
"Gak, nasib mereka aja kurang beruntung,"
"Lo juga jomblo maimunah,"
"Oh iya lupa,"
Skala berjalan keluar tenda dengan wajah yang sedih, Lulu yang melihatnya kemudian datang untuk menghampirinya.
"Kal, lo kenapa?" Lulu mengenggam tangan Skala,
Skala menepisnya "Ck, bukan urusan lo!"
"Lo itu kenapa si Kal?! Gue cuman berniat nolongin lo,"
"Gue? gak kenapa napa, lo yang kenapa napa. Lebih baik lo cari om om biar lo porotin duitnya, bukan gue. Karena sampai kapan pun gue gak bakalan pernah suka sama lo." Skala meninggal kan Lulu.
Hati Lulu terasa sakit, dia tidak pernah merasakan ini sebelumnya.
"Gue rasa, gue memang harus berhenti."
Teman teman se geng an Lulu menghampirinya
Lulu kaget.
"Aah! Ini semua gara gara Byna! Hancur semua rencana gue buat dapetin Skala."
"Lu, gue rasa lo harus balas Byna lagi."
"Fine, kita balas dia nanti,"