Chereads / Between Love and Time / Chapter 10 - 09

Chapter 10 - 09

Saat kaki Via baru saja memasuki ruang tamu, Gito-adik Via langsung meledeknya.

"Ciee, siapa lagi tuh, Kak?" tanya Gito.

"Kepo lo!" jawab Via sambil melanjutkan jalannya yang sempat terhenti.

"Mending sama yang ini, Kak! Udah ganteng, motornya mahal lagi! Dari pada sama Kak Dio, masa kakak aku yang imut di bonceng pake motor bebek hahaha," kata Gito yang di sambut tawa olehnya dan Mamanya.

"Hush! Kamu, Dek, kalo ngomong," kata Mama Via sambil menatap Gito dan Via bergantian. "Suka bener," sambungnya yang membuat anak bungsunya makin terbahak.

"Cinta itu nggak memandang harta!" kata Via si anak sulung yang langsung membuat Mama Via dan Gito berhenti tertawa. Namun hanya tahan satu menit saja. Dan menit selanjutnya mereka melanjutkan tawanya lagi namun lebih terbahak yang membuat Via badmood. Via pun dengan kasar menaiki undakan tangga menuju kamarnya.

Via langsung mandi di kamar mandi yang berada di kamarnya dan mencuci roknya yang banyak noda darah. Setelah selesai, dia langsung mengeringkan rambutnya menggunakan handuk sambil berjalan keluar kamar mandi, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan kasar di atas ranjangnya yang empuk. Sepertinya udara di luar sejuk. Via pun berjalan menuju balkon kamarnya. Saat Via membuka gorden, seketika nafasnya tercekat. Dan kakinya dengan reflek langsung berjalan mundur.

"A-apaan tuh?" kata Via setengah berbisik. Gadis itu ketakutan dan seketika semuanya menjadi gelap.

***

Saat Gito dan Mama Via sedang menonton film bersama, sang Ibu merasakan firasat buruk terhadap Via putri sulungnya. Melihat Mamanya yang tidak fokus pada film yang sedang diputar, Gito memegang lengan wanita yang melahirkannya itu.

"Ma?" kata Gito.

Mama Via pun menoleh, "apa sayang?" katanya dengan ekspresi khawatir yang tak bisa ditutupinya.

"Mama kenapa?" tanya Gito tak kalah khawatir.

"Ke kamar kakakmu yuk," ajak Mama Via pada putranya itu.

"Ayuk," jawab Gito sedikit kebingungan.

Mereka berdua pun berjalan menaiki undakan tangga tanpa suara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat membuka pintu kamar Via, mereka terkejut melihat Via yang tak biasanya tidur di lantai. Mereka berkali-kali membangunkan, namun tak ada reaksi.

"Kak?! Bangun, Kak!" teriak Gito panik untuk yang kesekian kalinya.

Via mendengar samar suara-suara yang tak asing baginya. Ya, itu suara Gito dan Mamanya. Via masih berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya di sekitar. Tak lama kemudian penglihatannya mulai normal kembali.

"Kakak kenapa kok bisa pingsan?" tanya Mama Via khawatir.

Bila mengingatnya Via takut sendiri.

"Kak? Jawab dong," kata Gito penasaran.

"Itu--anu--itu--tadi," kata Via terbata.

"Kenapa, Kak?" tanya Gito lagi.

"Tadi ada orang, pake jaket sama celana item. Tapi mukanya pake topeng. Topengnya serem banget. Aku takut, Ma," kata Via lirih.

"Kamu lihat dimana?" tanya Mama Via.

Via pun menunjuk ke arah balkon. Adik lelakinya itu pun langsung menghampirinya.

"Jangan, Dek!" kata Via setengah berbisik.

"Why?" tanya Gito.

"Dia bawa pisau, Dek," kata Via takut.

Ketika Gito mencoba mengintip dari sela-sela gorden yang terbuka sedikit oleh Via tadi, dia diam. Serius memperhatikan balkon. Lalu berbalik.

"Nggak ada siapa-siapa, kok, Kak," kata Gito acuh.

Tapi perasaan gue nggak enak. Batin Via.

"Ma, telepon Pak Satpam komplek aja, suruh ke sini," bisik Via pada Mamanya yang langsung mengirimi pesan pada Pak Satpam.

Gito yang pemberani itu pun menghampiri pintu yang menuju balkon.

"Dek, jangan, Dek. Tunggu Pak Satpam aja," kata Via berbisik.

Seolah tak mendengar ucapan Via, Gito pun membuka pintu. Alhasil, Via dan Mamanya sukses berteriak melihat Gito ditusuk dengan pisau oleh orang bertopeng tersebut. Mereka berusaha berlari. Namun orang bertopeng itu mengejar mereka! Tak lama kemudian, tangan orang bertopeng itu telah di pegangi oleh dua orang satpam komplek.

Dengan keadaan shock berat, mereka menangis membawa Gito menuju rumah sakit terdekat. Wajah tampan Gito berubah pias. Dan perutnya terus mengeluarkan darah. Lagi-lagi hari ini Via berurusan dengan cairan kental berwarna merah itu.

***

Lama Via menunggu, semua penjelasan sudah mereka berikan dengan rinci pada para satpam yang membantu mereka tadi. Menurut perkiraan mereka, orang bertopeng yang kini sudah dibawa ke kantor polisi itu adalah rampok. Yang bisa jadi juga menyimpan dendam pada keluarga mereka.

Tapi dendam apa? Bukannya Via sombong. Tapi, keluarganya termasuk keluarga yang sangat baik dan di segani oleh siapa pun. Jadi tentu saja tidak mungkin mereka melakukan kesalahan yang sampai membuat orang lain dendam pada keluarganya itu. Beberapa jam kemudian Papa Via yang sedang ada tugas di luar kota pun datang masih menggunakan jasnya.

"Ma, ada apa?" tanya Papa Via panik. Yang langsung istrinya jelaskan.

"Dimana orang bertopeng itu sekarang?!" tanya Papa Via dengan nada yang sedikit meninggi.

"Di kantor polisi, Pa," jawab Mama Via sambil menenangkan.

"Awas saja! Kupastikan dia tak akan lolos dari hukuman negara atas apa yang telah dia lakukan terhadap anakku!" kata Ayah dari Via dan Gito dengan geram.

Pintu ruang UGD pun terbuka. Dan seorang dokter keluar, yang langsung di sambut oleh keluarga Via.

"Gimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Papa Via.

"Syukurlah anak Bapak cepat di tangani. Lukanya pun tidak mengenai bagian vital. Tapi anak Bapak masih harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari kedepan, hingga keadaannya membaik," jelas sang dokter.

"Baik, Dok."

***

Seisi sekolah pun langsung ramai. Oleh berita seorang anak pengusaha yang ditusuk oleh orang bertopeng yang misterius.

"Vi, lo masih shock, ya?" tanya Virsya ketua kelas X.3.

"Nggak kok, Vir," jawab Via dengan seutas senyum yang dia buat senormal mungkin.

"Coba lo gambarin gimana seinget lo topeng yang dipake orang itu, Vi," kata Sophie.

"Buat apa sih, Phie?" tanya Via malas.

"Gambar aja dulu, gue pengen liat. Topeng kayak gimana sih yang bikin lo sampe pingsan gitu. Jangan-jangan cuma topeng teletubbies hahaha," ledek Sophie.

"Nggak lucu, Phie. Bukan cuma karena topengnya. Tapi karena penampilannya sama pisau yang dia bawa," jelas Via.

"Hahaha sorry-sorry ya, kirain. Coba gambarin topengnya," pinta Sophie lagi.

Via pun mulai menggambarnya. Hanya butuh waktu 5 menit untuknya menyelesaikannya. Saat Via beri lihat gambar topengnya, Sophie langsung diam seribu bahasa. Dengan sorot mata yang berbeda.

"Lo kenapa, Phie?" tanya Via bingung.

"Vi," panggilnya dengan ekspresi takut. "ini topeng yang sama," kata Sophie. Via bingung.

"Sama? Maksudnya?" tanya Via.

"Sama kayak topeng yang dipake buat ngebunuh bokap gue, Vi," jawab Sophie yang langsung membuat pandangan Via kembali gelap.

Ya elah ni bocah kebiasaan deh, gampang banget pingsan! Batin Sophie.

Saat Via terbangun, dia sudah berada di UKS. Dengan di temani seorang lelaki yang duduk di samping ranjangnya yang sedang memutar-mutar ponselnya dengan gelisah.

Siapa sih? Batin Via.

Seolah mendengar suara hati Via, lelaki itu pun menoleh dan merubah posisi tubuhnya jadi menghadap Via.

"Lo kenapa, Vi?" tanya cowok itu. Wajah yang biasanya teduh, berubah menjadi wajah panik.

"Nggak kenapa-napa kok, Kak," jawab Via.

"Kalo nggak kenapa-napa nggak mungkin pingsan, lha," kata Fikri.

"Aku cuma shock, Kak."

"Turut duka ya, atas kecelakaan yang menimpa keluarga kamu, Dek," kata cowok itu dengan senyum ramah yang disertai lesung pipitnya.

"Iya, Kak. Makasih," jawab Via.

"Sama-sa--" belum selesai Fikri bicara seseorang menghampiri mereka dengan cepat.

"Lo kenapa?" tanya cowok yang baru saja datang dengan panik.

"Gue nggak kenapa-napa, Kak," jawab Via.

"Lo ngapain di sini?!" bentaknya pada Fikri.

"Vi, aku ke kelas dulu, ya. Cepet sembuh," kata Fikri lalu meninggalkan UKS.

"I-iya, Kak," jawab Via bingung.

Kenapa pas Kak Aldo dateng Kak Fikri langsung pergi? Batin Via.

"Heh! Lo kenapa?" tanya Aldo.

"Ya lo tau lha jawabannya," kata Via.

"Pasti lo shock banget, ya?" kata Aldo yang nampak khawatir.

"Iya, lha."

"Lo nggak perlu takut. Selama di sekolah ada gue kok yang selalu jagain lo," kata Aldo so romantis.

"Huek!" kata Via sambil meragakan seolah ingin muntah. "Jijik," sambungnya yang di sambut tawa mereka berdua.

"Pulang gue anter aja ya nggak mungkin 'kan lo pulang sendirian?" kata Aldo.

Gue nggak mau pulang bareng dia. Tapi kalo gue naik bis, gue masih takut. Gimana, ya? Batin Via.

"Gimana nanti aja ya, Kak," jawab Via akhirnya.

Mereka pun kembali ke kelas masing-masing. Karena sudah waktunya pulang. Saat sedang berjalan menuju gerbang sekolah, Via melihat seseorang tengah berdiri menyandarkan tubuhnya di tembok. Di sampingnya bertengger sebuah motor bebek. Via pun berlari kecil menghampirinya.

"Dio!" sapa Via senang.

"Yuk, pulang," kata Dio dengan senyum yang terhias di wajah tampannya.

"Emangnya kamu nggak sekolah?" tanya Via saat mereka sudah berada di tengah ramainya jalan raya.

"Hehe, aku izin ke guru, bilangnya ada urusan keluarga," kata Dio polos.

"Lha? Emang aku keluarga kamu apa?! Mulai pinter bohong ya kamu!" balas Via.

"Iya. Eh, belum sih," kata Dio yang membuat Via bingung.

"Maksudnya?"

"'Kan sekitar 8 tahun lagi kita bakal jadi keluarga. Eehhh," kata Dio yang sukses membuat pipi Via memanas.

"Apaan sih kamu!" kata Via salah tingkah.

"Hahaha aamiinin kek! Emangnya kamu nggak mau jadi istri aku?"

"Ya bukannya gitu, tapi 'kan masih lama!"

"Apa salahnya bermimpi dari sekarang hehe," kata Dio yang di sambut cubitan Via di pinggangnya.

"Aw! Sakit tau!" rengek Dio.

Lihatlah manjanya dia. Batin Via sambil mencebikkan bibirnya.

"Lebay!" jawab Via lalu mereka pun tertawa bersama.

Dio, kamu berhasil membuatku sejenak melupakan ketakutanku. Batin Via.